Kebutuhan manusia, yang kerap kali tergelincir menjadi kerakusan, memberikan tekanan hebat pada sumber daya laut. Namun, sejumlah masyarakat adat di Maluku dan Papua membendung godaan itu dengan ”perisai” adat.
Oleh
Tim Kompas
Marthen Sapisa (48) loncat dari haluan perahu ke laut. Selama lebih kurang 20 detik menyelam, ia menangkap seekor lobster. Inilah lobster pertama yang diambil sejak perairan itu resmi ”dibuka” dalam seremoni adat sehari sebelumnya, Senin (5/6/2023).
Sambil mengangkat lobster, Marthen berteriak diikuti penyelam lain. Mereka bergembira merayakan pemberian laut tersebut. Perairan itu masuk dalam wilayah masyarakat hukum adat Malaumkarta Raya, di Distrik Makbon, Kabupaten Sorong, Papua Barat Daya. Malaumkarta Raya terdiri dari Kampung Malaumkarta, Suatolo, Sawatut, Malagufuk, dan Mibi.
Serempak para penyelam turun mengambil lobster di dasar laut yang kedalamannya mencapai tujuh meter. Selama beberapa detik, mereka meliuk-liuk di antara batu karang berpasir sambil menyortir ukuran lobster yang sudah bisa diambil. ”Kami tidak ambil yang kecil,” ujar Marthen.
Mereka tak perlu mencari jauh-jauh. Populasi lobster sedang banyak setelah selama setahun aktivitas penangkapan di perairan itu dibatasi oleh aturan adat yang disebut egek oleh suku Moi, masyarakat adat di Malaumkarta Raya. Warga hanya boleh memancing ikan. Adapun teripang, lobster, dan lola sama sekali tidak boleh diambil.
Egek berarti larangan mengambil hasil alam dalam kurun waktu tertentu, berkisar enam bulan hingga satu tahun. Egek biasanya ditandai dengan pemasangan kain atau janur di lokasi larangan, yakni perairan dengan garis pantai sejauh enam kilometer dan panjang ke tengah laut sekitar dua kilometer. Aturan dari zaman leluhur itu seolah menjadi perisai yang melindungi kekayaan laut suku Moi.
Pada hari pertama buka egek, para penyelam mendapat lebih dari 20 ekor lobster dengan bobot per ekor di atas 1 kilogram. Harga jual per kilogram sebesar Rp 900.000.
Mereka terlebih dahulu mengambil lobster, teripang, dan lola. Tiga komoditas itu berharga tinggi di pasaran. Rata-rata harga teripang Rp 600.000 per kilogram, sedangkan harga lola sekitar Rp 30.000 per kilogram.
Spenyer Malasamuk (63), Kepala Dewan Adat Malaumkarta Raya, yang membuka egek, mengatakan, hasil penjualan tiga komoditas itu nantinya digunakan untuk kepentingan umum, seperti pembangunan rumah ibadah. Saat ini mereka sedang membangun gereja baru yang diperkirakan membutuhkan biaya miliaran rupiah.
Dua minggu kemudian, masyarakat umum boleh mengambil untuk kebutuhan masing-masing. Selain tiga komoditas itu, ada ikan dan hasil laut lainnya yang juga bernilai ekonomi tinggi. ”Kami semua sepakat mendahulukan kepentingan umum,” ujar Spenyer.
Setelah satu bulan, perairan itu kembali ”ditutup” dengan egek hingga dibuka lagi tahun depan. Kepala Desa Malaumkarta Jefri Mubalen mengatakan, ketika egek dipasang, mereka mengumumkan kepada masyarakat di kampung itu dan kampung-kampung tetangga lewat surat resmi.
Dengan begitu, jika ada yang mengambil hasil laut di perairan tersebut, akan dikenakan sanksi adat. Hukumannya berupa membayar denda seharga hasil laut yang diambil. ”Di luar itu, biarkan alam dan leluhur yang menghukum dia. Hukuman itu bisa membawa kematian,” kata Jefri.
Dia menambahkan, sejak 2001, lobster hasil egek bahkan menjadi sumber utama untuk pembangunan gereja di Malaumkarta. Kala itu, selama delapan tahun, egek dibuka dan ditutup setiap tahunnya sehingga tercukupi biaya pembangunan gereja sebesar Rp 1,5 miliar.
Jika alam dijaga, masyarakat tak perlu pusing untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Semangat konservasi yang dilakukan masyarakat adat itu pun didukung pemerintah melalui hukum positif. Aturan itu berupa Peraturan Bupati (Perbup) Sorong Nomor 7 Tahun 2017 tentang Hukum Adat dan Kearifan Lokal dalam Pengelolaan dan Perlindungan Sumber Daya Laut di Kampung Malaumkarta.
Di dalam perbup itu diatur sembilan jenis biota laut yang dilindungi; tiga jenis biota laut yang di-egek; hingga alat tangkap ikan yang dilarang, seperti jaring, bahan peledak, dan racun sianida. Tertera pula sanksi yang bisa dijatuhkan jika larangan itu dilanggar.
Spenyer menyebut, masyarakat telah sadar, jika alam rusak, kehidupan mereka terancam. Sebaliknya, jika alam dijaga, masyarakat tak perlu pusing untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Kesadaran itu menguat karena sebelum tahun 1990-an, cara-cara penangkapan ikan yang destruktif, menggunakan bom dan racun, kerap digunakan di perairan Malaumkarta oleh nelayan luar Malaumkarta. Ekses dari penangkapan itu terasa hingga kini. ”Kalau dulu saat saya masih kecil, menangkap ikan di pesisir saja sudah bisa, sekarang harus menjauh dari pesisir,” ujarnya.
Sasi
Kearifan lokal serupa juga diterapkan di sejumlah wilayah di Maluku, yakni sasi. Di Pulau Haruku, Kabupaten Maluku Tengah, masyarakat teguh menerapkan Sasi Lompa sejak masa leluhur.
Sasi jenis ini tak ditemukan di tempat lain di seluruh Maluku dan merupakan perpaduan antara sasi laut dan sasi kali. Sasi Lompa disebut sebagai perpaduan karena keunikan dari ikan lompa (Thryssa baelama), obyek sasi itu, yang dapat hidup di air laut dan air tawar.
Sasi Lompa atau larangan menangkap ikan lompa dalam batas waktu tertentu biasanya diumumkan oleh kewang atau penjaga alam Kampung Haruku. Sasi Lompa terakhir dibuka pada Oktober 2020 dan ditutup pada Desember 2020. Sejak saat itu, Sasi Lompa masih berlaku.
Warga dilarang menangkap ikan di sepanjang 1 kilometer perairan Kampung Haruku. Kali Learissa Kayeli yang membelah Haruku pun disasi, artinya siapa pun dilarang mengambil atau menangkap ikan di kali tersebut.
Warga bersyukur, praktik sasi di Haruku masih lestari hingga saat ini. Pasalnya, acara buka sasi kerap menjadi momentum bagi para perantau Haruku pulang kampung. Selain itu, praktik sasi tidak hanya dipandang sebagai wujud menjaga tradisi, tetapi juga cara menjaga ketahanan pangan.
Esyo Hetharia (39), warga Haruku, mengaku antusias setiap kali ada pengumuman buka sasi, terutama Sasi Lompa. Dia biasanya menangkap ikan lompa sebanyak dua baskom ukuran besar.
Jadi, mereka tidak belajar (tentang sasi) di kelas, tetapi belajar di alam.
Sebagian kecil ikan itu dikonsumsi langsung oleh keluarga. Namun, sebagian besar sisanya dikeringkan, kemudian disimpan di kaleng untuk cadangan pangan. ”Saat cuaca sedang buruk, tidak ada ikan segar, kami bisa mengambil ikan kering sebagai lauk,” kata Esyo.
Kepala Kewang Haruku Eliza Kissya mengatakan, upaya menjaga warisan leluhur yang diperkirakan telah ada sejak abad ke-17 itu dimulai dengan mengangkat anak-anak di Haruku sebagai kewang kecil. Mereka diajarkan untuk mencintai lingkungan dengan terlibat aktif dalam kegiatan menyemai dan menanam mangrove, membersihkan laut dari sampah, hingga kegiatan transplantasi karang.
”Kalau sudah dewasa, mereka sudah lihat, sudah tahu, tinggal praktik saja. Jadi, mereka tidak belajar (tentang sasi) di kelas, tetapi belajar di alam,” ucap Eliza.
Tidak hanya untuk menjaga sumber daya perikanan, sasi juga dapat memulihkan alam yang telah tereksploitasi habis-habisan. Hal ini disadari oleh masyarakat Desa Langgur di pesisir Selat Rosenberg, Kabupaten Maluku Tenggara.
Sejak lima tahun terakhir, masyarakat menerapkan sasi di kawasan perairan sepanjang 4 kilometer dan sejauh lebih dari 500 meter dari pantai. Berkat itu, kini sejumlah biota laut, mulai dari berbagai jenis kerang hingga rumput laut, muncul di sekitar pantai. Lat atau anggur laut yang dulu lenyap pun kini mulai terlihat lagi.
”Lima tahun lalu sulit menemukan lat di selat ini. Berbagai jenis kerang juga hilang. Sekarang sudah muncul lagi,” ujar Hipolitus Polikarpus Rumangun (63), tokoh masyarakat Langgur.
Menurut Poli, sapaan Hipolitus, budaya sasi di Kei disebut hawear. ”Eksploitasi laut sudah terlalu parah. Jadi, harus disasi supaya hasil laut ini tetap bisa dirasakan generasi berikutnya,” katanya.
Poli menyebut eksploitasi itu disebabkan tiga faktor, yaitu reklamasi, penggunaan alat tangkap tidak ramah lingkungan, dan penangkapan berlebih atau overfishing. Imbasnya, beberapa jenis ikan seperti baronang dan lele laut semakin sulit ditemukan. Kondisi ini memaksa nelayan melaut lebih jauh.
Poli mengungkapkan, pelanggar sasi akan dikenai sanksi adat berupa denda. Selain itu, masyarakat Kei percaya orang yang melanggar sasi akan kena sanksi yang tidak kasatmata.
Setelah 60 bulan ”puasa” menangkap ikan di Selat Rosenberg, sasi dibuka pada Oktober. Pascapembukaan sasi, masyarakat didorong kembali menangkap ikan secara tradisional. Ini perlu dilakukan agar kondisi laut yang telah membaik berkat sasi tidak rusak kembali.
”Kami akan mewajibkan penangkapan ikan di Langgur dengan cara tradisional. Boleh pakai pancing, bubu, dan sero. Potas (racun ikan) dan bom itu no! (tidak),” ucapnya.
Warga pun memahami hal itu karena ekosistem laut memerlukan waktu untuk pulih. ”Penerapan sasi di selat ini untuk kepentingan banyak orang, termasuk untuk anak-cucu kami di masa depan,” ujar nelayan Desa Langgur, George Karell Rahantoknam (48). (TAM/NDU/ENG/APA/FRN/VAN/XTI)
Editor:
MOHAMAD FINAL DAENG
- Log in to post comments