Nelayan Kepiting Ini Merasakan Manfaat Rehabilitasi Mangrove
Nelayan Kepiting Ini Merasakan Manfaat Rehabilitasi Mangrove
oleh Wahyu Chandra [Maros] di 27 April 2019
Nelayan Kepiting Ini Merasakan Manfaat Rehabilitasi Mangrove
oleh Wahyu Chandra [Maros] di 27 April 2019
Sartam, Petani Gorontalo Berpredikat Pejuang Lingkungan Internasional
oleh Christopel Paino [Gorontalo] di 6 May 2019
Maria Loretha, Sorgum, dan Kisah Pengorbanan Nyawa Tonu Wujo
National Geographic Indonesia - Selasa, 26 Maret 2019 | 12:03 WIB
Nationalgeographic.co.id - Mendengar nama sorgum, tanaman yang kini mulai diminati oleh para petani di Flores Timur dan daerah Nusa Tenggara Timur lainnya, mungkin bagi sebagian orang menjadi pengingat perjuangan Maria Loretha.
Wanita berumur 46 tahun yang akrab dipanggil dengan sebutan Mama Sorgum ini dengan giat ingin membuat sorgum kembali menjadi panganan masyarakat lokal. Demi tujuan ini, ia rela menukarnya dengan keringant dan air mata.
Artikel ini dimuat ulang dari The Conversation Indonesia
Penulis: Palmira Permata Bachtiar
Researcher, SMERU Research Institute
Ketika membuka acara Jakarta Food Summit tahun lalu, Wakil Presiden Jusuf Kalla mengungkapkan kekhawatirannya mengenai penurunan jumlah petani yang dianggap dapat mengganggu produksi pangan kita.
Artikel ini dimuat ulang dari The Conversation Indonesia
Penulis: Meiwita Budiharsana
Lecturer, Faculty of Public Health, Universitas Indonesia
Ada keterputusan antara penelitian-penelitian yang dilakukan para peneliti kesehatan di Indonesia dan asupan hasil penelitian bagi perbaikan kebijakan kesehatan yang diinginkan pemerintah (perencana dan manajemen program) di negeri ini.
Hal Terindah Bersama Anak Kecil Di Kampug Meriep Kabupaten Teluk Bintuni Provinsi Papua Barat
Oleh Y.F.Yarangga
Pena Sederhana adalah benda yang dianggap sebagai sesuatu yang luar biasa oleh Seorang Anak Kecil yang berada di Desa terpencil sebelah Barat Kabupaten Teluk Bintuni. Saking senangnya ketika memegang Pena sederhana Tersebut.
Gambar: Kampung Meriep Distrik Merdey
Sorghum returns to Flores
Hengky Ola Sura
The Jakarta Post
Flores, East Nusa Tenggara / Mon, March 18, 2019 / 07:10 am
In the 1970s, sorghum grain was easily found and widely consumed in East Nusa Tenggara (NTT). The constant heat and low rainfall in the area allowed the plant to flourish, making it one of the staple foods in the area.
Rich in carbohydrates, the plant was also able to adapt to changing climate conditions.
But as residents turned to rice within the next three decades, it was swept aside.
In Gowa, South Sulawesi, a group of teens work to stop rampant child marriages in their home town.
by Camely Arta, Reporter
Mataram, West Nusa Tenggara – At 17 years old, Hasmita Nurzakia is not your regular high school student. With her friend Nur Afifa, 16, she has been actively campaigning to stop child marriage in her home town in Gowa District in South Sulawesi through their organization Kelompok Sebaya Anti Perkawinan Anak Gowa (Kesatria Gowa), which means Anti-Child Marriage Peer Group.
Front cover of the first edition of the Suara Komunitas bulletin released in November 2018
Written by AGHNIA JOLANDA PUTRI & ARTRICIA MARINA RASYID