BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

SASTRA

SASTRA
Posted On 22 Feb 2014
By : Redaksi

Oleh:
Dino Umahuk

Sastra dan peradaban memiliki kaitan cukup erat. Sastra dalam Bahasa Arab disebut pula dengan istilah adab yang artinya sopan, penuh dengan keindahan. Manusia yang beradab artinya manusia yang menampilkan cara hidup yang indah, hidup dengan keluhuran budi pekerti. Sebaliknya, manusia yang tidak beradab adalah manusia yang jauh dari cara-cara hidup yang indah, manusia bengis, yang diliputi kebencian. Peradaban sendiri bisa diartikan sebagai pandangan hidup, aktivitas, dan buah karya manusia yang di dalamnya mengandung nilai-nilai keindahan.

Guru Besar UGM (Universitas Gadjah Mada), Prof. Chamamah Soeratno mengatakan bahwa sastra adalah means that is not transmitable by other means, karya sastra bisa dikatakan sebagai media yang tidak tergantikan oleh media lain. Keunggulan sastra dari bidang lain adalah karena sastra merupakan sarana kritik yang menghibur sehingga pesan yang disampaikan oleh pengarang bisa meresap secara efektif dalam pikiran manusia tanpa mereka sadari. Sastra juga dapat menjadi satu institusi sosial, kontrol sosial, alat perjuangan, dan juga menjadi ideologi. Sastra juga menghadirkan atau mencerminkan realitas dalam masyarakat (Dwi Susanto, 2010:1).

Sebenarnya, dalam kondisi masyarakat saat ini, karya sastra dapat berkembang dengan baik dan manfaatnya dapat dirasakan oleh khalayak umum. Selain itu, karya sastra juga memiliki potensi untuk keluasan masyarakat dan semangat hidup semesta. Nilai-nilai yang terkandung dalam karya sastra yang meliputi nilai sosial, intelektual, dan religius, sangat diperlukan oleh masyarakat modern.

Penikmat karya sastra atau pembaca dapat menggugah perasaannya, mendorong dirinya sendiri untuk berbuat sesuatu untuk masyarakat lainnya. Mereka akan merasa memiliki andil dalam kegiatan masyarakat umum, sehingga menimbulkan kepedulian terhadap kepentingan bersama yang berjalan dalam masyarakat.

Jadi, sastra memiliki peran dalam proses perubahan masyarakat. Menurut H. Nani Tuloli, proses perubahan itu antara lain: Menimbulkan kebiasaan membaca yang sangat dibutuhkan pada era kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, menimbulkan rasa simpati terhadap penderitaan masyarakat dan berusaha utnuk menanggulanginya, memantapkan budaya yang beretika dan bermoral tinggi dalam kehidupan sebagai makhluk Tuhan, anggota masyarakat, dan pribadinya dan mencintai kebenaran, keberanian, kejujuran, ketabahan, dan ketangguhan yang sangat dibutuhkan dalam pembangunan.

Di satu pihak, melalui karya sastra, masyarakat dapat menyadari masalah-masalah penting dalam diri mereka dan menyadari bahwa merekalah yang bertanggung jawab terhadap perubahan mereka sendiri (Lubis, 1997:34 dalam Nani Tuloli, 2002:234).

Sastra juga memberikan dampak yang positif dalam pikiran dan perasaan manusia. Manusia bisa berfikir kritis, kreatif, dan inovatif, memiliki wawasan yang luas ketika ia mendapatkan nilai-nilai positif yang dituangkan oleh pengarang dalam karya sastranya. Dalam era globalisasi ini, manusia dituntut untuk memiliki daya saing, kualitas, dan kompetensi yang tinggi baik dalam moral maupun iptek agar mampu bersaing dan memberikan pemikiran-pemikiran yang dapat bermanfaat.

Karya sastra dapat memberikan pesan dan amanat kepada pembaca untuk hal-hal yang positif. pembaca diajak untuk menjunjung tinggi norma-norma moral. Sastra mampu memberikan fungsi sebagai penyadar manusia akan peran sertanya dalam kehidupan sosial.

Menurut Djojonegoro, satra dapat dikatakan selalu merupakan bagian yang amat penting dari peradaban mana pun di dunia. Selain menjaga peradaban dan nilai-nilai adat istiadat, sastra juga dapat membentuk masyarakat.

Islam menyebutkan bahwa misi utama diutusnya Rasulullah SAW di muka bumi ini adalah untuk menjadikan manusia beradab. Sementara, Alquran sebagai kitab panduan hidup umat muslim merupakan kitab suci yang mengandung kedahsyatan sastra menakjubkan. Alquran diturunkan dengan bahasa yang mengandung nilai sastra tinggi, yang membuat pujangga jahiliyah takjub terheran-heran. Kandungan sastranya menjadi legenda yang tidak bisa diungguli oleh sastrawan manapun hingga saat ini. Dari sini saja, bisa dilihat begitu terang hubungan antara sastra dan peradaban, terutama Islam. Ketiganya bermuara pada titik yang sama, yaitu keindahan.

Pada zaman Rasulullah ada kisah waktu itu Nabi SAW meminta Hasan ibn Tsabit, sahabat yang terkenal piawai mengarang puisi, untuk membuat puisi-puisi sebagai balasan atas orang-orang kafir yang menjelekkan orang Islam (Fethullah Gullen, 2011).

Sahabat Ali Ra, salah satu khulafaurrasyidin, dikenal sebagai sahabat yang memiliki kepiawaiaan meramu kata dalam tiap pidatonya yang memikat jiwa. Pidato-pidato yang kini dapat kita nikmati bersama dalam buku sastra mengagumkan, Nahjul Balaghah.

Imam Syafi’i, salah satu dari empat imam mazhab, penggagas ilmu ushul fikih, ternyata juga adalah seorang sastrawan yang terkenal piawai merangkai kata. Beliau meninggalkan banyak sekali petuah kehidupan yang tersusun dalam kalimat puitis yang abadi hingga saat ini. Dr Muhammad Ibrahim Al Fayyumi, dalam bukunya menjuluki Imam Syafi’i sebagai pelopor fikih dan sastra (Fayyumi, 2009).

Pada era dinasti Ayyubiah, Perang Salib III menjadi saksi bisu lahirnya Al-Barjanji, kitab sastra yang berisi Sirah Nabi. Waktu itu, di bawah komando Salahuddin al-Ayyubi, kitab karya Syaikh Ja’far al Barzanji ini sanggup menggerakkan pasukan muslim untuk membebaskan Baitul Maqdis.

Begitu pula di Ternate, Sultan Babullah memakai syair perang yang menjadi obor penyemangat perjuangan rakyat Maloku Kie Raha dalam mengusir Portugis. Sengaja saya kutip: Moro-moro se maku gise/ No kakoro siwange ma buluke/ si wange ma sosiro/ Jo mapolo sara se kore mie/ Ino fo moi-moi/Bismillah (“Jika panggilan jihad telah diumumkan, waiblah diteruskan pada rakyat. Di matahari naik dan matahari masuk. Bersatulah dengan rakyat di angin selatan dan rakyat di angi utara. Bangkitlah berperang dengan niat Bismillah”).

Dari mereka, kita belajar bahwa membangun peradaban tidak bisa tidak kecuali dengan menempuh jalan keindahan, salah satunya jalan sastra. Jadi jika kita ingin mencari jalan kembali kepada akar peradaban Maloku Kie Raha, maka kita harus kembali ke jalan sastra.(*)
About the Author

Sumber: http://malutpost.co.id/2014/02/22/sastra/