BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Gempa Halmahera Momentum Berbenah

Gempa Halmahera Momentum Berbenah
Pembangunan Belum Perhatikan Risiko Bencana

JAKARTA, KOMPAS — Gempa berkekuatan 7,3 skala Richter disusul tsunami kecil di perairan Halmahera, Maluku Utara, Sabtu (15/11) pagi, mengingatkan pentingnya bersiaga. Sekalipun gempa dan tsunami kali ini tidak menimbulkan korban jiwa, ancaman kejadian serupa ke depan masih tinggi mengingat Indonesia berada di zona geologi yang sangat labil.

Gempa dan tsunami dengan skala lebih besar berpotensi terjadi di kawasan yang sama atau kawasan lain di Indonesia yang dipadati penduduk. ”Gempa di Halmahera ini mengingatkan kembali agar pemerintah sekarang memprioritaskan upaya pengurangan risiko bencana dalam pembangunan,” papar Irwan Meilano, ahli gempa dari Pusat Penelitian Mitigasi Bencana Institut Teknologi Bandung, Minggu (15/11). ”Khusus pulau-pulau terdepan, diperlukan mekanisme peringatan dini tsunami bersifat lokal,” ujarnya.

Sementara itu Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho mengatakan, gempa menimbulkan kerusakan sejumlah bangunan, misalnya Hotel Lion di Kota Manado dan empat rumah juga rusak di Kabupaten Kepulauan Sitaro. Namun, tidak ada korban jiwa.
Bangun kesiapsiagaan

Menurut Irwan, gempa pada Sabtu pagi itu terjadi akibat subduksi ganda pada lempeng laut Maluku yang terbentuk dari gerakan lempeng laut Filipina di timur dan Eurasia di barat. Sementara mekanisme gempa diperkirakan sesar naik. ”Subduksi ganda itu menghasilkan kompresi arah barat timur dengan laju 4 sentimeter per tahun,” katanya.

Kondisi tektonik pada lempeng Maluku itu, menurut Irwan, sangat kompleks. Data-data risetnya juga sangat kurang. Dibutuhkan penelitian mendalam terkait sumber gempa dari subduksi ganda untuk memetakan rinci karakter ancamannya. Apalagi, daerah ini tercatat beberapa kali dilanda gempa dan tsunami cukup besar pada masa lalu.

Data BNPB, sepanjang tahun 1629-2014, Indonesia dilanda sedikitnya 174 tsunami. Sebanyak 60 persen di kawasan Indonesia timur. Artinya, kawasan Indonesia timur lebih rentan terdampak tsunami karena tatanan lempeng tektonik rumit dan aktif.

”Khusus di kawasan Halmahera, sejarah kegempaannya yaitu tahun 1932 dengan kekuatan M8,3 dan gempa berkekuatan M7,4 tahun 1858 yang juga menghasilkan tsunami. Peta gempa terbaru wilayah itu percepatannya sangat tinggi,” tutur Irwan.

Adapun ahli tsunami dari Badan Pengkajian Dinamika Pantai-Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPDP-BPPT) Widjo Kongko menyebutkan, dalam kurun 1846-1968, setidaknya ada tujuh kali tsunami dalam radius 100 kilometer dari pusat gempa di perairan Halmahera itu.

Menurut Widjo, melihat sejarah kegempaan dan dinamika pergerakan lempengnya, potensi gempa di kawasan Halmahera itu bisa mencapai M8,1. ”Jika itu terjadi, dari model yang saya buat, ketinggian tsunami bisa mencapai 1,8 meter di sumbernya, dan ketinggian hingga 5 meter di pantai. Tsunami ini bisa berdampak di tujuh provinsi, lebih dari 30 kabupaten,” katanya.

Tujuh provinsi itu adalah Sulawesi Utara, Maluku Utara, Gorontalo, Sulawesi Tengah, Kalimantan Timur, Papua Barat, dan Maluku. ”Ketinggian tsunami secara teoretis 5 meter, tetapi di lapangan bisa dua atau tiga kali lipat, tergantung batimetri dan morfologi pantainya,” katanya.

Potensi tsunami di Kalimantan Timur tak banyak diketahui, apalagi catatan sejarah juga tidak ada. ”Tetapi dari pemodelan, ternyata Kalimantan yang selama ini dianggap aman dari tsunami, utamanya di pesisir Kutai Timur, Berau, Nunukan, dan Bulungan, ternyata rentan tsunami yang bersumber dari Laut Halmahera,” ungkapnya. Dengan skenario gempa M8,1, diperkirakan bisa menyebabkan tsunami skala sedang dengan waktu tempuh 2 jam setelah gempa. Itu sebelumnya tidak diperhitungkan.

Widjo mengatakan, belajar dari gempa di Halmahera, kesiapsiagaan dan respons masyarakat perlu dikaji serius. Terkait pengembangan infrastruktur kemaritiman yang akan dibangun pemerintahan sekarang, seharusnya dikaitkan dengan ancaman bencana tersebut.
Kondisi Manado

Di Manado, pemerhati geologi, Terkelin Purba, dan pakar lingkungan kota dari Universitas Sam Ratulangi, Veronica Kumurur, menilai pembangunan kota Manado semrawut dan tidak tertata untuk menghadapi risiko bencana.

Tidak sedikit bangunan vital justru terletak di jalur rawan gempa, banjir, longsor, dan tsunami. Terkelin dan Veronica mengatakan, saat gempa pada Sabtu lalu, banyak warga panik dan bingung menyelamatkan diri. ”Saya tidak melihat peta evakuasi dari bencana tsunami. Bingung mau lari ke mana bila terjadi tsunami,” ujar Veronica.

Selain itu, pemangkasan bukit terjadi massal dan masif, merusak drainase alami. Akibatnya, air meluncur deras ke Kota Manado. ”Hujan dua jam, sebagian wilayah Kota Manado tergenang air,” tuturnya. (AIK/ZAL)



Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000010139464

Related-Area: