BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Menyebarkan Pengetahuan Lewat Sekolah Lapang Agroforestri

Penulis: Enggar Paramita

Konsep sekolah lapang bukanlah hal baru di bidang pertanian Indonesia. Diperkenalkan tahun 1989 oleh Food and Agriculture Organization sebagai upaya pengendalian hama terpadu, sekolah lapang mengajak petani untuk belajar langsung di sawah, mengamati masalah dan penyebabnya, serta menganalisis perkembangan tanaman mereka. Pelaksanaan sekolah lapang selama bertahun-tahun di berbagai daerah di Indonesia dinilai berperan besar dalam membantu petani menekan penggunaan pestisida dan meningkatkan hasil panen.

Berbekal konsep  tersebut, Endri Martini, Agroforestry Extension Specialist di World Agroforestry Centre (ICRAF) mencoba menerapkan hal serupa di desa-desa binaan AgFor Sulawesi. “Pada dasarnya saya telah membaca beberapa literatur tentang sekolah lapang ini, dan konsepnya menurut saya bagus. Bedanya kalau yang dulu pernah dilakukan terfokus pada satu jenis tanaman saja, sementara karena kita fokusnya agroforest, yaitu beragam jenis tanaman pada satu kebun, sehingga kita memfokuskan pada beberapa komoditas yang menjadi prioritas petani di desa-desa AgFor,” ungkap Endri.    

Sekolah lapang agroforestri AgFor dilaksanakan di Sulawesi Selatan dan Tenggara, dan mengangkat komoditas merica, cengkeh, kakao, kopi, dan durian. Pada pelaksanaannya, sekolah lapang meliputi tiga tahap, yaitu penguatan teori, kunjungan lapang ke kebun, dan evaluasi. 

Penguatan teori dilakukan dengan 2 cara, yaitu: 1) cara peneliti ke petani, yakni dengan mengundang para ahli komoditas untuk berbagi informasi-informasi terbaru kepada petani; 2) cara petani ke petani, di mana petani yang mengikuti kegiatan peneliti ke petani berbagi informasi kepada petani lain yang tidak menghadiri kegiatan tersebut. Setelahnya, tahap kunjungan lapang dilakukan dengan bertandang ke kebun petani yang merupakan contoh kebun campur yang sukses, sementara evaluasi digelar dengan menggali informasi ke petani guna mengetahui dan merencanakan tindak lanjut dari sekolah lapang.

Sebagai perwujudannya, pada pertengahan 2013, sekolah lapang AgFor Sulawesi mengundang ahli merica Dr. Dyah Manohara dan ahli cengkeh Dr. Dono Wahyuno untuk berbagi informasi kepada petani. Kedua peneliti dari Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik (Balittro) Bogor ini mengunjungi tujuh desa di Sulawesi Selatan dan Tenggara yang banyak membudidayakan kedua komoditas tersebut.

Sesi pembahasan pada merica menitikberatkan pada perbaikan budi daya yang ramah lingkungan, sedangkan cengkeh mengangkat tentang pengendalian hama dan penyakit secara terpadu. Pembahasan materi tidak hanya dilakukan melalui sesi presentasi di dalam ruangan, namun juga lewat praktik ke kebun untuk menerapkan langsung ilmu yang didapat. Dalam sesi tersebut, beberapa petani mengeluhkan lamanya waktu yang dibutuhkan tanaman merica untuk berbuah yang setelah ditelaah terjadi karena pohon mericanya berasal dari sulur cacing. Di masyarakat sendiri, ada dua jenis sulur merica yang sering dijadikan bahan tanam, yakni sulur panjat dan sulur cabang.   “Merica yang ditanam dari biji dan sulur cacing memang tidak kami sarankan, karena akan memakan waktu yang lama untuk berbuah. Yang terbaik adalah menggunakan bibit yang berasal dari sulur panjat,” kata Dr. Dyah. Ia pun mengungkapkan pentingnya petani untuk mengetahui hal tersebut agar tidak terbebani. “Kadang mereka tidak tahu ketika membeli bibit, ternyata bibitnya dari sulur cacing, sehingga waktu berbuahnya lebih lama. Kalau sudah begini, kasihan petaninya,” ujarnya.

Dalam sesi yang sama, petani cengkeh turut berdialog dengan Dr. Dono tentang pengalaman mereka dengan kasus hama penggerek, cacar daun, dan gugur bunga. Sambil berkeliling kebun, Dr. Dono berbagi saran dan menekankan kepada petani pentingnya untuk melakukan pemupukan teratur dan sanitasi, yang terbukti dapat membantu mencegah hama dan penyakit.

Dari tahap penguatan teori, tim AgFor Sulawesi mencatat sejumlah petani unggul yang paling aktif mengikuti kegiatan sekolah lapang. Mereka kemudian dikumpulkan untuk diberi pelatihan lanjutan agar dapat menyampaikan pengetahuan merica dan cengkeh yang telah mereka terima ke petani di desa lain.

Ramli, petani unggul asal Desa Pattaneteang yang menjadi pemateri dalam sesi cengkeh di Desa Kayu Loe mengemukakan pengalamannya ketika menjadi nara sumber. “Saat itu adalah pertama kalinya saya bicara di depan teman-teman petani lain. Awalnya gugup, tapi rasa percaya diri saya tumbuh, dan Alhamdulillah teman-teman bisa mengerti apa yang saya jelaskan,” ungkap Ramli. Hadirnya petani sebagai nara sumber untuk petani lain diharapkan dapat mempermudah pemahaman terhadap materi yakni lewat penggunaan bahasa lokal, istilah yang relevan, dan contoh-contoh yang familiar.

Menyusul tahap penguatan teori, kunjungan lapang dilakukan dengan melihat kebun campur petani yang dianggap terpelihara dan memiliki hasil yang baik. Para petani yang telah terlibat di penguatan teori, diajak untuk mengamati kondisi kebun dan berdiskusi. Di sana petani juga berkesempatan untuk berbagi pengalaman sekaligus membangun jaringan dengan petani lainnya. “Salah satu tujuan yang kita ingin capai dalam sekolah lapang ini adalah meningkatkan kemampuan analisis para petani, karena sebenarnya mereka sudah pintar, hanya saja perlu diasah lagi cara berpikirnya,” kata Endri.

“Selain itu kita berharap untuk menghasilkan champion atau petani unggul, yang nantinya akan meneruskan penyebaran informasi ke petani-petani lain agar keberlanjutan pertukaran pengetahuan ini bisa terjaga,” tutur Endri.

Selang beberapa saat, evaluasi awal pun dilakukan. Hasilnya menunjukkan di desa-desa yang sebelumnya mengembangkan bibit merica dari sulur cacing kini beralih ke sulur panjat. Pengetahuan tentang cara pemupukan cengkeh yang benar dan jarak tanam ideal pun telah dipraktikkan. Endri berharap agar hasil positif ini dapat terus dipertahankan, dan pendekatan yang telah diaplikasikan di sekolah lapang ini bisa direplikasi di kegiatan sekolah lapang agroforestri di tempat lainnya.