Andriana Lisnasari, Badan Pusat Statistik
Indeks Pemberdayaan Gender (IDG) di Indonesia, berdasarkan data yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS), terpantau terus mengalami peningkatan setiap tahunnya. IDG berada di kisaran 76,26% pada 2021, jauh lebih baik dibandingkan 69,14% satu dekade sebelumnya.
Terlebih, meningkatnya keterlibatan perempuan di parlemen dan makin banyaknya perempuan yang bekerja sebagai tenaga profesional menunjukkan deretan partisipasi aktif perempuan dalam pembangunan ekonomi dan politik. Hal ini juga menandakan bahwa perempuan memiliki potensi yang sama dengan laki-laki dalam menjalankan berbagai peran pembangunan.
Meski demikian, kualitas pendidikan bagi perempuan masih timpang jika dibandingkan dengan laki-laki.
Pada tahun 2021, rata-rata lama sekolah untuk perempuan adalah 8,17 tahun, sementara laki-laki adalah 8,92 tahun. Perbedaan sebesar 0,75 ini tergolong signifikan karena perkembangan periode lama sekolah setiap tahunnya rata-rata sebesar 0,10 tahun saja.
Kesenjangan ini kemudian berdampak pada rendahnya upah yang diterima pekerja perempuan jika dibandingkan laki-laki.
Upah rata-rata per jam untuk perempuan adalah sejumlah Rp 17.848,00, masih lebih rendah dari laki-laki yang sejumlah Rp 18.210,00. Dalam pasar tenaga kerja formal, perempuan hanya memiliki kontribusi 35,57%, karena mereka cenderung lebih banyak bekerja di sektor informal dengan persentasenya mencapai 63,80%.
Ketimpangan pendidikan yang lebih signifikan akan semakin terlihat nyata di wilayah pedesaan. Banyaknya anggapan yang mendiskreditkan pentingnya pendidikan bagi perempuan menjadi faktor utama sulitnya perempuan di pedesaan mendapatkan pendidikan yang layak sampai ke tingkat yang lebih tinggi.
Kondisi pendidikan bagi perempuan di pedesaan
Pendidikan perempuan di Indonesia saat ini memiliki perbedaan yang cukup mencolok jika dilihat menurut daerah pedesaan dan perkotaan.
Berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) BPS 2022, jenis ijazah tertinggi yang dimiliki sebagian besar perempuan di pedesaan adalah lulusan SD (31,28%), sementara perempuan di perkotaan sebagian besar adalah lulusan SMA/SMK (33,36%).
Persentase perempuan yang lulus dari perguruan tinggi di perkotaan adalah sebesar 13,97%, lebih dari dua kali lipat dibanding di pedesaan yang hanya berkisar 6,00%. Tak hanya itu, perempuan yang tidak memiliki ijazah atau tidak pernah bersekolah formal di pedesaan ada sebanyak 19,77%, jauh lebih banyak dibanding perkotaan yang sebanyak 10,26%.
Ditambah lagi, ada sebanyak 7,35% perempuan usia 15 tahun ke atas di pedesaan yang buta huruf, sedangkan di perkotaan hanya sepertiganya, yaitu 2,83%.
Apa penyebab pendidikan perempuan di pedesaan masih tertinggal?
Ada faktor eksternal dan internal yang melatarbelakangi rendahnya pendidikan perempuan di pedesaan.
Faktor eksternalnya adalah sangat kurangnya ketersediaan infrastruktur dan fasilitas yang mendukung yang dapat memberikan akses dan kesempatan yang lebih besar bagi masyarakat pedesaan untuk mengenyam pendidikan.
Sementara faktor internalnya, menurut hasil penelitian terkait, adalah karena masih banyak masyarakat di desa yang memiliki persepsi bahwa pendidikan tinggi untuk perempuan adalah pemborosan.
Biaya yang dikeluarkan untuk menempuh pendidikan dianggap percuma karena pada akhirnya perempuan belum tentu bekerja dan hanya akan mengurus rumah tangga. Berbeda dengan laki-laki yang didorong untuk menempuh pendidikan sebagai bekal untuk bekerja menafkahi keluarga.
Masyarakat pedesaan juga masih beranggapan bahwa perempuan berpendidikan tinggi rentan menjadi perawan tua karena waktunya akan tersita untuk bersekolah dan membuat mereka cenderung menunda pernikahan. Fakta menunjukkan proporsi perempuan yang menikah sebelum usia 18 tahun di pedesaan (13,73%) mencapai lebih dari dua kali lipat dibanding perempuan di perkotaan (6,12%).
Selain itu, masyarakat pedesaan masih beranggapan bahwa perempuan dengan pendidikan tinggi rentan memiliki keluarga yang tidak harmonis sebab mereka akan disibukkan dengan pekerjaannya dan tidak dapat mengurus anak serta rumah tangga sebagaimana mestinya.
Masyarakat di desa masih memiliki pola pikir bahwa mengurus anak dan rumah tangga adalah tanggung jawab seorang istri saja. Pola pikir masyarakat pedesaan inilah yang harus menjadi perhatian dan bersama-sama diarahkan agar lebih terbuka untuk meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup mereka sendiri.
Umumnya, mereka masih belum menyadari bahwa dengan pendidikan yang lebih tinggi akan memberikan dampak dan perubahan untuk kesejahteraan masyarakat pedesaan dan generasi anak cucu mereka.
Padahal, perempuan memegang peran penting jika pada akhirnya mereka memilih untuk melahirkan generasi penerus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi pendidikan orang tua, khususnya ibu, semakin baik pula pola asuh yang diterapkan.
Upaya apa yang dapat dilakukan?
Pembangunan infrastruktur bisa menjadi upaya utama yang harus terus dilakukan oleh pemerintah untuk pembangunan pedesaan. Tidak hanya untuk peningkatan pendidikan saja, infrastruktur yang memadai akan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat pada berbagai unsur secara keseluruhan.
Pendidikan tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah saja, tetapi semua pihak baik masyarakat umum maupun lembaga swasta. Dalam persoalan pendidikan, beasiswa masih menjadi solusi yang paling konkret. Namun, dalam hal pendidikan perempuan, tentunya diperlukan beasiswa yang lebih eksklusif untuk perempuan di wilayah pedesaan.
Adanya program beasiswa yang eksklusif ini akan memberikan kesempatan yang lebih besar untuk perempuan di pedesaan dalam memperoleh pendidikan.
Data BPS tahun 2021 menunjukkan bahwa Angka Harapan Hidup (AHH) untuk perempuan adalah 73,55 tahun, lebih tinggi daripada laki-laki yang berkisar di 69,67 tahun. Angka harapan lama sekolah perempuan adalah 13,22 tahun, lebih unggul dari laki-laki yang 12,95 tahun.
Angka tersebut menunjukkan bahwa perempuan memiliki peluang untuk hidup dan sekolah lebih panjang daripada laki-laki. Oleh karena itu, meningkatkan kualitas perempuan sebagai modal untuk pembangunan nasional merupakan sebuah investasi jangka panjang yang strategis dan visioner.
Selanjutnya, menyelenggarakan pendidikan nonformal di pedesaan untuk mengedukasi dan memotivasi masyarakat pedesaan tentang pentingnya mendapatkan pendidikan tinggi dan dampak yang akan mereka peroleh dari pendidikan itu sendiri. Ini dapat dilakukan melalui program relawan atau pengabdian masyarakat, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun organisasi non pemerintah.
Usaha-usaha ini lebih dari sekadar untuk meningkatkan kualitas pendidikan perempuan dan memperjuangkan kesetaraan gender. Lebih jauh lagi, ini adalah upaya bersama untuk membangun bangsa ini menjadi lebih besar, berdaya dan sejahtera melalui kelembutan, kecakapan, dan ketangguhan kaum perempuan.
Andriana Lisnasari, Statistisi Ahli Pertama, Badan Pusat Statistik
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.
- Log in to post comments