BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Madu Tiris, Madu Hutan yang Lestari

Penulis: Hasantoha Adnan, Jhon Roy Sirait, La Ode Ali Said, dan Amir Mahmud

Madu merupakan salah satu komoditas hasil hutan yang memiliki banyak manfaat. Cairan kental berwarna cokelat keemasan ini dihasilkan oleh  lebah madu (Apis dorsata) yang mengumpulkan nektar bunga dari berbagai tanaman. Tak hanya dikonsumsi langsung, madu juga digunakan sebagai campuran bahan makanan, minuman, dan sabun. Sarang madu akan menghasilkan lilin lebah (beeswax) yang dipakai  untuk industri kecantikan dan obat-obatan.

Di beberapa tempat di Indonesia, madu adalah komoditas unggulan yang menyumbang pada peningkatan ekonomi masyarakat. Selain itu, madu juga menjadi bagian dari identitas sosial masyarakat adat, di mana banyak komunitas adat mempertahankan keberadaan hutannya melalui pengolahan madu yang lestari.

Daerah hulu Konaweha di Sulawesi Tenggara telah lama dikenal sebagai salah satu daerah penghasil madu hutan. Saat musim panen tiba, yakni di bulan November–Januari dan April–Mei, beribu-ribu kilogram madu dihasilkan dari hutan di daerah ini. Area penghasil madu meliputi Kecamatan Ueesi dan Uluiwoi di Kolaka Timur, serta Latoma, Asinua dan Abuki di Konawe.

Pemanenan madu umumnya masih dilakukan secara tradisional oleh kelompok pemburu madu hutan, yang di Sulawesi Tenggara dikenal dengan sebutan ‘pasoema’. Pasoema biasanya terdiri dari 3–4 orang. Mereka masuk ke hutan, melakukan survei guna menentukan pohon mana saja untuk dipanen, dan menandai pohon tersebut pada kulit kayunya agar tidak diklaim oleh pasoema lain. Setelah itu mulailah dilakukan pengasapan untuk mengusir lebah dari sarangnya, yang dilakukan dengan membakar lilitan daun enau pada bambu yang menyerupai tabung.

Ketika sarang sudah aman dari lebah, salah seorang anggota kelompok akan memanjat pohon untuk mengambil sarang lebah tersebut. Sarang kemudian diperas dan diambil madunya. Hasil perasan lalu  dikemas dalam botol bekas air mineral dan siap dijual.

Jika dilihat dari cara tradisional yang biasa dipraktikkan, dapat dikatakan aspek kelestarian dan kebersihan belum menjadi perhatian. Hal ini berdampak pada terancamnya kelestarian habitat lebah madu dan rendahnya kualitas madu yang dihasilkan sehingga harga jualnya pun rendah.

Berbeda dengan cara tradisional, pengelolaan madu lestari dan higienis menggarisbawahi perlindungan lebah madu dan habitatnya serta pemrosesan pascapanen yang mengutamakan kebersihan.

Pada pengelolaan ini, upaya menjamin kehidupan lebah madu di hutan dilakukan dengan melestarikan pohon tempat lebah bersarang dan juga pohon-pohon di sekitarnya. Keberadaan pohon pendamping di sekitar pohon sarang harus pula diutamakan karena berfungsi sebagai pelindung dan penyedia makanan bagi lebah madu.

Selain itu, jika pada proses tradisional panen dilakukan dengan mengambil seluruh sarang, proses lestari hanya mengambil bagian kepala sarang yang berisi madu. Pengambilan seluruh sarang berarti turut mengambil bagian yang berisi larva lebah. Dalam prosesnya, bagian ini akan diperas sehingga mematikan larva. Sedangkan dengan hanya mengambil kepala sarang saja maka akan menjaga kelangsungan hidup koloni lebah. Juga, karena sarang hanya diambil kepalanya, maka waktu yang dibutuhkan lebah untuk membangun kembali sarang tidak sebanyak jika harus membangun secara utuh. Waktu yang lebih cepat tersebut berarti memangkas jarak panen hingga makin singkat. Sebagai perbandingan, ketika seluruh sarang diambil, lebah memerlukan 8–10 bulan untuk menghasilkan sarang baru. Sementara dengan mengambil kepala sarang, lebah hanya membutuhkan 3–5 bulan untuk membangun kembali sarangnya.

Dalam pengolahan yang lestari, unsur kebersihan dalam proses pascapanen turut menjadi perhatian. Kepala sarang berisi madu yang telah dipanen harus ditempatkan pada jerigen yang steril. Proses penirisan pun dilakukan dengan melibatkan pekerja yang dilengkapi dengan baju pelindung, masker, dan tutup kepala. Tidak hanya itu saja, pengirisan kantung madu dipraktikkan dengan pisau baja anti karat, dan penirisan dilakukan dengan menggunakan kain saring dari nilon dan corong yang bersih.

Madu yang telah ditiris kemudian disimpan dalam jerigen berwarna putih yang ditutup rapat dan ditempatkan pada penyimpanan yang teduh. Guna mempertahankan kualitas, selain dijauhkan dari cahaya matahari langsung, jerigen berisi madu harus dijauhkan dari pupuk, bensin, maupun solar untuk mencegah penyerapan bau uap bahan-bahan tersebut.

Dengan menerapkan proses yang lestari, madu akan mendapat harga jual yang lebih tinggi.  Saat ini, Jaringan Madu Hutan Ueesi (JMHU), sebuah asosiasi pasoema dari Kecamatan Ueesi, Kolaka Timur, yang merupakan anggota Jaringan Madu Hutan Indonesia (JMHI) membeli madu tiris dari pasoema dengan harga Rp 45–55 ribu per kilogram. Harga ini jauh lebih tinggi dari madu peras yang berkisar Rp 20–30 ribu per kilogram. Selain itu dengan penyimpanan yang tepat, madu tiris dapat bertahan hingga 8 tahun dengan tanpa merusak kualitasnya. Bandingkan dengan madu peras yang hanya dapat bertahan 2 tahun.

Berdasarkan informasi dari Nasrudin, Presiden JMHU, tidak semua madu hutan dari kepala sarang dapat ditiris. Beberapa memang harus diperas. Selain itu, menurutnya ada juga konsumen yang lebih menyukai madu peras. Itulah sebabnya, walau giat mempromosikan produksi madu tiris, JMHU tetap mempertahankan keberadaan madu peras, sembari perlahan mengurangi kuantitasnya. Hal ini merupakan langkah transisi yang diambil sebelum benar-benar beralih ke madu tiris.

Melihat berbagai manfaat dari praktik pengolahan madu lestari ini, AgFor Sulawesi percaya bahwa informasi tentang cara pengelolaan madu secara lestari dan higienis harus mulai diperkenalkan agar masyarakat perlahan beralih. Oleh karena itu, komponen tata kelola (governance) dari proyek AgFor Sulawesi saat ini aktif mendorong para pasoema yang tersebar di Desa Tawanga, Undolo, Lalombai dan Sanggona, Kecamatan Uluiwoi, Kabupaten Kolaka Timur untuk mengadopsi praktik pemanenan tersebut. Sebagai langkah awal, AgFor menggelar pelatihan cara panen madu lestari pada November 2013, yang diikuti dengan pelatihan pemasaran dan kewirausahaan pada Februari 2014.  Dengan menggandeng mitra lokal Komunitas Teras dan Yascita, AgFor Sulawesi berencana melaksanakan penilaian cepat pasar secara partisipatif, memberikan penguatan kelembagaan kelompok pasoema, mengadakan pelatihan pengembangan produk turunan, membangun jaringan pemasaran, hingga melakukan diskusi multipihak di tingkat kabupaten dan provinsi guna mendukung kebijakan yang bertujuan menjadikan kawasan hulu Konaweha sebagai sentra produksi madu hutan di Sulawesi Tenggara.