Sebagai sebuah lembaga (Gerakan, LSM dan Lembaga Riset) yang lahir dari gerakan Baku Bae Maluku, mencoba mendesain sebuah kurikulum Pelatihan Fasilitator Perdamaian untuk terlibat dalam proses pembangunan perdamaian di Indonesia pada umumnya dan di daerah pada khususnya. Kegiatan ini didesain untuk merespon secara cepat setiap konflik yang terjadi di daerah-daerah.

Mengapa fasilitator perdamaian dan bukan advokasi perdamaian? Sebuah pertanyaan yang menggelitik kita? Paradigma advokasi yang menjadi mainstream strategi para aktivis LSM dalam menangani konflik-konflik yang terjadi merupakan paradigma dominan yang perlu diubah dalam frame pembangunan perdamaian.

Paradigma advokasi (kawan-lawan) tidaklah tepat dalam upaya membangun perdamaian, sebab menarik garis batas secara jelas antara pihak yang berkonflik akan menghantar upaya perdamaian pada posisi yang amat sulit untuk diwujudkan, Dengan demikian pilihan paradigma fasilitasi adalah pilihan yang sangat strategis karena fleksibilitas dalam mengupayakan proses dialog keberbagai pihak yang berkonflik diutamakan, sehingga keseluruhan pihak disentuh dan dibuka ruang untuk mencari solusi bersama.