Mempersenjatai Petani Indonesia Menghadapi MEA
Suwandi
Ikon konten premium Cetak | 1 Februari 2016 Ikon jumlah hit 176 dibaca Ikon komentar 0 komentar
Munculnya sinyalemen pakar yang meragukan kesiapan Indonesia dalam menghadapi "perang pangan" di era perdagangan ASEAN bisa jadi merupakan peletakan pemikiran yang sebenarnya belum memahami basis realitas yang ada. Apalagi ketika ada anggapan bahwa pemerintah belum berbuat apa-apa untuk membekali petani sehingga khawatir tidak akan mampu bersaing di Masyarakat Ekonomi ASEAN.
didie sw
Ada anggapan bahwa prioritas program Nawacita, dalam mewujudkan kedaulatan pangan, seolah belum diterjemahkan secara baik di lapangan. Kementerian Pertanian bahkan dianggap gagal paham dalam penentuan kebijakan. Pernyataan tendensius seperti itu bahkan mengaburkan persoalan yang ada karena menjadikannya sebagai tudingan yang bersifat pribadi. Bagaimanapun, ahli yang bertipe serupa ini bisa jadi sejatinya tidak memahami lapangan, hanya "berimajinasi" di atas meja dan kemungkinan memiliki agenda terselubung dengan pencitraan kurang etis di media.
Barangkali yang perlu diketahui bahwa sejak Kabinet Kerja menjalankan tugas pada Oktober 2014, Menteri Pertanian Amran Sulaiman telah melakukan perubahan mendasar.
Pertama, melakukan revisi regulasi yang menghambat pembangunan, berdasarkan Perpres Nomor 172 Tahun 2014 yang hanya diproses seminggu sehingga penyediaan benih dan pupuk tepat waktu. Telah diterbitkan juga peraturan pengendalian impor pangan, melakukan deregulasi investasi, dan menghasilkan 35 komitmen investor industri gula, jagung, dan sapi.
Kedua, mempersenjatai petani dengan 65.000 alat dan mesin pertanian, jumlah yang terbanyak selama ini, menyediakan pupuk bersubsidi 9,5 juta ton, bantuan benih padi 1 juta hektar, jagung 1,1 juta ha, dan kedelai 831.000 ha.
Ketiga, membangun infrastruktur irigasi besar-besaran yang mampu mengaliri 2,45 juta ha, melakukan optimasi lahan seluas 932.000 ha, kebijakan embung, long-storage, membuka jalan usaha tani, serta pasar tani, dan melakukan kebijakan efektivitas dalam menangani tata niaga dan ekspor-impor yang sangat bernuansa pro petani.
Bahkan, sejak awal 2015, Mentan Amran telah mengantisipasi dini ancaman kekeringan El Nino dengan mendistribusikan pompa, membangun embung, dam, parit, serta pada saat terjadi El Nino dilakukan pompanisasi waduk, hujan buatan, dan lainnya yang hasilnya diketahui bersama bahwa ancaman kekeringan itu dapat diminimalkan.
Berpijak pada fakta
Bagi yang mengetahui persoalan pangan di lapangan, pasti memahami pada 2015 petani betul-betul mendapat perhatian penuh dari pemerintah dengan berbagai fasilitas dan perlindungan melalui harga pembelian pemerintah maupun perlindungan dengan asuransi pertanian. Pada 2015 juga sering didengungkan oleh berbagai pihak sebagai tonggak tahun terjadinya transformasi dari pertanian konvensional menjadi modern karena dikembangkannya proses mekanisasi secara besar-besaran yang mampu menghemat biaya olah tanam dan tanam, penurunan kerugian, dan peningkatan pendapatan petani.
Sudah menjadi pemahaman bersama bahwa dunia pangan kita sebelumnya sangat dilekati oleh sebuah sistem tata niaga yang tidak sehat dan sangat kronis. Middle man, kartel, penyelundup, dan lainnya selama ini dibiarkan bergentayangan.
Mencermati kondisi tersebut, Mentan Amran langsung bertindak, memotong mafia pangan. Sudah lebih dari 30 kasus pengoplos dan pupuk ilegal ditangkap dan diproses hukum. Sebagian kartel daging sapi dan unggas yang selama ini mengendalikan pasokan dan harga sudah diproses di Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Middle man impor pangan juga diredam dengan menerbitkan regulasi impor yang ketat dan terkontrol.
Prinsip membangun pertanian yang merujuk pada ketiga aspek fundamental, yaitu ekonomi, ekologi, dan sosial-budaya, secara terang benderang telah diterapkan Mentan. Pengembangan pertanian ramah lingkungan dan memberdayakan petani dilakukan pada 2015. Kegiatan membangun 1.000 desa mandiri benih, desa organik, maupun 200.000 ha pola system of rice intensification telah mengantarkan Indonesia mengekspor beras organik 134 ton ke Italia.
Mentan Amran melakukan semua itu dengan didukung penuh penyuluh, TNI, Kelompok Tani Nelayan Andalan, Himpunan Kerukunan Tani Indonesia, perguruan tinggi, pemda, instansi terkait, dan Komisi IV DPR. Hal ini nyata telah menunjukkan hasil.
Data kinerja produksi pangan sesuai Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan produksi padi 2015 sebesar 74,9 juta ton atau naik 5,85 persen, jagung naik 4,34 persen, kedelai naik 2,93 persen dibandingkan 2014. Demikian juga produksi cabai, bawang merah, dan tebu.
Peningkatan produksi yang diikuti dengan penanganan aspek hilir dan tata niaga pangan diyakini berkontribusi langsung terhadap kesejahteraan petani. Tingkat kesejahteraan petani 2015 juga meningkat lebih baik dibandingkan 2014 sesuai indikator nilai tukar petani (NTP) maupun nilai tukar usaha pertanian (NTUP). Data BPS 2016, menyebutkan NTUP nasional 2015 sebesar 107,44 atau naik 1,40 persen dibandingkan 2014 sebesar 106,04. Secara rinci NTUP tanaman pangan 2015 naik 2,91 persen, peternakan naik 2,03 persen, dan hortikultura naik 1,35 persen.
Memang pada NTUP perkebunan ada penurunan 2,14 persen akibat sebagian besar produk yang berorientasi ekspor terkena imbas harga minyak kelapa sawit mentah dan karet yang turun serta krisis global, sementara produksi naik.
Sejalan dengan NTUP, maka indikator NTP juga menunjukkan peningkatan. NTP tanaman pangan tahun 2015 naik 1,48 persen dan NTP peternakan naik 0,75 persen. Adapun NTP perkebunan turun 4,12 persen akibat imbas pasar global.
Pada era demokrasi saat ini, kritik menjadi bagian yang sangat dibutuhkan dan Kementan terbuka. Hal itu dibuktikan pada 2015 Kementan memperoleh penghargaan atas keterbukaan informasi publik yang diberikan Komisi Informasi Pusat.
Kementan pasti akan menerima masukan positif dengan tangan terbuka. Namun, yang perlu diluruskan, kritik tersebut tidak mengarah atau menuding secara personal, seperti tulisan opini Saudara Sofyan Sjaf, yang saat ini tidak lagi bekerja sebagai staf ahli di salah satu ditjen di Kementan. Hal ini jangan sampai mengindikasikan adanya respons kekecewaan sehingga analisis yang diberikan tidak lagi bersandar pada data, tetapi lebih pada emosional semata.
Suwandi Kepala Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian Kementan;Tanggapan atas tulisan Sofyan Sjaf di Kompas, Jumat (29/1)
Sumber: http://print.kompas.com/baca/2016/02/01/Mempersenjatai-Petani-Indonesia-Menghadapi-MEA
- Log in to post comments
- 540 reads