BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Komisi Nasional Perempuan Bekerja di Atas Bara

Komisi Nasional Perempuan Bekerja di Atas Bara

Oleh: Maria Hartiningsih

DANA  dan fasilitas terbatas bukan hambatan bagi Komisi Nasional Perempuan untuk menjalankan mandatnya secara optimal. Spektrum isu yang luas dan beragam terkait hak asasi manusia perempuan kian merebut ruang dalam diskursus publik empat tahun terakhir ini.

Kerja Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan bisa menjadi kaca bagi lembaga HAM lain,” ujar Sandra Moniaga, anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia 2012-2017, menanggapi Laporan Pertangungjawaban Komisi Nasional (Komnas) Perempuan Periode 2010-2014, di Jakarta, Kamis (11/12).

Diskursus isu kekerasan terhadap perempuan kian merebut ruang, setidaknya terlihat dari jumlah pemberitaan. Antara tahun 2012 dan 2014, data menunjukkan 1.262 berita terkait Komnas Perempuan mengisi ruang di media massa.

Sandra sepakat dengan wakil komunitas keluarga korban pelanggaran HAM masa lalu, Uchikowati, yang menilai Komnas Perempuan sebagai lembaga HAM terbaik dibandingkan lembaga HAM lainnya. Sandra juga memuji kerja positif Komnas Perempuan, antara lain, soal akuntabilitas publik, kualitas pelayanan, dan keberanian untuk berperan sebagai ’the guardian institution’ yang independen tanpa terbelenggu kekakuan sistem Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

Saat memapar laporan itu, Ketua Komnas Perempuan 2010-2014, Yunianti Chuzaifah, mengungkapkan, dana pemerintah untuk operasional lembaga itu besarnya Rp 10 miliar setahun—terkecil dibandingkan lembaga HAM lainnya—ditambah hibah dari lembaga donor.

Hak konstitusi

Meski masukan Komnas Perempuan sering memerahkan telinga pihak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), Sekjen KPPPA Sri Danti Anwar menilai positif kerja Komnas Perempuan. Menurut Sri Danti, Komnas Perempuan selalu membantu KPPPA dalam konteks pengetahuan, data, dan strategi. Indikator parameter jender dari KPPPA, misalnya, mengadopsi 40 hak konstitusi warga negara yang diterbitkan Komnas Perempuan.

Mitra Komnas Perempuan juga menyatakan hal serupa. ”Kami banyak belajar dari Komnas Perempuan,” ujar
Deden Sukendar dari Lembaga Penelitian Sosial Agama Sukabumi.

Saat mengawal isu kebebasan beragama di Sukabumi, pihaknya melawan konservatisme dengan pengetahuan terkait isu hak konstitusi warga negara sebagai hak asasi manusia. Dengan argumentasi itu, spanduk berisi larangan salah satu mazhab dalam Islam yang dipasang kelompok berpengaruh kuat di sana akhirnya diturunkan.

Deden menunjukkan, dari 365 kebijakan diskriminatif atas nama moral dan agama (data Komnas Perempuan sampai Agustus 2014), Jawa Barat di peringkat teratas dengan 90-an kebijakan.

Kebijakan

Komnas Perempuan adalah satu-satunya komisi nasional di dunia dengan mandat penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Dibentuk dengan Keputusan Presiden Nomor 191 Tahun 1998, Komnas Perempuan adalah ’putri sulung reformasi’; pengawal terdepan hak-hak asasi perempuan.

Komisi ini menggedor kesadaran publik tentang kekerasan berbasis jender dan kejahatan terhadap kemanusiaan berbasis jender yang kerap luput dalam pembahasan isu pelanggaran HAM. Seperti diungkapkan Sri Danti Anwar, sampai hari ini Komnas Perempuan adalah lembaga dengan mandat khusus, terkait penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan mendorong pemenuhan HAM perempuan. Presiden SBY meneguhkan posisi itu dan diharapkan Presiden Jokowi pun mengambil posisi yang sama.

Agar sejarah tak dikaburkan, lembaga itu mengeluarkan catatan setiap tahun dan menerbitkan hampir 200 judul buku—lima tahun terakhir sekitar 35 publikasi—minus newsletter yang sekitar 160.

Sejak Keppres digantikan Peraturan Presiden No 65/2005, Komnas Perempuan memberi laporan berkala kepada Presiden RI, termasuk dokumentasi mengenai empat dasawarsa kekerasan terhadap perempuan dalam perjalanan berbangsa kepada Presiden SBY tahun 2008.

Komnas Perempuan secara konsisten mendengarkan suara korban, membuat pelatihan kepada hakim dan pejabat pengadilan, temu korban, moot court dan lain-lain, dan melalui jalur hukum, terus berupaya mengoreksi berbagai kebijakan yang memicu terjadinya kekerasan terhadap perempuan. Komnas Perempuan juga memperluas definisi tentang ’perempuan’, termasuk siapa pun yang merasa diri sebagai perempuan, seperti kelompok transjender.

Terdepan

Komnas Perempuan berada di baris terdepan untuk isu-isu terkait kebebasan beragama, perdagangan orang, kekerasan seksual, perkawinan bawah tangan, kekerasan oleh korporasi, dan berbagai bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Lembaga yang berkoordinasi baik dengan mitra-mitra kerjanya di daerah itu juga menjadi pemrakarsa sidang HAM tahunan di Indonesia.

Lima tahun terakhir, Komnas Perempuan mengawal isu-isu perempuan di kawasan timur Indonesia, selain isu-isu perempuan terkait agama, baik agama-agama Samawi maupun agama-agama Timur, dan akan dilanjutkan dengan agama dan kepercayaan lokal.

Pada dasarnya, kerja-kerja Komnas Perempuan mengacu pada konvensi HAM internasional; di antaranya, Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW), dua protokol dalam Konvensi Hak Anak (CRC) terkait anak-anak di zona konflik, penjualan anak, prostitusi dan pornografi anak, Kovenan Internasional mengenai Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR) serta Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (ICECR).

Namun, Komnas Perempuan juga memiliki kelemahan, di antaranya bertaruh dengan independensinya karena dana operasional masih bergantung pada negara. ”Selain itu, kondisi HAM ke depan kian berat dan rumit,” ujar Masruchah, komisioner periode 2010-2014 yang melanjutkan tugasnya sampai tahun 2019.

Kerja menegakkan hak asasi manusia perempuan masih jauh dari selesai dan berjalan di atas bara. Itu juga yang akan dihadapi oleh 15 komisioner Komnas Perempuan periode 2014-2019.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000010667294