Ketika pertama kali bertugas mengajar di Malaumkarta pada 1997, Distrik Makbon di Kabupaten Sorong, perempuan itu harus menghadapi banyak tantangan yang tidak mudah. Salah satunya ketika harus mendapati bahwa sekolahnya kosong. Anak-anak didiknya menghilang. Mereka ikut orang tua melakukan ‘siema’. Siema adalah mencari bahan makan pokok, utamanya sagu, yang dilakukan di dusun sagu. Waktunya bisa sangat panjang, antara dua minggu bahkan tak jarang sampai sebulan. Mendapati kenyataan seperti itu, perempuan bernama Bunga Wally itu memutuskan untuk ikut ‘siema’. Tujuannya jelas, yakni ingin tahu apa saja yang dikerjakan para muridnya selama ikut orang tua mereka melakukan ‘siema’.
Di sana dia mendapati bahwa anak-anak yang masih kecil, yang duduk di kelas satu sampai tiga SD, sebetulnya hanya bermain-main saja. Sedangkan yang sudah agak besar, kelas empat ke atas, memang membantu orang tua mereka. Dari situlah Bunga kemudian melakukan pendekatan kepada para orang tua. Intinya, kalau bisa, karena anakanak kecil yang berusia kelas tiga ke bawah itu hanya bermain, sebaiknya lain kali tidak usah diajak. Biarkan mereka tetap sekolah dan belajar. Sebab usia mereka sebaiknya untuk belajar membaca, menulis, dan berhitung. Sedangkan kalau kelas empat ke atas, ya silakan saja diajak serta.
Itu adalah kompromi terbaik yang bisa dilakukan Bunga saat itu. Tidak mungkin dia meminta secara tegas bahwa semua anak yang masih bersekolah diminta tidak ikut orang tua mereka. Selain dia guru yang masih baru bertugas, dia juga menyadari bahwa mengubah kebiasaan yang sudah dilakukan turun-temurun itu tidak mudah.
Akhirnya beberapa orang tua memenuhi permintaan Bunga. Masalah baru timbul, yaitu bagaimana anakanak itu sepulang sekolah nanti, bagaimana anak-anak itu akan makan, dan siapa yang akan mengawasi mereka karena orang tua mereka ada di hutan. Bunga kemudian membuat siasat dengan dibantu beberapa guru lain dan anak-anak yang sudah agak besar di sekolah yang tersisa untuk saling bekerjasama. Para guru kemudian bergantian memasak dibantu anak-anak yang sudah besar. Beberapa anak laki-laki yang sudah agak besar bersama guru laki-laki pergi memancing untuk lauk. Untuk soal ikan, laut di Malaumkarta memang melimpah. Mereka juga bergantian melakukan pengawasan. Jadi mirip seperti sekolah 24 jam.
Beruntung para orang tua tidak memasrahkan bulat-bulat anak-anak mereka ke para guru. Mereka memberikan bahan makan dan mempersilakan para guru untuk mengambil apa pun yang ada di kebun sekitar rumah, entah itu sayuran atau buahbuahan. Dari situ, Bunga mulai yakin bahwa suatu saat semua orang tua akan punya kesadaran untuk tidak mengajak anak-anak mereka ke dusun sagu. Ini hanya soal waktu saja.
Beruntung para orang tua tidak memasrahkan bulat-bulat anak-anak mereka ke para guru. Mereka memberikan bahan makan dan mempersilakan para guru untuk mengambil apapun yang ada di kebun sekitar rumah, entah itu sayuran atau buahbuahan. Dari situ, Bunga mulai yakin bahwa suatu saat semua orang tua akan punya kesadaran untuk tidak mengajak anak-anak mereka ke dusun sagu. Ini hanya soal waktu saja. dalam sehari. Anak-anak juga bisa diajak jika hari libur, supaya mereka memiliki pengetahuan tentang alam dan kehidupan mereka.
Benar, setelah beberapa tahun akhirnya para orang tua menyadari bahwa mengajak anak ke dusun sagu itu sebetulnya tidak perlu. Anak-anak mereka harus belajar di sekolah. Karena kalau meninggalkan sekolah bisa melupakan pelajaran mereka. Sejak saat itu, tumbuh rasa hormat warga kepada Bunga.
Bunga beragama Islam. Sementara saat itu semua penduduk di Malaumkarta beragama Kristen. Tapi agama juga tidak menjadi kendala. Ada satu masa di SD Malaumkarta tidak ada guru yang mengajar agama Kristen. Bunga pun turun tangan mengajarinya berbekal buku pelajaran. Bukan hanya itu, di saat ibadah Minggu, Bunga pun sibuk ikut mempersiapkan. Bagi masyarakat Malaumkarta, sosok seperti Bunga kemudian begitu mereka hormati. Bahkan kelak, ketika anak tertua Bunga meninggal dunia, jenazah si anak dikuburkan di samping kuburan seorang penginjil yang sangat disegani di kampung itu.
Suatu saat, Bunga harus pindah tugas. Masyarakat melakukan protes keras. Tapi Bunga tetap pindah, selain karena dia harus mengajar di tempat lain, dia juga harus kuliah lagi. Sejak saat itu, setiap kali ada warga pergi ke kota, mereka pasti mampir ke Dinas Pendidikan Kabupaten, meminta suatu saat nanti Bunga harus kembali ke Malaumkarta. Pada tahun 2015, keinginan warga pun terwujud. Bunga kembali ke Malaumkarta. Kali itu bukan saja sebagai guru, melainkan menjabat sebagai Kepala sekolah.
Bunga tinggal di rumah dinas di dekat sekolah. Sementara suami dan ketiga anaknya tinggal di Sorong. Kalau akhir pekan tiba, sesekali Bunga balik ke Sorong agar bisa berkumpul sejenak bersama keluarganya. Tapi lebih seringnya, suami dan anak-anaknya yang pergi ke Malaumkarta. Ada pertautan batin keluarga tersebut dengan Malaumkarta.
Bunga yang saat ini berusia 46 tahun itu menyatakan bahwa anak-anaknya lebih senang di Malaumkarta. “Mereka sangat menikmati kalau ke sini. Setiap liburan Natal, mereka ke sini. Sekalipun mereka beragama Islam tapi ikut jadi panitia Natalan.”
Ketika kembali ke Malaumkarta dan menjadi Kepala Sekolah itulah, Bunga menyadari bahwa ada banyak hal yang belum dia pahami sepenuhnya tentang bagaimana mengelola sekolah. Keinginan perubahan itu kuat tapi terbentur pada masalah pemahaman. Hingga akhirnya dia merasa beruntung ketika KOMPAK-LANDASAN II bekerja di Malaumkarta, termasuk ke SD. Dari situ Bunga belajar soal Standar Pelayanan Minimum (SPM). Dia juga memperdalam pengetahuannya dan melakukan praktek Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Dia juga paham lebih luas tentang peran ‘Komite Sekolah’
Berbagai hal itulah yang kemudian membuat dia melakukan banyak percepatan perbaikan di SD Malaumkarta. Bunga melakukan berbagai terobosan berbekal semua ilmu yang didapat dan pendampingan dari tim KOMPAK-LANDASAN II. Salah satu misalnya adalah apa yang disebut Bunga sebagai ‘dinding berbicara’, yakni dinding sekolah sebagai tempat informasi penting bagi anak didik dengan memuat gambar, poster, dan tata tertib. Dia juga mengoptimalkan perpustakaan ramah anak. Perpustakaan disulap sedemikian rupa sehingga menjadi ruang belajar yang menyenangkan. Anak-anak bisa membaca dengan nyaman, dan setiap kali mereka ke perpustakaan bisa menceritakan ulang apa yang mereka baca.
Ketika KOMPAK-LANDASAN II mengadakan pelatihan SPM dan MBS, Kepala Kampung dan aparat kampung juga diundang supaya mereka paham tentang persoalan pendidikan dan tanggung jawab kampung. Dalam pertemuan-pertemuan itu kampung membuat komitmen untuk mendukung sekolah. Bunga memang juga sudah aktif di musyawarah kampung sehingga berbagai persoalan sekolah yang dihadapinya bisa disampaikan ke forum tersebut. Sebab kampung harus ikut bertanggung jawab atas jalannya proses belajar-mengajar. Dengan hadirnya Bunga di musyawarah kampung, maka para warga pun tahu berbagai perkembangan yang terjadi di sekolah, dan setiap ada kesulitan yang dihadapi sekolah, mereka turut membantu. Bunga juga mengusulkan pembuatan pagar sekolah dan disetujui oleh pemerintah kampung dengan memakai dana kampung, sekira Rp.300 juta. Pagar sekolah itu diusulkan karena menjadi kebiasaan siswa saat istirahat sekolah, pulang dulu ke rumah, dan sering tidak balik ke sekolah.
Sekarang perpustakaan sekolah dibangun kampung, halaman tempat bermain anak-anak sudah diratakan dan pagar sekolah sudah hampir selesai. Semuanya dibangun dan dibiayai kampung.
Bagi warga Malaumkarta, Bunga sudah bukan lagi sekadar guru yang ikut mencerdaskan dan mendidik anak-anak kampung. Sudah banyak anak didik Bunga yang menjadi guru, polisi, bidan, dll, yang mengabdi juga di Malaumkarta. Bagi warga Malaumkarta, Bunga sudah diangap sebagai ibu bagi warga kampung. Ibu bagi warga Malaumkarta.
- Log in to post comments