BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Pokja DAS Biang Loe Rumuskan Rencana Kerja Penerapan Imbal Jasa Lingkungan

Penulis: Shinta Purnama Sarie dan Enggar Paramita

Sebagai lanjutan dari serangkaian program komponen lingkungan AgFor Sulawesi yang berbasis metode Capacity Strengthening Approach to Vulnerability (CaSAVA), diskusi bertajuk ‘Lokakarya Prinsip dan Mekanisme Imbal Jasa Lingkungan’ diadakan di Fave Hotel, Makassar pada 17 Juli 2014.  Lokakarya ini dihadiri oleh kelompok kerja (Pokja) imbal jasa lingkungan Daerah Aliran Sungai (DAS) Biang Loe, Bantaeng dan peneliti dari World Agroforestry Centre, Dr. Beria Leimona dan Dr. Atiek Widayati. Pokja terdiri dari pihak-pihak yang akan terlibat dalam penerapan skema pembayaran dan imbal jasa lingkungan (PIJL) di antaranya Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda), Dinas Kehutanan dan Perkebunan, Dinas Pertanian dan Peternakan, Universitas Hasanuddin, Yayasan Balang, Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Bantaeng, petani, perwakilan dari kecamatan serta desa/kelurahan DAS Biang Loe, Badan Usaha Milik Desa (BumDes) atau Badan Usaha Milik Masyarakat (BumMas).

Lokakarya ini menyoroti salah satu visi dan misi kelompok desa yang telah disepakati pada pertemuan di bulan Desember 2013, yakni visi dan misi kelompok desa Eremerasa-Tompobulu Zona DAS Biang Loe Tengah untuk menerapkan PIJL di DAS Biang Loe, Bantaeng. “Lokakarya ini bertujuan  untuk meningkatkan kapasitas anggota Pokja terkait prinsip-prinsip PIJL, juga untuk mempelajari skema PIJL yang sebelumnya diterapkan di proyek RUPES –sebuah proyek World Agroforestry Centre yang berfokus pada PIJL di Indonesia-  serta  mendiskusikan hasil analisis sementara studi AgFor tentang kondisi bentang lahan dan sumber daya air di DAS Biang Loe ,” ujar Pandam Prasetyo Nugroho, fasilitator komponen lingkungan di proyek AgFor Sulawesi.

Dr. Beria Leimona yang merupakan peneliti PIJL terkemuka dunia memimpin jalannya diskusi yang bermaksud untuk menyamakan persepsi para pihak yang akan ikut serta dalam PIJL. Beliau menjabarkan sejarah perkembangan PIJL, contoh penerapan, dan pengalamannya dalam menangani praktik PIJL di DAS Way Besai, Lampung. Sementara itu, Dr. Atiek Widayati memaparkan kondisi umum DAS Biang Loe agar peserta mempunyai bekal pengetahuan yang menyeluruh.

Bagi kelompok desa Eremerasa dan Tompobulu, DAS Biang Loe memiliki peranan vital karena merupakan sumber mata air bagi penduduk. Kualitas dan kuantitas sumber mata air ini akan sangat bergantung pada kondisi DAS. Dalam skema PIJL DAS Biang Loe, penduduk yang tinggal di sekitar DAS (penduduk hulu) akan berperan sebagai penyedia jasa lingkungan, sementara masyarakat luas yaitu pemerintah, penduduk hilir, PDAM sebagai pemanfaat jasa lingkungan. Di mekanisme tersebut, pemanfaat akan memberi kompensasi kepada penyedia jasa atas upayanya menjaga hutan dan melestarikan DAS Biang Loe, yang secara langsung berarti menjaga kelangsungan suplai air bagi pemanfaat.

Guna mendukung pelaksanaan mekanisme, Satuan Kerja Perangkat Daerah akan berperan menjadi regulator yang bertanggung jawab untuk menyelaraskan program, sedangkan World Agroforestry Centre dan Yayasan Balang  akan berbagi fungsi menjadi fasilitator yang akan menginisiasi dan menjembatani aktivitas-aktivitas penerapan PIJL.

Dalam lokakarya, Pokja berhasil merumuskan rencana kerja PIJL untuk diterapkan di tingkat desa, kecamatan, dan kabupaten. Rencana terdekat adalah sosialisasi  PIJL di desa-desa penerima manfaat yang dijadikan contoh perdana yaitu Kelurahan Campaga, Desa Kampala dan Pa’bumbungan pada September 2014. Sosialisasi akan dilakukan di desa-desa perdana dengan diskusi langsung mengenai cara kerja skema, identifikasi jenis-jenis jasa lingkungan, dan kompensasi yang dapat diterapkan dalam PIJL di DAS Biang Loe.

Direktur PDAM Bantaeng, Ilyas Syamsyuddin mengemukakan rasa optimisnya bahwa PIJL di DAS Biang Loe akan berjalan lancar. Ia mengatakan bahwa pelibatan pihak yang terkait dalam menentukan cara kerja skema adalah hal yang tepat karena berarti semua pihak bermusyawarah dan sepakat untuk mengutamakan kelestarian air hingga dapat terus dirasakan oleh generasi penerus di Bantaeng.