“Guru Besar Biologi Konservasi Universitas Indonesia Jatna Suprijatna memaparkan kekayaan biodiversitas di Sulawesi di Zona Wallacea, kawasan yang memiliki kekayaan hayati dan endemisitas tertinggi di dunia, dalam acara Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta, Senin (11/11/2019). AIPI bersama Akademi Ilmuwan Muda Indonesia merekomendasikan pembangunan berbasis biodiversitas dengan tiga fokus, yaitu ekowisata, bioprospeksi untuk penemuan obat dan bioenergi, serta eksplorasi laut dalam”.
JAKARTA, KOMPAS, 12 November 2019, — Kekayaan ragam hayati Indonesia berpotensi besar menopang ekonomi nasional dan membawa Indonesia keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah. Tiga kegiatan berbasis keragaman hayati yang direkomendasikan menjadi tumpuan ekonomi nasional adalah ekowisata, bioprospeksi untuk pene muan obat dan bioenergi, serta eksplorasi laut dalam.
Rekomendasi Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) dan Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI) ini dituangkan dalam buku Sains untuk Biodiversitas Indonesia, yang diluncurkan di Jakarta, Senin (11/11/2019). Penyusunan buku ini melibatkan 12 ilmuwan lintas disiplin dari AIPI dan ALMI, serta 256 kontributor dari jejaring ilmuwan muda dari Indonesia sebagai pengkaji ulang.
"Buku ini tidak hanya menjelaskan tentang spesies dangen biodiversitas, tetapi juga menerangkan bagaimana memanfaatkannya sebagai tangible benefit untuk kesejahteraan bangsa,” kata Prof Jamaludin Jompa, ketua tim penulis.
Berdasarkan kajian AIPI dan ALMI, setidaknya ada kegiatan ekonomi berbasis sumber daya hayati yang bisa memajukan ekonomi nasional berkelanjutan, yaitu ekowisata, bioprospeksi untuk penemuan obat dan bioenergi, serta eksplorasi laut dalam. Tiga potensi ekonomi ini sangat tergantung pada kemampuan pengembangan sains dan teknologi kita.
Ekowisata saat ini sudah dirintis pemerintah, tetapi belum optimal, terutama karena minimnya dukungan sains dan teknologi. Spesies endemik dan karismatik, misalnya, belum dikelola sebagai paket ekowisata dunia. Selain komodo dan orangutan, Indonesia memiliki babi rusa dan berbagai macam burung khas, seperti maleo.
Adapun bioprospeksi untuk obat dan energi dampak ekonominya bisa melebihi ekowisata. Indonesia memiliki 30.000 tanaman obat dan 4.000 di antaranya memiliki reputasi sebagai bahan pembuatan jamu. Kekayaan ini mencapai lebih dari 10 persen sumber tanaman obat di dunia.
Negara yang telah memanfaatkan obat-obatan berbasis biodiversitas di antaranya Amerika Serikat, yang menurut data National Institute of Health 2016, angka penjualannya mencapai 37 miliar dollar AS per tahun. Salah satunya yang diperdagangkan adalah ekstrak
pohon atun (Atuna racemosa), yang dikembangkan Klinik Mayo berdasarkan catatan Rumphius (ilmuwan pada masa kolonial Belanda) di Ambon, Herbarium Amboniense. Pohon atun ini banyak ditemukan di Nusantara. Ironisnya, 95 persen bahan baku obat-obatan di Indonesia dari impor.
Ketua ALMI Alan F Koropitan mengatakan, Indonesia juga berpotensi mengembangkan bioenergi dan fotosintesis mikroalga guna menyerap energi matahari biomassa, bioetanol, atau bahan carbon-negative hydrogen. "Ini yang disebut bioprospeksi (eksplorasi dari keanekaragaman hayati) untuk bioenergi,” katanya.
Sementara itu, potensi eksplorasi laut dalam Indonesia, menurut Alan, menyimpan potensi ekonomi sangat besar mengingat 90 persen lautan kita berupa laut dalam, tetapi saat ini masih minim dimanfaatkan. ”Di planet ini tidak ada negara lain yang memiliki laut sekaya Indonesia,” katanya.
Menghancurkan
Jatna Suprijatna, anggota AIPI yang juga Guru Besar Biologi Konservasi Universitas Indonesia, mengatakan, gabungan biodiversitas darat dan laut di Indonesia merupakan yang tertinggi di dunia. Indonesia juga memiliki endemisitas sangat tinggi karena keunikan geologi dan geografisnya, khususnya di Zona Wallacea, yaitu wilayah
yang meliputi daratan dan perairan Sulawesi, Maluku dan Maluku Utara, serta Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur.
”Sekitar 70 persen hewan endemik di dunia ada Zona Wallacea. Di sinilah spesiasi (proses dalam evolusi) terjadi,” kata Jatna.
Jatna memaparkan kajiannya tentang keragaman hayati di Pulau Sulawesi. "Sulawesi merupakan pulau terbesar di Wallacea. Tidak ada pulau lain di dunia, yang terbentuk seperti Sulawesi, daratannya merupakan hasil tumbukan banyak lempeng yang memengaruhi biodiversitasnya,” kata Jatna.
Dia mencontohkan, Sulawesi memiliki delapan jenis monyet, terbanyak di Indonesia. "Di pulau ini terjadi benturan biologi sehingga menghasilkan hibrid. Evolusinya terus terjadi sampai sekarang. Dalam dua tahun ini saja ada dua temuan tarsius lagi,” katanya.
Sekalipun demikian, pulau ini juga sangat rentan ekologinya. Padahal, pulau ini juga sangat kaya mineral sehingga mengundang banyak industri pertambangan. “Ini pulau yang tipis. Kalau tidak hati-hati, kekayaan endemik yang terjadi akan hilang. Sudah ada satu burung punah di Sulawesi Utara,” katanya.
Menurut catatan Jatna, 35 persen deforestasi di Sulawesi terjadi di kawasan konservasi. Selain pertambangan, tekanan ekologi di Pulau Sulawesi juga disebabkan oleh konversi pertanian, selain pembukaan jalan.
Rekomendasi dari para ilmuwan ini menekankan pentingnya pembangunan Indonesia saat ini yang lebih bertumpu pada ekonomi dan membuka investasi asing agar tidak merusak potensi terbesar negeri ini, yaitu biodiversitas. (AIK)
Sumber: https://aipi.or.id/frontend/news/read/555468624e516b36
- Log in to post comments