BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Oscar Pareira Mandalangi Perawat Budaya Sikka

Oscar Pareira Mandalangi
Perawat Budaya Sikka
KORNELIS KEWA AMA
2 Januari 2016 Ikon

Usia 77 tahun termasuk terlalu tua dan sangat sulit berkarya secara efektif dan energik bagi kebanyakan orang di Nusa Tenggara Timur. Namun, pada usia itu, Oscar Pareira Mandalangi terus berkarya menjaga kearifan lokal Sikka. Ia juga terus mendorong generasi muda untuk menjaga budaya dan tradisi lokal melalui ceramah di sekolah serta terlibat penyusunan sejumlah buku dongeng dan cerita rakyat Sikka.
Kompas/Kornelis Kewa Ama

Buku Oscar kini dijadikan pegangan pelajaran muatan lokal di sekolah-sekolah di Sikka, NTT. Ketika ditemui di rumahnya di Kelurahan Wairoku, Kecamatan Alok Timur, Maumere, awal Desember 2015, Oscar tengah duduk membaca buku-buku sejarah Sikka dan beberapa buku cerita rakyat Sikka.

Ada belasan buku tentang budaya dan tradisi Sikka karya Oscar yang telah diterbitkan sejumlah penerbit di Flores dan di Jawa.

"Saya menjaga kearifan lokal Sikka, baik lisan maupun tulisan, tetapi upaya itu tidak bisa membendung kekuatan arus informasi dan teknologi saat ini. Saya sering putus asa karena sejumlah kearifan lokal Sikka terancam punah, seperti tradisi sakoseng atau gotong royong, yang tidak dikenal lagi oleh generasi muda," kata Oscar.

Bahasa daerah Sikka pun semakin terancam karena hampir sebagian besar generasi muda saat ini lebih suka menggunakan bahasa gaul dengan dialek Jakarta yang kental di berbagai acara, seperti siaran radio lokal dan sejumlah acara resmi. Bahasa gaul seperti itu pun disosialisasikan pemeran sinetron di sejumlah layar televisi swasta yang sangat digandrungi anak muda.

Ia pun berupaya mempertahankan bahasa Sikka dengan menyosialisasikan kamus bahasa Sikka-Krowe yang disusun almarhum ayahnya melalui berbagai media. Ia juga mengulas sejumlah kearifan lokal dalam bahasa daerah Sikka di sejumlah media massa lokal. Kini, Oscar sedang menyusun tata bahasa daerah Sikka untuk ditawarkan sebagai muatan lokal di sekolah-sekolah.

Bahasa daerah, menurut Oscar, adalah dasar dari semua kearifan lokal. Memahami bahasa daerah, orang akan menghargai budaya, tradisi, dan adat istiadat lokal. Bahasa daerah itu simbol identitas sebuah suku atau bangsa serta simbol keberadaan dan kehadiran leluhur di tengah kelompok masyarakat itu.

Ilmu tentang kearifan lokal berdasar pada bahasa daerah itu. Upacara adat, bicara soal mas kawin, ritual keagamaan lokal, dan mantra-mantra "sakti", peninggalan leluhur ditinggalkan dalam bahasa daerah, kemudian diwariskan secara turun-temurun kepada anak cucu.

Bagi Oscar, ketika orang tidak tahu lagi bahasa daerah, dia tidak lagi memiliki dasar hidup dan sangat mudah terbawa arus perubahan yang secara cepat atau lambat akan menjerumuskan orang ke kejahatan. Orang jadi tidak memiliki akar budaya yang kuat sehingga selalu terbawa arus perubahan yang ditawarkan melalui kemajuan teknologi dan informasi yang berkembang pesat melalui media sosial.

Oscar mengakui, kebiasaan mendongeng di kalangan masyarakat Sik-ka pun mulai punah. Padahal, mendongeng itu sebagai upaya membentuk daya nalar anak-anak, memahami asal-usul sebuah suku (kelompok masyarakat) atau tempat dan menanamkan nilai-nilai moral serta etika kepada anak didik.

"Saya diminta pihak sekolah untuk mendongeng dan membawakan cerita rakyat di depan anak-anak sekolah. Biasanya siswa dari beberapa sekolah digabung, kemudian mendengarkan cerita rakyat atau dongeng yang saya sampaikan dalam bahasa daerah. Saya biasanya langsung menerjemahkan dongeng dan cerita rakyat itu dalam kehidupan sehari-hari kepada anak didik," kata Oscar.

Penulis 19 buku tentang cerita rakyat ini mempertanyakan kebijakan pemerintah yang tidak mengangkat bahasa daerah dalam muatan lokal sekolah. Ia berharap bahasa daerah minimal diperkenalkan di sekolah dasar (SD). Pasalnya, siswa SD sangat homogen karena sebagian besar merupakan putra daerah. Ketika mereka menempuh pendidikan sekolah menengah, di sana anak-anak sudah bergabung dengan siswa dari daerah lain.

Oscar juga sedang menyusun "ping la peng" atau silsilah suku-suku di Sikka, Larantuka, dan Lio (Ende). Ia prihatin, banyak generasi muda tidak paham lagi tentang asal-usul mereka. Selama ini, semua anak muda datang kepada Oscar untuk menanyakan asal-usul mereka karena orangtua mereka sendiri pun tidak tahu.

Adat

Pada berbagai kesempatan pembahasan masalah adat perkawinan, ia selalu mengingatkan agar tetap menjunjung tinggi mas kawin yang diwariskan leluhur Sikka. Mas kawin itu untuk menghormati martabat kaum perempuan dan mendorong kaum pria untuk bekerja keras menghidupi keluarga. Mas kawin itu mempersatukan dua keluarga besar, yakni dari pihak perempuan dan laki-laki.

Penulis buku Jawa-Hindu dalam bahasa dan budaya Sikka-Krowe ini mengatakan, bentuk mas kawin Sikka berupa kuda, sarung adat, pisang, uang, gelang gading, bahkan gading. Setiap anak gadis biasa dipinang dengan 10-30 kuda, di samping benda-benda adat lain, tergantung kesepakatan di antara kedua pihak.

Mas kawin itu tidak hanya diberikan pihak keluarga pria. Keluarga wanita pun menyediakan sarung, beras, perkakas dapur, dan lainnya bagi keluarga laki-laki yang diperuntukkan bagi keluarga (pengantin) baru itu. Kedua pihak saling memberi dan menerima.

Merealisasikan mas kawin di antara kedua pihak (keluarga suami dan keluarga istri) dengan sendirinya mengukuhkan kelanggengan dan kerukunan hidup berkeluarga dari pasangan itu. Melalui perkawinan itu, kedua keluarga besar menjadi satu dan saling membantu.

Namun, saat ini, sejumlah warga Sikka tidak lagi menghormati adat perkawinan dengan mas kawin itu. Mereka membiarkan anak-anak tinggal berpasangan sebagai suami-istri tanpa diawali dengan proses adat dan pernikahan di Gereja.

Penulis buku Pelangi Sikka ini pun sering berjalan ke sejumlah desa, mendorong anak-anak perempuan di dalam desa itu untuk tetap menenun, sebagai tradisi leluhur yang diwariskan. Baginya, menenun memberikan makna paling dalam bagi kehidupan seorang perempuan di kalangan masyarakat Sikka. Zaman dulu, anak gadis itu bisa berkeluarga jika ia sudah pandai menenun.

Oscar Pareira Mandalangi
Lahir: Maumere, 13 Maret 1938
Pendidikan: Bachelor of Arts Ilmu Sejarah, Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 1964
Istri: Xaveriana Dasilva
Anak-anak:

  •     Maria Gregoria Pareira (54)
  •     Sebastian Pareira (52)
  •     Thomas Pareira (50)
  •     Dominika Indah Pareira (48)
  •     Yoseph Reinaldo Pareira (46)
  •     Filosofian Manina Pareira (44)

Aktivitas:
Ketua Masyarakat Perlindungan Indikasi Geografis- untuk Hak Kekayaan Intelektual Sikka (2011-2016)
Karya buku:

  •     Sikka–Krowe
  •     Dongeng Sikka
  •     Hindu Jawa
  •     Pelangi Sikka
  •     Silsilah (Orang Sikka, Larantuka, dan Ende)
  •     Sastra Bahasa Sikka

Sumber: http://print.kompas.com/baca/2016/01/02/Perawat-Budaya-Sikka

Related-Area: