Keluhan para akademisi dan periset kita, selama ini sering direpotkan urusan administrasi daripada substansi risetnya
Belum lama ini diumumkan para pemenang hadiah Nobel 2023. Jon Fosse memenangi Nobel untuk sastra; Katalin Kariko dan Drew Weissman untuk kedokteran; Pierre Agostini, Ferenc Krausz, dan Anne L’Huillier untuk fisika; Moungi G Bawendi, Louis E Brus, dan Alexei I Ekimov untuk kimia; dan Narges Mohammadi untuk perdamaian.
Pengumuman hadiah Nobel tahun ini bersamaan waktunya dengan berita gagalnya tim bulu tangkis Indonesia di Asian Games, Hangzhou. Tim cabang olahraga kebanggaan Indonesia selama puluhan tahun ini gagal total meraih medali sekeping pun, bahkan sekadar perunggu.
Sebaliknya, Spanyol yang dua puluh tahun lalu belum dikenal dalam peta dunia bulu tangkis sekarang bisa meroket. Artinya, selalu ada pasang surut dalam capaian setiap negara, di bidang apa pun.
Demikian juga dalam hal hadiah Nobel, saat ini masih berupa impian jauh bagi Indonesia. Namun, siapa tahu, bisa jadi suatu saat nanti kita bisa menggapainya meskipun butuh waktu lama. Kita bisa berharap dari para talenta muda di bidang sains (kedokteran, fisika, kimia), humaniora (sastra, perdamaian).
Sastra, perdamaian, sains
Narasi optimistis harus tetap kita tebarkan. Ada beberapa pemenang Nobel juga berasal dari negara berkembang, seperti Pakistan (Abdus Salam, Malala Yousafzai), Bangladesh (Muhammad Yunus), dan Iran (Narges Safie Mohammadi).
Pemenang dari negara berkembang umumnya di bidang perdamaian, seperti Aung San Suu Kyi (1991, Myanmar), Malala Yousafzai (2016), Ramos Horta (1995, Timor Leste).
Peluang kita untuk meraih Nobel Perdamaian bukannya tak ada. Kita punya banyak pejuang HAM, perdamaian, dan pembela hak-hak publik.
Umumnya mereka tokoh pejuang HAM yang dikenal publik, bukan tipe ilmuwan yang lebih sering bekerja dalam laboratorium sunyi yang jarang dikenal publik. Indonesia punya banyak pejuang HAM dan pembela hak-hak publik, juga memiliki sastrawan hebat, sehingga punya peluang untuk meraih Nobel perdamaian meskipun entah kapan waktunya.
Namun, untuk bidang sains (kedokteran, fisika, kimia) dan ekonomi, tampaknya masih butuh waktu dan kerja keras yang lebih panjang.
Peluang kita untuk meraih Nobel Perdamaian bukannya tak ada. Kita punya banyak pejuang HAM, perdamaian dan pembela hak-hak publik.
Demikian juga di bidang sastra, Indonesia tidak pernah kekurangan sastrawan besar dan bertalenta, salah satunya Pramoedya Ananta Toer, yang beberapa kali masuk nominasi Nobel sastra, tetapi selalu kandas entah mengapa.
Namun, jika seseorang sangat berambisi mendapatkan hadiah Nobel, bisa jadi malah tak akan mendapatkannya. Jon Fosse, warga Norwegia, peraih Nobel sastra 2023, mengatakan, ”Anda tidak dapat menulis karena Anda berpikir akan mendapatkan Nobel. Anda pasti tak akan mendapatkannya.”
Respons Fosse saat diumumkan sebagai pemenang Nobel ini menggambarkan, rata-rata sifat pemenang Nobel tidak ada yang berambisi untuk mendapatkan Nobel. Sebagaimana juga ditunjukkan oleh Lousi E Brus dan Pierre Agostini, yang tetap rendah hati, tidak merasa pintar, dan mengakui bahwa capaian ini hasil kerja bersama peneliti dan kolega lain, bukan hasil kerja personal.
Dari uraian di atas, tampaknya perlu ada langkah strategis bersama agar nanti warga kita bisa masuk dalam jajaran pemenang Nobel, terutama bidang humaniora; sementara untuk bidang sains adalah tahap berikutnya. Perlu kerja keras agar para ilmuwan sains, pejuang HAM, dan sastrawan Indonesia masuk dalam tangkapan radar Komite Nobel di Swedia dan Norwegia.
Barangkali perlu mencari ”irisan” program skala besar dan berkelanjutan antara Indonesia dan negara-negara rumpun Skandinavia, misalnya tentang transisi energi. Negara-negara Skandinavia dalam posisi garda depan dalam pemanfaatan energi terbarukan, dengan memanfaatkan sinar matahari, angin, dan pembangkit listrik tenaga air (PLTA).
Negara-negara Skandinavia sudah melaksanakan dekarbonisasi sektor transportasi secara masif, dengan menggunakan baterai buat kendaraan listrik.
Indonesia yang juga berambisi menuju emisi nol bersih (net zero emissions) tahun 2060 bisa banyak belajar dan melakukan kerja sama dengan komunitas Skandinavia, baik melalui jalur pemerintah (G to G) maupun jalur swasta (B to B).
Hal ini mengingat negara-negara Skandinavia sudah pasang target emisi nol bersih pada 2040. Riset di bidang transisi energi hanyalah salah satu pilihan, masih ada banyak cara lain agar Indonesia bersinggungan dengan ekosistem riset negara maju, hijau, dan sejahtera di kawasan Skandinavia.
Ekosistem riset
Dilihat dari statistik, hadiah Nobel untuk sains lebih sering dimenangi oleh warga dari negara maju, seperti Amerika Serikat, Eropa, Jepang, China, dan Korea Selatan. Sementara Nobel untuk sastra dan perdamaian bisa dimenangi oleh warga dari negara berkembang.
Setidaknya ada dua faktor yang sangat mendukung: bagusnya ekosistem penelitian dan bagusnya kesejahteraan bagi penelitinya. Ini dua hal yang masih menjadi problem besar di negara kita. Para pemenang Nobel, terutama di bidang sains, tak menghadapi masalah terkait kesejahteraan karena adanya dukungan dari lembaga afiliasinya atau negara.
Insentif bagi peneliti di negara-negara maju sangat menggiurkan. Itu sebabnya, banyak diaspora peneliti Indonesia lebih memilih tinggal di sana.
Insentif bagi peneliti di negara-negara maju sangat menggiurkan. Itu sebabnya, banyak diaspora peneliti Indonesia lebih memilih tinggal di sana.
Soal dukungan ekosistem harus diakui kita juga sangat jauh tertinggal. Lembaga yang seharusnya memandu program penelitian, yakni BRIN, masih dalam tahap penataan internal setelah bertransisi dari bentuk kelembagaan sebelumnya (LIPI). Hal ini turut berkontribusi pada belum tumbuhnya kultur riset yang berkualitas di sini.
Pencapaian penghargaan Nobel di bidang sains bisa dilihat sebagai gambaran seberapa baik ekosistem penelitian di sebuah negara.
Sebagai contoh, berdasarkan data jumlah artikel penelitian di semua bidang pada 1996-2022, AS, China, dan Inggris adalah tiga negara dengan indeks artikel terpublikasi dan tersitasi terbanyak.
Berdasarkan data H-index, dari AS mencapai 2.880, China 1.210, dan Inggris 1.815. Bandingkan dengan Indonesia yang 288. Angka ini merujuk pada banyaknya artikel yang disitasi, yang merefleksikan produktivitas karya penelitian yang diterbitkan.
Hasil karya para ilmuwan kita tertinggal jauh. Para peneliti Indonesia menduduki peringkat ke-58 dalam indeks Scientific Alper-Doger. AS peringkat pertama dengan 250.000 poin indeks dan Inggris peringkat kedua dengan 50.000 poin indeks. Singapura peringkat ke-20 dan Malaysia peringkat ke-37 dengan bidang utamanya bioengineering dan teknologi.
Nobel jadi terasa sebagai mimpi bagi ilmuwan Indonesia saat ini karena ekosistem, budaya riset, kelembagaan, dan dukungan dana dari pemerintah belum maksimal. Ilmuwan kita masih terbenam dalam kungkungan birokrasi dan kerumitan prosedur administrasi dan pelaporan keuangan sehingga sulit untuk menghasilkan riset kelas dunia yang potensial dinominasikan untuk Nobel.
Masih minimnya anggaran riset pada lembaga-lembaga yang dikelola pemerintah dengan dana APBN menunjukkan masih rendahnya dukungan tersebut. Para ilmuwan, akademisi, dan periset sekarang ini mayoritas adalah aparatur sipil negara (ASN) yang meriset dengan dana APBN.
Prosedur administrasi dan pelaporan keuangan riset jauh lebih rumit daripada substansi risetnya sendiri. Periset pusing memikirkan pelaporan keuangannya agar tidak menjadi temuan pemeriksaan dan kurang fokus pada substansi risetnya.
Mengapa AS masih memimpin kemajuan teknologi dan China dengan sangat cepat mampu mengejarnya? Kuncinya ada di pendanaan riset. AS, China, Jepang, dan Korsel adalah contoh negara yang tak pelit mengucurkan dana buat riset.
Dikutip dari laman Databoks April lalu, lembaga R&D World meriset kebijakan anggaran di 116 negara dan melihat adanya perubahan investasi penelitian dan pengembangan di bidang akademisi, pemerintah, dan organisasi.
Tim R&D World memperkirakan 2,476 triliun dollar AS akan diinvestasikan secara global dalam upaya pengembangan riset pada 2022. Posisi pertama ditempati AS dengan pengeluaran kotor untuk riset 679,4 miliar dollar AS. Disusul China (551,1 miliar dollar AS), Jepang (182,2 miliar dollar AS), Jerman (143,1 miliar dollar AS), dan Korsel (106,1 dollar AS).
Inilah kelima negara teratas yang membelanjakan anggaran untuk pengembangan riset.
Sementara Indonesia termasuk irit, membelanjakan anggaran riset 8,2 miliar dollar AS, atau hanya 0,24 persen dari PDB, dan ini yang paling rendah dari daftar 40 negara yang diriset oleh R&D. Sementara persentase tertinggi dipegang Israel yang mengalokasikan 4,8 persen dari PDB-nya.
Jika menggunakan data Bank Dunia, posisi Indonesia lebih buruk lagi. Menurut Pelaksana Tugas Dirjen Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Nizam, yang mengutip data Bank Dunia 2019, anggaran riset kita hanya 0,08 persen dari PDB.
Prosedur administrasi dan pelaporan keuangan riset jauh lebih rumit daripada substansi risetnya sendiri.
Angka ini di bawah Kamboja (0,12 persen PDB), Filipina (0,14 persen), Vietnam (0,44 persen) dan Thailand (0,62 persen). Di ASEAN, Singapura yang tertinggi (2,18 persen), disusul Malaysia (1,30 persen).
Anggaran riset nasional yang minim di Indonesia didominasi oleh anggaran pemerintah dari APBN. Porsi keterlibatan swasta hanya 26 persen. Di Thailand, porsi swasta 73 persen.
Kemampuan mengembangkan riset untuk mengejar kemajuan ini tidaklah semata tergantung anggaran riset. Ada faktor lain yang tak kalah penting, yaitu kualitas sumber daya manusia dan etos kerjanya, infrastruktur, sserta terbangunnya ekosistem dan budaya riset yang bagus.
Jika BRIN dan lembaga riset swasta mampu mengelola tantangan di atas dengan baik, diharapkan dapat menjadi stimulan bagus untuk mendorong Indonesia lebih maju dalam kultur akademik dan riset.
Keluhan para akademisi dan periset kita, yang selama ini sering direpotkan urusan administrasi pertanggungjawaban keuangannya daripada substansi risetnya, sampai hari ini belum bisa diatasi oleh BRIN.
Pembubaran berbagai lembaga riset dan integrasinya ke dalam BRIN juga menyisakan banyak masalah. Perlu terobosan agar segera terbangun ekosistem dan budaya riset yang bagus sehingga kita berani bermimpi suatu saat ada periset kita masuk nominasi Nobel.
Djoko Santoso, Guru Besar Kedokteran Universitas Airlangga, Ketua Badan Kesehatan MUI, Provinsi Jawa Timur
- Log in to post comments