BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Masyarakat Indonesia masih rentan jatuh miskin, apa penyebabnya?

Lina Agustina Pujiwati (Mahasiswa Doktoral Kependudukan UGM, Universitas Gadjah Mada)

Penyesuaian harga BBM yang diambil pemerintah pada 3 September 2022 memberikan dampak kenaikan harga komoditas pangan dan nonpangan. Hal ini tidak lepas dari kenaikan biaya angkut untuk proses distribusi barang dan jasa. Kebijakan pemerintah tersebut telah memicu kenaikan angka inflasi.

Dengan pendapatan tetap bahkan cenderung menurun akibat PHK di sektor padat karya, daya beli masyarakat pun menurun dan jumlah penduduk miskin semakin meningkat. Rilis data BPS menunjukkan bahwa persentase penduduk miskin per September 2022 sebesar 9,57% atau naik 0,03% dibanding Maret 2022. Secara jumlah, penduduk miskin Indonesia adalah sebanyak 26,36 juta orang atau meningkat 0,20 juta orang dibanding semester sebelumnya.

Masalah kemiskinan tidak bisa dilepaskan dari dimensi kerentanan kemiskinan. Kenaikan angka kemiskinan biasanya diiringi dengan meningkatnya jumlah penduduk rentan miskin yang hidup di sekitar garis kemiskinan. Mereka adalah kelompok rentan yang kerap luput dari perhatian masyarakat dan bahkan pemerintah karena kebijakan yang diambil biasanya fokus pada mereka yang menyandang status sebagai penduduk miskin. Padahal, keadaan mereka yang rentan miskin juga tidak jauh berbeda dengan kelompok miskin.

Kerentanan kemiskinan di Indonesia
Menurut World Bank,kerentanan kemiskinan (vulnerability to poverty) adalah peluang atau risiko menjadi miskin atau jatuh menjadi lebih miskin di waktu mendatang. Kerentanan kemiskinan merupakan risiko ex ante (belum terjadi) yang akan dihadapi rumah tangga. Sederhananya, jika saat ini tidak miskin, guncangan ekonomi membuat rumah tangga rentan miskin jatuh ke bawah garis kemiskinan dan jika saat ini miskin, mereka akan terus terperangkap dalam kemiskinan tersebut.

Sebuah hasil penelitian tahun 2013 – menggunakan data Indonesian Family Life Survey (IFLS) – menunjukkan bahwa selain mengalami masalah kemiskinan dan ketimpangan, Indonesia juga menghadapi kerentanan kemiskinan. Penelitian ini menunjukkan bahwa sekitar 27% rumah tangga pernah mengalami kemiskinan setidaknya satu kali pada periode 1997-2007.

IFLS merupakan survei yang dilakukan oleh [RAND Corporation], organisasi riset internasional nirlaba dari Amerika Serikat. Survei Temuan diperoleh dari survei longitudinal atau dilakukan menerus dalam jangka panjang terhadap responden rumah tangga dan individu yang sama di setiap periodenya. Cakupan awal IFLS meliputi lebih dari 7.200 rumah tangga 13 provinsi untuk menggambarkan 83% populasi Indonesia.

Di balik kerentanan kemiskinan
Jatuhnya rumah tangga ke dalam kemiskinan dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik bersumber dari dalam maupun luar rumah tangga, maupun dari aspek sosial, ekonomi, maupun demografi.

Salah satu penyebab yang kerap menjadikan rumah tangga jatuh miskin adalah guncangan pendapatan. Penduduk rentan miskin sering kali mengalami kondisi pendapatan yang tidak aman (income insecurity), sehingga goncangan kecil saja dapat dengan mudah menyebabkan mereka jatuh ke dalam kemiskinan.

Adanya goncangan (shock) baik dalam bidang ekonomi, iklim, kondisi alam, lingkungan sosial, maupun kondisi merugikan lainnya dapat mengakibatkan rumah tangga menjadi miskin pada periode mendatang. Guncangan berupa pandemi COVID-19, misalnya, secara tidak langsung berpengaruh terhadap penurunan pendapatan karena adanya jaga jarak sosial yang membatasi ruang gerak. Demikian juga dengan guncangan berupa kematian kepala rumah tangga yang bisa menyebabkan penurunan tingkat kesejahteraan.

Guncangan pendapatan yang dialami oleh rumah tangga dapat bersumber dari common shock maupun idiosyncratic shock. Common shock merupakan guncangan pendapatan yang dampaknya luas seperti bencana alam (banjir, kekeringan) yang menyebabkan petani gagal panen, bisa terasa pada satu desa, kecamatan, atau bahkan satu kabupaten. Sementara itu, idiosyncratic shock merupakan goncangan pendapatan yang dampaknya hanya dirasakan oleh individu atau rumah tangga yang mengalaminya, misalnya kesakitan dan kematian kepala rumah tangga.

Dampak guncangan pendapatan terhadap kesejahteraan rumah tangga bervariasi antar rumah tangga. Hal ini tergantung pada kapasitas yang dimiliki oleh rumah tangga, berupa sumber daya manusia, sumber daya alam, finansial, modal sosial, dan akses terhadap fasilitas dasar – seperti perumahan, pasar, sekolah, rumah sakit, jalan, air minum, dan sebagainya.

Rumah tangga sejahtera akan mampu mengatasi guncangan pendapatan sehingga mereka akan terhindar dari kemiskinan. Akan tetapi, rumah tangga yang tidak memiliki kapasitas yang baik akan mengalami kerentanan terhadap kemiskinan.

Sebagai contoh, rumah tangga yang memiliki kapasitas modal fisik seperti rumah, alat transportasi, alat produksi pertanian, alat tangkap ikan, dan kepemilikan harta benda lainnya akan lebih mampu merespons goncangan dibanding dengan rumah tangga yang tidak memiliki modal fisik tersebut.

Rumah tangga yang memiliki kapasitas modal manusia seperti masa sekolah yang lebih panjang dan kemampuan yang lebih tinggi, juga akan lebih mampu menghadapi goncangan dengan memanfaatkan kapasitas yang mereka miliki. Demikian juga dengan rumah tangga yang memiliki jejaring sosial, terlibat dalam kegiatan sosial budaya dan keagamaan di lingkungan tempat tinggalnya, dapat memanfaatkan kapasitas tersebut dalam meredam goncangan.

Kelompok rumah tangga rentan miskin dan miskin akan menggunakan berbagai macam strategi untuk mengatasi goncangan pendapatan yang terjadi. Rumah tangga yang berhasil mengatasi goncangan pendapatan akan tetap berada pada kondisi kualitas hidup sebelum adanya goncangan. Namun, jika rumah tangga tidak berhasil mengatasi goncangan yang terjadi maka rumah tangga rentan miskin akan jatuh ke dalam kemiskinan dan rumah tangga miskin akan menjadi semakin miskin.

Perlu sinergi
Pengukuran kerentanan kemiskinan tidak sama dengan kemiskinan. Kerentanan kemiskinan merupakan pengukuran ex ante, yaitu perhitungan terhadap sesuatu yang belum terjadi. Sementara itu, pengukuran kemiskinan bersifat ex post, berupa pengukuran terhadap sesuatu yang telah terjadi. Perbedaan ini erat kaitannya dengan implikasi kebijakan yang perlu diambil.

Dengan menganalisis kerentanan kemiskinan, strategi yang disusun diharapkan dapat mencegah terjadinya kemiskinan. Sementara itu, kebijakan yang disusun dari hasil perhitungan kemiskinan bertujuan untuk mengurangi dampak kemiskinan.

Upaya pengentasan kemiskinan tidak bisa dilepaskan dari masalah kerentanan. Oleh karena itu, berbagai program penanggulangan kemiskinan yang digalakkan pemerintah seharusnya tidak hanya tertuju pada mereka yang miskin, tetapi juga menyentuh kelompok rentan miskin.

Jika kelompok miskin membutuhkan kebijakan yang dapat menunjang hidup mereka sehari-hari seperti bantuan langsung, subsidi bahan pokok, dan lain-lain, maka penduduk rentan miskin memerlukan kebijakan yang dapat menjaga stabilitas ekonomi. Hal ini dikarenakan kelompok rentan miskin sangat sensitif terhadap goncangan.

Selain itu, mereka juga memerlukan kebijakan yang dapat mendukung stabilitas pemasukan, seperti fleksibilitas kredit usaha rakyat, pelatihan peningkatan keahlian, dan pendampingan peningkatan kompetensi. Proteksi pendidikan dan asuransi kesehatan juga sangat mereka butuhkan sebagai jaminan atas pemenuhan kebutuhan dasar.

Sebagai katalisator program pengentasan kemiskinan, sangat dibutuhkan koordinasi, kolaborasi, dan sinergi antara pemerintah pusat dengan daerah. Peran pelaku ekonomi, baik korporasi, lembaga nonprofit, maupun rumah tangga juga perlu dioptimalkan guna mengakselerasi capaian keberhasilan sehingga upaya menghapus kemiskinan semakin efektif dan komprehensif.

Sumber: https://theconversation.com/masyarakat-indonesia-masih-rentan-jatuh-miskin-apa-penyebabnya-198679?utm_medium=email&utm_campaign=Nawala%20TCID%20-%20Ek...