BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Artikel/Opini

oleh Mahmud Ichi [Morotai] di 15 May 2019 Yayasan A Liquid Future, mengajarkan anak-anak, seperti pengenalan dan pemahaman fungsi lingkungan, konservasi alam atau perlindungan sumberdaya hayati. Mereka juga belajar Bahasa Inggris, komputer, konsep turisme berkelanjutan, fotografi maupun jurnalisme warga. Sekitar 1.200-an anak, usia tujuh sampai 16 tahun, ikut belajar di Yayasan A Liquid Future di Morotai, berasal dari berbagai desa. Tujuan pendidikan ini agar anak–anak mendapatkan berbagai ilmu demi mempersiapkan mereka menghadapi Morotai sebagai tujuan wisata. Kala, wisatawan datang, tak hanya jadi penonton, mereka dapat jadi pihak yang terlibat dengan memiliki perspektif wisata berkelanjutan. Muda mudi Morotai ini juga bisa menceritakan keindahan alam dan budaya sendiri kepada dunia luar melalui media sosial. Mereka ini anak-anak yang ikut Yayasan A Liquid Future, sebuah lembaga nirlaba dari Inggris, yang bekerja mendampingi warga dan anak-anak lokal di Morotai. Di sebuah rumah sederhana tak jauh dari bibir pantai jadi base camp pelatihan dan pendampingan bagi anak-anak Morotai ini. Hari itu, Dubes Amerika untuk Indonesia Joseph Donovan Jr dan rombongan, datang ke desa itu... read more..
Nelayan Kepiting Ini Merasakan Manfaat Rehabilitasi Mangroveoleh Wahyu Chandra [Maros] di 27 April 2019 Aksi menanam mangrove oleh ASCM (Aquatic Study Club Makassar) dan ACC (Aquaculture Celebes Community) dan dukung oleh WWF Indonesia, ditanggapi positif nelayan di Desa Bonto Bahari, Kecamatan Bontoa, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan Beberapa tahun terakhir tangkapan kepiting nelayan mulai menurun. Ukurannya pun relatif kecil, sehingga banyak nelayan yang merantau ke tempat yang lebih jauh, yaitu di pulau-pulau yang ada di Kabupaten Pangkep. Kabupaten Maros merupakan salah satu kabupaten di Sulsel yang melakukan konversi mangrove besar-besaran sejak tahun 60-an. Pemanfaatan hutan mangrove untuk usaha budidaya tambak telah mencapai lebih dari 50 persen pada tahun 1988. Penanaman ini merupakan rangkaian agenda rehabilitasi kawasan pesisir WWF-Indonesia bersama PT. Bogatama Marinusa, yang didukung oleh JCCU. Total penanaman hingga 14 April 2019 ini sebesar 26.885 pohon, setengah dari target sebanyak 57.000 pohon. Syarif (35), sedang duduk menunggu nelayan kepiting ketika sekitar 60-an anak muda menyusuri pesisir pantai yang berlumpur setinggi paha orang dewasa. Di kejauhan ia... read more..
Sartam, Petani Gorontalo Berpredikat Pejuang Lingkungan Internasionaloleh Christopel Paino [Gorontalo] di 6 May 2019 Sartam, petani dari Desa Puncak Jaya, Kecamatan Taluditi, Kabupaten Pohuwato, yang berbatasan dengan kawasan hutan, dinobatkan sebagai BirdLife Nature’s Hero Award 2019 oleh Birdlife International, sebuah lembaga konservasi yang berbasis di Cambridge, Inggris Sartam adalah petani yang mempraktikkan pertanian ramah lingkungan dengan menerapkan kaidah konservasi, menghibahkan satu hektar kebun dan tanamannya kepada kawanan monyet yang oleh sebagian orang dianggap hama Pemerintah Daerah Kabupaten Pohuwato juga memberikan penghargaan kepada Sartam dan ”Tani Kakao Mandiri”, sebuah kelompok tani yang menerapkan pola budidaya tanaman kakao berkelanjutan sebagai inspirator lingkungan Masyarakat di Kabupaten Pohuwato adalah penghasil kakao dengan potensi pengembangan lahan sekitar 2.400 hektar  Seorang petani asal ujung barat Provinsi Gorontalo mendapatkan penghargaan dari lembaga internasional sebagai pejuang lingkungan. Sartam, lelaki asal Desa Puncak Jaya, Kecamatan Taluditi, Kabupaten Pohuwato, kampung yang berbatasan dengan kawasan hutan, mendapat penghargaan... read more..
Maria Loretha, Sorgum, dan Kisah Pengorbanan Nyawa Tonu WujoNational Geographic Indonesia - Selasa, 26 Maret 2019 | 12:03 WIB Nationalgeographic.co.id - Mendengar nama sorgum, tanaman yang kini mulai diminati oleh para petani di Flores Timur dan daerah Nusa Tenggara Timur lainnya, mungkin bagi sebagian orang menjadi pengingat perjuangan Maria Loretha. Wanita berumur 46 tahun yang akrab dipanggil dengan sebutan Mama Sorgum ini dengan giat ingin membuat sorgum kembali menjadi panganan masyarakat lokal. Demi tujuan ini, ia rela menukarnya dengan keringant dan air mata. Kerja kerasnya berkali-kali diganjar penghargaan pangan, baik tingkat lokal, nasional, maupun internasional. Kesuksesan Mama Tata—sebutan lain untuk Maria Loretha—sebenarnya tidak terlepas dari ingatan kolektif masyarakat Flores Timur tentang legenda Tonu Wujo. Cerita ini berasal dari suku Lamaholot yang mendiami daratan Flores Timur, Pulau Adonara, Lembata sampai Alor. Konon, dahulu kala ada seorang perempuan yang mengorbankan dirinya agar semua anggota keluarganya tidak mati kelaparan pada pertengahan musim kering hebat yang menimbulkan paceklik. “Cerita Tonu Wujo ini macam-macam versi,” jelas Romo Benyamin Daud (44... read more..
Artikel ini dimuat ulang dari The Conversation Indonesia Penulis: Palmira Permata BachtiarResearcher, SMERU Research Institute Ketika membuka acara Jakarta Food Summit tahun lalu, Wakil Presiden Jusuf Kalla mengungkapkan kekhawatirannya mengenai penurunan jumlah petani yang dianggap dapat mengganggu produksi pangan kita. Data Badan Pusat Statistik (BPS) terbaru menunjukkan jumlah pekerja di sektor pertanian turun dari 35,9 juta orang atau sekitar 30% dari jumlah total pekerja pada tahun 2017 menjadi 35,7 juta atau sekitar 29% dari total pekerja di Indonesia pada tahun 2018. Namun, penurunan proporsi petani bukanlah hal yang mengejutkan bagi negara yang ekonominya sedang bertumbuh. Data menunjukkan bahwa proporsi pekerja sektor pertanian di Malaysia jauh lebih kecil yaitu hanya 11%. Proporsi ini bahkan di bawah 2% untuk negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Jerman dan Inggris. Kontribusi pekerja sektor pertanian memang seharusnya berkurang seiring dengan berkurangnya kontribusi sektor pertanian dalam Produk Domestik Bruto (PDB). Jika tidak, tenaga kerja sektor pertanian akan berlebih dan menimbulkan masalah seperti produktivitas yang rendah, upah yang rendah serta kemiskinan... read more..
Artikel ini dimuat ulang dari The Conversation Indonesia Penulis: Meiwita BudiharsanaLecturer, Faculty of Public Health, Universitas Indonesia  Ada keterputusan antara penelitian-penelitian yang dilakukan para peneliti kesehatan di Indonesia dan asupan hasil penelitian bagi perbaikan kebijakan kesehatan yang diinginkan pemerintah (perencana dan manajemen program) di negeri ini. Dengan populasi lebih dari seperempat miliar jiwa, Indonesia menghadapi berbagai masalah kesehatan yang begitu banyak. Di Papua, provinsi paling timur di Indonesia, beberapa laporan terbaru menyebutkan setidaknya 61 anak mati karena malnutrisi dan penyakit campak. Pemerintah sampai harus mengirim tenaga medis dan militer untuk menangani krisis kesehatan di area terpencil tersebut. Di saat yang sama, Indonesia juga masih berjuang menghadapi tingginya tingkat kematian ibu dan bayi seputar masa kehamilan dan kelahiran. Indonesia gagal memenuhi sasaran Millennium Development Goal (MDG) mengurangi tiga per empat rasio kematian ibu, karena sampai 2015 masih ada 305 kematian dari 100.000 kelahiran hidup. Sementara itu, tingkat kematian bayi baru lahir adalah 14 per 1000 kelahiran hidup. Dalam Rencana... read more..
Hal Terindah Bersama Anak Kecil Di Kampug Meriep Kabupaten Teluk Bintuni Provinsi Papua Barat Oleh Y.F.Yarangga Pena Sederhana adalah benda yang dianggap sebagai sesuatu yang luar biasa oleh Seorang Anak Kecil yang berada di Desa terpencil sebelah Barat Kabupaten Teluk Bintuni. Saking senangnya ketika memegang Pena sederhana Tersebut.   Gambar: Kampung Meriep Distrik Merdey Terik matahari membuat perjalanan ini semakin berat, waktu menunjukan pukul 06.00 wit, dan hari sudah mulai hampir malam. Ketika saya dan rekan-rekan harus beranjak kembali menuju ke rumah. Sambil berjalan menikmati indahnya alam pemberiaan Sang Pencipta.   Gambar: Suasana Senja di Distrik Merdey Sambil memegang kertas-kertas yang berisikan catatan lapangan dan sebuah pena, lalu saya dihampiri oleh seorang anak kecil yang bernama Vincenia Emiyen, salah satu penduduk asli setempat, dengan suara lembut Ia memanggil saya”kk... kk... pena itu bagus skali kasih sa sudah k?...” dengan nada halus dan penuh keiginan untuk memiliki pena tersebut, membuat saya terharu dan sangat sedih melihat seorang anak kecil berumur 09 tahun yang sangat meniginginkan pena tersebut. Alhasil saya pun hendak memberikan pena... read more..
Sorghum returns to FloresHengky Ola Sura The Jakarta PostFlores, East Nusa Tenggara / Mon, March 18, 2019 / 07:10 am In the 1970s, sorghum grain was easily found and widely consumed in East Nusa Tenggara (NTT). The constant heat and low rainfall in the area allowed the plant to flourish, making it one of the staple foods in the area. Rich in carbohydrates, the plant was also able to adapt to changing climate conditions. But as residents turned to rice within the next three decades, it was swept aside. Maria Loretha recalled the time she was introduced to sorghum in 2007 by her neighbor, Maria Helan. It came on a plate, steamed and sprinkled with grated coconut. “It was unbelievably good,” she said. At the time, she and her husband, Jeremias Letor, lived in Java. Upon coming back to Jeremias’ hometown of Adonara in East Flores, also in NTT, she decided to develop sorghum and bring it back to its heyday. The struggle began in their own field. Armed with seeds given to her by her neighbor, Loretha sought for more information on sorghum. Eventually, she received red-skinned and black-skinned sorghum seeds from various places in NTT — further proof that sorghum has been widely consumed... read more..
In Gowa, South Sulawesi, a group of teens work to stop rampant child marriages in their home town.by Camely Arta, Reporter Mataram, West Nusa Tenggara – At 17 years old, Hasmita Nurzakia is not your regular high school student. With her friend Nur Afifa, 16, she has been actively campaigning to stop child marriage in her home town in Gowa District in South Sulawesi through their organization Kelompok Sebaya Anti Perkawinan Anak Gowa (Kesatria Gowa), which means Anti-Child Marriage Peer Group. “We approach friends, communities, and family to educate them about the risks of child marriage,” Hasmita, who is in grade 11 in high school, said in a recent interview with Magdalene in Mataram, West Nusa Tenggara Barat. She and Afifa had just finished performing the traditional Makassar dance Butta Kalassukangku mixed with salsa dance in the city during a youth conference organized by Oxfam Indonesia. Hasmita (kiri) dan Nur Afifa (kanan). Child marriage rate in South Sulawesi is alarming, she said. One of her friends had married at 14, she recalled, and she would “post sad stuff on Facebook, as if her marriage is a burden to her.” Her friend Afifa chimed in, saying South Sulawesi ranks... read more..
Front cover of the first edition of the Suara Komunitas bulletin released in November 2018 In the early days of October 2018, during the immediate aftermath of the Central Sulawesi tsunami and earthquake, a group of humanitarians came together in Palu. Their mission was to ensure that amidst the devastation of the natural disaster that had just struck the area, affected communities were informed about humanitarian agencies’ activities and could meaningfully engage in the humanitarian response and their own recovery. Suara Komunitas, which means ‘community voices’, is a product that was developed as a result of this engagement by PMI (Palang Merah Indonesia) and IFRC (International Federation of Red Cross and Red Cross Societies) with support from UN OCHA, UNICEF and Pulse Lab Jakarta. It presents feedback gathered from communities affected during the natural disaster and is intended to help humanitarian responders make decisions and adapt programming as disaster response efforts progress. The Community Engagement Working Group which the bulletin was borne out of, consists of individuals from a range of humanitarian agencies who meet regularly in Palu to present sector-based... read more..

Pages