BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Membangun Armada Masa Depan

 

Hendrik Sayori adalah alumnus SD Inpres 62 Gaya Baru, Distrik Womi Waren, Manokwari Selatan, Papua Barat. Maka ketika dia menjabat sebagai Kepala Kampung, setiap kali melewati bangunan SD itu, selalu terlintas di kepalanya bagaimana dia bisa membantu tempatnya dulu menimba ilmu.

Tapi semua itu buntu hingga kemudian ada pelatihan perencanaan kampung di kampungnya. Dari situ dia mulai berinteraksi dengan pihak sekolah yang sekarang dipimpin oleh Beatrix Flora Krey sebagai Kepala Sekolah.

 

Kondisi bangunan SD itu agak menyedihkan untuk sebuah bangunan yang terletak di jalan Trans Papua Manokwari-Bintuni. SD itu kekurangan satu bangunan, sehingga terpaksa kantor untuk para guru disekat menjadi dua. Sekat yang satu dijadikan kelas. Beatrix yang pada tahun 2015 diangkat menjadi Kepala Sekolah langsung mengambil inisiatif. Dia membangun semacam taman di bawah dua pohon mangga yang besar dan rindang. Taman itu bisa dijadikan kelas sekaligus tempat anak-anak membaca.

 

Ketika ditanya soal minat baca siswa, Beatrix menjawab tanpa raguragu, “Bagus sekali. Minat baca siswa sangat tinggi. Hanya kadang terkendala soal bahan bacaan saja.” Namun Beatrixcukup beruntung karena SD Gaya Baru masuk menjadi anggota Pustaka Bergerak, yang setiap bulannya selalu mendapatkan buku dari para donatur dari berbagai wilayah di Indonesia. “Kiriman buku tidak selalu banyak, tapi pasti ada. Dan itu sangat berguna bagi siswa di sini .…” Dalam soal gairah membaca buku, anak-anak SD Womi Waren meningkat cukup pesat. Beatrix mengisahkan, “Kalau ada waktu kosong, saya sendiri yang turun tangan mendampingi siswa untuk membaca buku di perpustakaan. Setiap kali mereka selesai membaca, saya minta menceritakan ulang. Dan ternyata mereka tidak kesulitan melakukannya. Itu artinya para siswa benar-benar membaca buku.”

 

Ketika proses penyusunan SAIK melibatkan pihak sekolah, Beatrix kemudian bisa duduk bersama dengan Hendrik. Di situlah setelah bertahun-tahun sama-sama tinggal di kampung yang sama, mengelola lembaga yang sama-sama penting, Beatrix dan Hendrik bisa saling berdiskusi. Dari situ pula, Hendrik tahu bahwa kampung diperbolehkan menyumbang untuk sekolah. Tapi kesadaran seperti itu tidak muncul secara tiba-tiba. Hendrik sebelumnya juga dilibatkan oleh KOMPAK LANDASAN II untuk ikut pelatihan MBS dan SPM. Dari situlah kesadarannya tergugah. Dia dalam kapasitas sebagai Kepala Kampung bisa melakukan sesuatu yang penting untuk dunia pendidikan. Akhirnya, lewat acara Musrenbangdes, Kampung memberi bantuan sebesar RP.150 juta untuk mendirikan bangunan perpustakaan di SD Inpres Gaya Baru.

 

Selain itu, menurut Beatrix, dia juga sudah mengajukan anggaran untuk pembangunan prasarana air  bersih di sekolah. “Sudah saya ajukan ke kampung, tapi saya sadar kalau kemampuan kampung  terbatas. Tapi saya yakin, hal ini pasti akan dipertimbangkan oleh para pengurus kampung.”

 

“Mungkin tahun depan anggaran untuk air bersih sekolah bisa didukung oleh dana kampung,” ujar Hendrik menimpali.

 

Tentu saja masalah di SD Inpres Gaya Baru bukan hanya soal perpustakaan dan air bersih. Ada begitu banyak persoalan yang mendesak untuk diselesaikan. Misalnya, pada tahun ajaran 2017/2018 mestinya ada 20 anak yang masuk SD, tapi ternyata hanya ada 8 anak yang masuk. “Susah di sini, kesadaran orang tua murid kurang bagus. Mereka memilih mengajak anak-anak mereka ke kebun daripada sekolah,” ujar perempuan berusia 47 tahun itu. “Dan di sini juga ada kendala adat. Misalnya jika terjadi apa-apa selama jam sekolah, misalnya anak kecelakaan waktu pulang sekolah, pihak sekolah yang kena denda adat. Padahal denda adat itu besar sekali.”

 

Hal seperti itulah yang membuat Beatrix dan guru-guru sekolah SD Inpres Gaya Baru tidak berani terlalu ngotot untuk mendesak para orang tua agar menyekolahkan anak mereka. “Nanti mereka akan berkata, ‘kamu kan yang minta anakku sekolah, kalau ada apa-apa kamu harus tanggungjawab’. Kalau seperti itu beban guru makin berat.”

 

Beatrix memberikan contoh lain. Sekira tiga kilometer dari sekolah, ada beberapa belas rumah yang anak-anak di sana tidak sekolah. Mereka beralasan bahwa jarak antara sekolah dengan rumah mereka terlalu jauh. Sebetulnya Beatrix tahu solusinya. “Ada dua solusi untuk mengatasi hal itu. Pertama, kita tugaskan guru untuk mengajar di sana. Kedua, menyediakan sarana angkutan dari rumah mereka ke sekolah.” Tapi kedua solusi itu belum bisa dikerjakan oleh pihak sekolah. Dan memang di luar kekuatan serta daya dukung yang mereka miliki.

 

“Di sini saja kekurangan guru, bagaimana bisa kami kirim guru untuk mengajar di sana. Kalau kami harus menyediakan angkutan pulang-pergi, uang dari mana?”

 

Persoalan itulah yang mungkin akan dibawa Beatrix ke Musrenbangkam. Tapi lagi-lagi dia juga tahu bahwa kampungnya punya keterbatasan. Tetapi dia tetap bersyukur karena kampung sekarang sudah memperhatikan sekolahnya. “Dan Program LANDASAN yang menyatukan sekolah dengan kampong,” ungkapnya dengan muka berseri-seri.

Setidaknya Beatrix sudah cukup bersyukur tentang apa yang diberikan kampung kepada sekolahnya. Bangunan perpustakaan sedang dibangun. Buku adalah sarana seorang anak menjumpai dunia dan berkelana dengan daya pikat imajinasi dan ilmu pengetahuan. Maka membangun perpustakaan ibarat membangun sebuah armada untuk masa depan.