BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

SISTEM PEMASARAN DALAM HUBUNGANNYA DENGAN KEMISKINAN DI KTI

Oleh Fendry Palijama

Jurusan Manajemen, Fakultas Ekonomi,

Universitas Kristen Indonesia Maluku

e-mail : fendry.p@gmail.com

 

Berbicara masalah kemiskinan ada berbagai bentuk kemiskinan. Berdasarkan ukurannya, kemiskinan dibagi menjadi dua, kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif. Kemiskinan absolut merupakan kemiskinan yang dilihat dari ukuran garis kemiskinan. Garis kemiskinan pun bermacam-macam tergantung institusi yang mengeluarkannya. Misalnya, BPS menggunakan ukuran kalori sedangkan Bank Dunia menggunakan ukuran pendapatan dimana kemiskinan didefinisikan sebagai: ”Poverty is concern with absolute standard of living of part of society the poor in equality refers to relative living standard acrossthe whole society”. Dengan kata lain, kemiskinan diukur dengan membandingkan tingkat pendapatan orang atau rumah tangga dengan tingkat pendapatan yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan minimum.

 

Sementara itu, kemiskinan relatif adalah kemiskinan yang diukur dengan membandingkan satu kelompok pendapatan dengan kelompok pendapatan lainnya (Satria, 2002). Selanjutnya, kategorisasi kemiskinan juga dilakukan berdasarkan faktor-faktor penyebab kemiskinan. Ada dua aliran besar yang melihat faktor-faktor penyebab kemiskinan. Pertama, aliran modernisasi yang selalu menganggap persoalan kemiskinan disebabkan faktor internal masyarakat. Dalam aliran ini, kemiskinan terjadi sebagai akibat faktor budaya (kemalasan), keterbatasan modal dan teknologi, keterbatasan manajemen, serta kondisi sumber daya alam. Kedua, aliran struktural yang selalu menganggap faktor eksternal sebagai penyebab kemiskinan. Kemiskinan struktural dapat terjadi akibat, pertama, kemiskinan sebagai korban pembangunan. Contohnya penggusuran akibat kegiatan pembangunan dan keindahan tata kota. Kedua, kemiskinan terjadi karena golongan tertentu tidak memiliki akses terhadap kegiatan ekonomi produktif akibat pola institusional yang diberlakukan.

Aspek struktural lain adalah lemahnya posisi masyarakat yang berperan sebagai produsen (dalam hal ini misalnya kita ambil dari sektor yang paling potensial yang sebenarnya jika dikembangkan dengan baik dapat memberikan dampak bagi penurunan angka kemiskinan dan ketertinggalan di kawasan timur Indonesia yaitu sektor pertanian/perkebunan dan perikanan) dalam pemasaran.

Terdapat sejumlah sistem pemasaran yang saling berkaitan dalam masyarakat modern saat ini. Bila kita rinci, makna sistem pemasaran terdiri dari dua kata, yaitu sistem dan pemasaran. Menurut Radiosunu, sistem adalah kumpulan komponen yang saling berinteraksi atau saling bergantungan yang dikoordinasikan sedemikian rupa sehingga membentuk suatu kebulatan dan diorganisir untuk mencapai tujuan tertentu sedangkan pemasaran merupakan suatu usaha dengan menggunakan pasar untuk melakukan pertukaran yang bertujuan untuk memenuhi aktivitas keinginan manusia. Proses pertukaran ini meliputi aktivitas penelitian konsumen, identifikasi kebutuhan konsumen, mendesain produk, melakukan promosi, dan menetapkan harga produk (Kotler dan Gary Amstrong dalam Sudiyono, 2001). Sistem pemasaran menurut Radiosunu adalah kumpulan lembaga-lembaga yang secara langsung atau tidak langsung terlibat di dalam kegiatan pemasaran barang dan jasa yang saling mempengaruhi dengan tujuan mengalokasikan sumber daya langka secara efisien guna memenuhi kebutuhan manusia sebanyak-banyaknya.

Beberapa pendekatan untuk menganalisis sistem pemasaran, yaitu pendekatan fungsi (mempelajari jenis usaha yang dilakukan oleh pelaku pemasaran yang terlibat dalam pemasaran, bagaimana cara melakukan kegiatan pemasaran, mengapa dilakukan, dan siapa pelaku pemasaran yang terlibat), pendekatan lembaga (mempelajari berbagai macam lembaga yang terlibat dalam proses pemasaran), dan pendekatan barang (mempelajari tindakan yang diperlukan terhadap barang selama proses penyaluran).

Dalam pemasaran komoditas pertanian/perkebunan atau perikanan terdapat pelaku-pelaku ekonomi yang terlibat secara langsung ataupun secara tidak langsung, dengan cara melaksanakan fungsi-fungsi pemasaran. Pelaku ekonomi pemasaran disebut sebagai lembaga pemasaran. Lembaga pemasaran adalah badan usaha atau individu yang menyelenggarakan pemasaran, menyalurkan jasa dan komoditi dari produsen ke konsumen akhir serta mempunyai hubungan dengan badan usaha atau individu lainnya. Misalnya golongan produsen, pedagang perantara, dan lembaga pemberi jasa.

 

Pada umumnya yang terjadi di kawasan timur Indonesia para petani atau nelayan tidak memiliki akses terhadap pasar. Kelemahan posisi petani/nelayan menyebabkan margin keuntungan pemasaran (margin pemasaran adalah suatu istilah yang digunakan untuk menyatakan perbedaan harga yang dibayar kepada penjual pertama dan harga yang dibayar oleh pembeli akhir) lebih banyak jatuh ke pedagang perantara dan bukan ke petani ataupun nelayan. Kendati misalnya dalam waktu-waktu tertentu para petani mendapatkan hasil panen yang melimpah seperti pala dan cengkeh ataupun nelayan-nelayan buruh/kecil mendapat tangkapan yang banyak, keadaan ini tidak menjadikan mereka memiliki nilai tukar (uang) yang memadai. Masalahnya adalah, jaringan pemasaran dikuasai sepenuhnya oleh para pedagang perantara. Hubungan antara petani/nelayan dan pedagang perantara sangat kuat dan berjangka panjang. Petani/nelayan membangun kerjasama dengan perantara untuk mengatasi kesulitan modal ataupun untuk konsumsi sehari-hari. Sehingga petani/nelayan harus menjual hasil panen/tangkapan ke perantara (menerima harga beli yang ditetapkan perantara yang terkadang terjadi secara sepihak). Akhirnya, nelayan yang berjuang dengan sungguh-sungguh mencari ikan di laut lepas, tetap berada dalam posisi yang tidak menguntungkan.

Hubungan petani/nelayan dengan pedagang perantara menimbulkan ketergantungan dan pada akhirnya menciptakan hubungan keterikatan yang mengakar kuat bertahun-tahun. Akibatnya, posisi tawar petani/nelayan menjadi lemah. Mereka tidak memiliki posisi bargain yang kuat untuk sekedar menetapkan harga jual. Hal ini menyebabkan pendapatanpun cenderung lebih rendah dari yang seharusnya diperoleh.

Khusus untuk kasus yang dialami nelayan amat disayangkan mengingat potensi sumber daya ikan sesungguhnya mempunyai nilai jual yang tinggi, sehingga nelayan dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dengan cukup. Disamping itu, konsumsi ikan penduduk Indonesia pun semakin meningkat sejalan dengan peningkatan kualitas hidup dan pertambahan jumlah penduduk. Munculnya isu penyakit flu burung (avian influenza), sapi gila (mad cow), stroke yang berkaitan dengan konsumsi produk peternakan seperti ayam, sapi, dan kambing juga menyebabkan sebagian masyarakat mengalihkan pemenuhan kebutuhan protein ke produk perikanan.

Untuk itu diharapkan Pemerintah sebaiknya membentuk institusi sistem pemasaran yang lebih baik untuk mencegah praktik eksploitasi yang dilakukan oleh perantara dengan memperhatikan penyediaan dana operasional. Institusi tersebut berupa pembentukan kelompok-kelompok langgan yang berada di bawah pengawasan pemerintah (koperasi) secara langsung dengan penetapan harga jual hasil panen atau tangkapan berdasarkan harga pasar. Kegiatan pengembangan kapasitas (capacity building) juga perlu dilakukan untuk meningkatkan kemampuan diri petani/nelayan, misalnya pemberian fasilitas pendidikan dan melalui pelatihan usaha dalam bidang teknologi pasca panen dan perikanan darat/pekerjaan yang berorientasi darat. Hal ini diperlukan untuk memberikan nilai tambah agar nelayan misalnya, tidak terlalu bergantung pada kegiatan melaut mengingat kondisi perairan yang telah mengalami overfishing.

Related-Area: 
field_vote: 
Your rating: None Average: 1 (1 vote)