BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Perjuangan Risna Hasanudin Memerdekakan Papua dari Buta Aksara

Sumber

Papua dengan pesona alamnya kerap dijuluki “surga yang jatuh ke Bumi”. Berbagai aset pariwisata bertebaran di wilayah paling timur Indonesia itu. Meski demikian, Papua telah lama menyimpan masalah serius: angka buta huruf masyarakat Papua tertinggi di Indonesia.

  Tak terkecuali dengan yang terjadi di Kampung Kobrey, Provinsi Papua Barat. Selain tingkat melek huruf yang rendah, kasus perkawinan anak juga sangat banyak. Demikian, ketika Risna Hasanudin menginjakkan kaki di sana lima tahun lalu, ia tahu ia punya pekerjaan mahaberat.

 Mimpinya hanya satu: mencerdaskan anak-anak dan perempuan suku Arfak. Mereka tinggal di Pegunungan Arfak yang masih masuk wilayah Papua Barat. Yang ia temui di sana, anak-anak lebih suka bermain di hutan daripada masuk sekolah. Banyak anak akhirnya putus sekolah, dan beberapa menikah di usia dini.

"Kenapa saya memilih Papua, karena sejak kuliah sudah tertarik dengan isu-isu Papua," ujar Risna, Selasa (14/5).

 Risna lantas mendirikan Rumah Cerdas Perempuan Arfak, rumah belajar yang diperuntukkan untuk kaum perempuan dan anak-anak di Papua Barat. Di sana, Risna mengajar membaca, menulis, dan berhitung. Semua kegiatan itu dibiayai secara swadaya. Kedua orang tuanya di Ambon sesekali membantu.

Tak ada waktu bagi Risna untuk berpangku tangan, terlebih menunggu uluran tangan orang lain. Memang ada beberapa program-program pemerintah, namun dinilainya tak tepat sasaran.

 "Ada beberapa persoalan yang dihadapi masyarakat setempat, misalnya program pertanian yang seharusnya disasar dengan praktek, tapi hanya dilakukan dengan cara-cara instan, (seperti) seminar dalam ruangan dan membabat lahan. Masyarakat diberikan modul, padahal hampir sebagian masyarakat tidak bisa membaca. Hal ini mendorong saya untuk melakukan koordinasi dan mengajak Ibu Kepala Kampung untuk melakukan kegiatan pendidikan," tutur Risna.

Selain persoalan pembiayaan, jarak dari rumah menuju tempatnya mengajar juga sulit dijangkau. Belum banyak transportasi umum yang layak.

Tak sampai di situ, hambatan juga datang dari lingkungan sekitarnya. Ia yang seorang muslim dan berhijab, tindakan-tindakannya kerap disalahpahami warga.

 "Mereka selalu sulit menerima saya, apabila saya terlambat merespons kebutuhan pelayanan (untuk mengajar), mereka selalu mengaitkan bahwa itu adalah karena agama saya berbeda dengan mereka," kata Risna.

 Semua perjuangan Risna untuk mengentaskan buta huruf ini dilakukan di jalan yang sunyi, sebelum ia mengikuti SATU Indonesia Awards (SIA) dari Astra. Program ini dikenalkan seorang teman kuliahnya S2 di Universitas Negeri Jakarta.

 "Saya berpikir dengan mengikuti SIA, saya bisa memberikan informasi secara sederhana tentang Papua melalui kegiatan-kegiatan yang saya lakukan. Sehingga, orang-orang di luar Papua bisa melihat dengan cara berbeda bagaimana kondisi Papua," kata Risna.

Keputusannya mengikuti program tersebut lantas membuka banyak pintu-pintu kebaikan. Termasuk banyak relawan yang berdatangan untuk membantunya.

 "Setelah menerima penghargaan SIA, ada banyak hal yang saya temukan, bantuan berupa buku-buku pelajaran, seragam, sekolah, alat-alat pembelajaran. Berkoordinasi dengan Dinas Pendidikan terkait, dibantu oleh Provinsi Papua Barat, melalui tangan Ibu Wakil Gubernur.

 Bahkan, saya bermitra dan bekerja sama dengan yayasan, dibantu membangun bangunan permanen sekolah PAUD, dan pusat kegiatan bimbel anak-anak di Kampung Kobrey,” kata Risna.

Ia berharap SATU Indonesia Awards terus menumbuhkan harapan-harapan baru bagi kalangan dan komunitas yang membutuhkan. Serta senantiasa menemukan orang-orang yang luar biasa yang peduli dengan kemanusiaan dan kemajuan bangsa.