Adolf Imbir menjadi Kepala Sekolah SD Matoa sejak tahun 2015. Bulan Oktober tahun 2018 ini, dia memasuki waktu purnatugas. Menjelang masa pensiun itu, dia bisa merasa lega karena merasa akhirnya telah bisa menambal beberapa kekurangan sekolah terutama dalam soal administrasi.
Semua itu karena adanya beberapa kali pelatihan dan pendampingan yang dilakukan oleh Tim KOMPAK-LANDASAN II. Dia sebelumnya tak begitu mengerti soal administrasi dan manajemen sekolah. “Semua saya lakukan sesuai dengan apa yang saya ketahui selama ini. Ternyata tidak begitu tepat. Saya belajar banyak dan berusaha memperbaiki semua yang kurang, terutama menyangkut Standar Pelayanan Minimal (SPM) dan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS).”
Adolf juga menekankan bahwa semua perubahan itu hendaknya dimulai dari niat. “Yang penting punya hati untuk berubah,” ucapnya. Sebab kalau tidak, biarpun ada banyak pelatihan dan pendampingan, semua akan percuma saja. Keinginan untuk berubah dan memberikan yang terbaik itulah yang membuat SD Matoa dengan cepat bisa berbenah. Dia dan dewan guru selain membenahi sistem administrasi dan manajemen juga memperbaiki sistem disiplin sekolah. Kebersihan juga menjadi prioritas, termasuk penghijauan. Sekolah yang bersih dan hijau akan membuat proses belajar-mengajar berlangsung dengan nyaman. Sementara kedisiplinan membuat kualitas pendidikan juga makin membaik.
SD Matoa termasuk sekolah yang setiap tahun ajaran menerima lebih dari 100 siswa. Jelas merupakan ukuran sekolah yang besar untuk sebuah SD yang berada di wilayah Kaimana. Mengelola murid sebanyak itu, berarti membawa amanah yang besar sekali. Untuk memikul amanah sebesar itu, dewan guru SD Matoa tidak bisa berjalan sendirian. Setelah didampingi oleh tim KOMPAK-LANDASAN II, Adolf dan para guru tidak merasa sendirian.
“Ada daya dukung yang diberikan oleh Komite Sekolah dan kampung kepada SD ini. Sinergi antara sekolah, Komite Sekolah, dan kampung yang positif ini, diapresiasi oleh Dinas Pendidikan Kaimana. SD Matoa menjadi ajang percontohan atas kerjasama ketiga pihak,” pungkas laki-laki yang sudah 30 tahun menjadi guru ini dengan nada bangga.
Bertahun-tahun, kecuali pada hari libur, hampir setiap hari Husmini Lasade pergi ke SD Matoa. Dia bukan tenaga pengajar di sana. Semua itu tak lain karena semua anaknya mengenyam pendidikan di SD tersebut. Anak pertamanya yang sudah kuliah sampai anak bungsunya yang masih duduk di kelas dua, semua sekolah di SD Matoa. Perempuan berusia 41 tahun yang pernah menjadi bidan itu, selama berbelas tahun mengikuti perkembangan SD Matoa. Boleh dibilang, dengan ritual hariannya yang seperti itu, dia termasuk orang yang mengenal SD Matoa dengan baik, sekalipun dari luar pagar.
Selama kurun itu pula, dia selalu berpikir bagaimana caranya agar dia bisa ikut punya andil dalam perbaikan lembaga yang dipercayanya untuk mendidik anak-anaknya itu. Ada banyak hal yang ingin dia sampaikan, dari mulai sarana-prasarana sekolah, kedisiplinan anak, hingga persoalan seperti cara menangani anak-anak yang putus sekolah. Prestasi sekolah di SD Matoa boleh dibilang biasa-biasa saja. Sarana dan prasarananya juga tidak begitu memadai. Tingkat kedisiplinan anak dan guru kurang baik. Semua itu cukup mengganggu pikiran Husmini.
Belum lagi, seiring perjalanan waktu, makin banyak orang yang datang di Kampung Trikora, Kabupaten Kaimana, Papua Barat, tempat SD Matoa berada. Para pendatang itu rata-rata bertanya kepada Husmini jika ingin menyekolahkan anak-anak mereka ke SD Matoa. Apakah SD itu cukup baik untuk tempat menyekolahkan anak?
Saat ditanya seperti itu, Husmini bingung menjawab. Jika dijawab baik, nyatanya menurut pandangannya tak baik-baik amat. Tapi kalau dijawab tak baik, dia merasa berdosa. Terlebih dia merasa berhutang banyak kepada SD Matoa sebab anak-anaknya menimba ilmu dari sana. Hingga kemudian ada satu momentum yang membuat Husmini merasa punya wadah untuk ikut berkontribusi untuk SD Matoa, yakni ketika SD tersebut dibantu oleh tim KOMPAK-LANDASAN II bersamasama menginisiasi Komite Sekolah. Setelah selesai pelatihan danpendampingan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang diadakan KOMPAK-LANDASAN II, Kepala Sekolah, Ketua Komite Sekolah yang lama dan para guru mengadakan pertemuan untuk membahas tentang Rencana sekolah ke depan, termasuk bagaimana membentuk Komite Sekolah yang aktif. Komite Sekolah memang bukan barang baru di SD tersebut. Tapi lembaga itu hanya formalitas belaka. Ditunjuk oleh pihak sekolah, diumumkan, lalu sesekali datang jika ada pertemuan antara pihak sekolah dengan orang tua murid.
Komite Sekolah kali ini berbeda. Lebih dari 100 orang tua murid datang. Mereka berdiskusi banyak hal tentang lembaga ini. Kepala Sekolah mempresentasikan Rencana Kerja Sekolah yang menyangkut visi-misi dan rencana kerja 4 tahunan sekolah, sesuai yang dilatih Tim KOMPAK LANDASAN II; dan didiskusikan secara mendalam dalam pertemuan tersebut. Lalu mereka bersepakat untuk membuat formatur yang akan memilih pengurus Komite Sekolah. Formatur itu terdiri dari perwakilan dari sektor adat, pemuda, perempuan, dan pihak sekolah. Tim formatur inilah yang kemudian menentukan kriteria apa saja yang layak diberi amanat menjadi pengurus Komite Sekolah. Husmini kemudian dipilih secara mufakat sebagai Sekretaris Komite Sekolah SD Matoa.
Para pengurus Komite Sekolah ini pun bergerak cepat. Pertama-tama mereka mempertajam rencana sekolah sebelum disahkan sebagai dokumen resmi perencanaan sekolah. Mereka bersama dengan dewan guru mulai aktif berdiskusi dan melakukan serangkaian pembenahan yang dianggap perlu untuk segera dilakukan. Dalam hal disiplin anak, sudah jauh lebih baik. Anak-anak sudah tidak ada lagi yang berkeliaran di luar SD. Selain memang hal itu tidak baik bagi proses belajarmengajar, juga bisa membahayakan keselamatan para siswa mengingat SD Matoa terletak di pinggir jalan besar di mana banyak kendaraan berseliweran.
Taman-taman dibersihkan sehingga tampak apik. Ruas jalan dari gerbang menuju sekolah yang semula becek jika musim penghujan pun sudah dibangun oleh pihak Komite Sekolah. Komite Sekolah pun merencanakan perbaikan parit di dekat sekolah. Di musim penghujan, parit ini membeludak airnya sehingga membuat beberapa bagian sekolah tergenang air cukup tinggi. Tapi karena perbaikan ini membutuhkan banyak biaya, maka dilakukan dengan penuh perencanaan. Tahun depan, diharap persoalan perbaikan parit bisa tuntas dikerjakan. Begitu pun lapangan sekolah yang cukup luas, yang selalu becek jika musim hujan datang, sudah direncanakan bersama kampung untuk secepatnya ditanggulangi.
Para anggota Komite Sekolah pun sudah mulai mendaftar siapa saja siswa yang putus sekolah. Mereka berniat menyambangi para siswa dan orang tua mereka, untuk mendorong agar para siswa yang putus sekolah itu kembali masuk sekolah. Menurut Husmini, rata-rata siswa yang putus sekolah disebabkan oleh persoalan ekonomi. Memang sekolah gratis. Tapi bagi orang tua murid yang perekonomian mereka di bawah rata-rata, akan terlalu sibuk mencari uang dan bertahan hidup sehingga tidak memberi perhatian yang cukup bagi anak-anak mereka untuk bersekolah. Sebagian lagi bahkan sengaja mengajak anak-anak mereka untuk bekerja.
Hal seperti di atas tentu bukan persoalan mudah, dan bukan semata domain kerja serta tanggung-jawab Komite Sekolah. Namun setidaknya, pihak Komite Sekolah SD Matoa punya inisiatif baik untuk ikut bertanggungjawab atas persoalan tersebut. Dan Husmini bangga menjadi bagian dari perubahan yang mendasar di SD Matoa tersebut.
- Log in to post comments