oleh: Ainurrafiqa Pelupessy
Pembangunan kesejahteraan sosial di Indonesia sesungguhnya adalah suatu upaya untuk merealisasikan cita-cita luhur kemerdekaan, yaitu memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun setelah 69 tahun merdeka, taraf kesejahteraan rakyat Indonesia masih belum sepenuhnya mencapai taraf kesejahteraan sosial yang diinginkan bersama. Hal ini antara lain disebabkan oleh orientasi pembangunan yang lebih mengutamakan pertumbuhan ekonomi dan sering dijadikan indikator keberhasilan pemerintahan. Sesungguhnya, keberhasilan dalam pertumbuhan ekonomi tidak selalu tepat digunakan sebagai indikator keberhasilan pemerintahan, karena kemampuan penanganan terhadap para penyandang masalah kesejahteraan sosial pun merupakan salah satu indikator penting yang dapat dipergunakan sebagai ukuran keberhasilan pembangunan.
Keberhasilan pemerintah dalam penanganan masalah kemiskinan dalam segala manifestasinya seperti kecacatan, keterlantaran, ketunaan sosial, serta korban bencana alam dan sosial, sangat penting dilakukan. Yang menjadi pertanyaan seberapa parah sesungguhnya kemiskinan di Indonesia? Jawaban singkatnya adalah “mungkin sangat parah.” Sebab, kemiskinan yang terjadi saat ini bersifat multidimensional. Hal tersebut bisa kita buktikan dan dicarikan jejaknya dari banyaknya kasus yang terjadi di seluruh pelosok negeri ini.
Hakikat Kemiskinan
Meski kemiskinan merupakan sebuah fenomena yang setua peradaban manusia tetapi pemahaman kita terhadapnya dan upaya-upaya untuk mengentaskannya belum menunjukan hasil yang menggembirakan. Para pengamat ekonomi pada awalnya melihat masalah kemiskinan sebagai “sesuatu” yang hanya selalu dikaitkan dengan faktor-faktor ekonomi saja.
Hari Susanto [2006] mengatakan umumnya instrumen yang digunakan untuk menentukan apakah seseorang atau sekelompok orang dalam masyarakat tersebut miskin atau tidak bisa dipantau dengan memakai ukuran peningkatan pendapatan atau tingkat konsumsi seseorang atau sekelompok orang. Padahal hakikat kemiskinan dapat dilihat dari berbagai faktor. Apakah itu sosial-budaya, ekonomi, politik, maupun hukum.
Koerniatmanto Soetoprawiryo menyebut dalam Bahasa Latin ada istilah esse [to be] atau [martabat manusia] dan habere [to have] atau [harta atau kepemilikan]. Oleh sebagian besar orang persoalan kemiskinan lebih dipahami dalam konteks habere. Orang miskin adalah orang yang tidak menguasai dan memiliki sesuatu. Urusan kemiskinan urusan bersifat ekonomis semata.
Apa sebenarnya yang kita ketahui tentang kemiskinan? Kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan,pakaian,tempat berlindung,pendidikan,dan kesehatan. Sesungguhnya Kemiskinan disebabkan oleh kelangkaan alat pemenuh kebutuhan dasar, ataupun sulitnya akses terhadap pendidikan dan pekerjaan. Kemiskinan merupakan masalah global. Sebagian orang memahami istilah ini secara subyektif dan komparatif, sementara yang lainnya melihatnya dari segi moral dan evaluatif, dan yang lainnya lagi memahaminya dari sudut ilmiah yang telah mapan,dll.
Kemiskinan dipahami dalam berbagai cara. Pemahaman utamanya mencakup:
- Gambaran kekurangan materi, yang biasanya mencakup kebutuhan pangan sehari-hari, sandang, perumahan, dan pelayanan kesehatan. Kemiskinan dalam arti ini dipahami sebagai situasi kelangkaan barang-barang dan pelayanan dasar.
- Gambaran tentang kebutuhan sosial, termasuk keterkucilan sosial, ketergantungan, dan ketidakmampuan untuk berpartisipasi dalam masyarakat. Hal ini termasuk pendidikan dan informasi. Keterkucilan sosial biasanya dibedakan dari kemiskinan, karena hal ini mencakup masalah-masalah politik dan moral, dan tidak dibatasi pada bidang ekonomi.
Perempuan dan Kemiskinan
‘perempuan’ berasal dari kata empu yang berarti kemandirian. Sedangkan menurut Imam Budi Santoso, kata perempuan berasal dari kata empu yang secara harfiah berarti orang yang ahli atau berprestasi dalam bidang tertentu, yang mendekatkan pada sosok ibu. Dapat disimpulkan bahwa, kata perempuan mengarah pada makna yang otonom, dalam hal ini perempuan bukan lagi sebagai objek sex (the second sex) tetapi menunjuk pada kemandirian dan prestasi.
Perempuan dan Persoalan kemiskinan bukan lagi hal yang baru, kemiskinan juga menjadi akar permasalahan yang terjadi di wilayah indonesia tak terkecuali di wilayah timur indonesia. Kaum perempuan adalah kelompok rentan untuk menjadi korban kejahatan dan bermula dari persoalan kemiskinan ini.
Diskriminasi yang dialami oleh kaum perempuan berdasar pada persoalan kemiskinan, menjadi penting untuk dicermati. seyogyanya penanggulangan Kemiskinan, pembangunan kesejahteraan sosial, dan pembangunan sosial merupakan bagian integral dalam kesatuan sistem pembangunan nasional yang dilaksanakan searah, saling menunjang, saling melengkapi dan saling menopang dengan pembangunan bidang-bidang lainnya dalam upaya yang mengarah kepada semakin meningkatnya taraf kesejahteraan sosial penanggulangan Kemiskinan secara lebih adil, merata dan berkualitas.
catatan mengenai dampak kemiskinan bagi kaum perempuan ini dimana perempuan sebagai bagian dari komunitas kaum miskin juga merupakan pelaku sekaligus korban dari ketidakadilan konsep pembangunan, serta kelompok yang ikut berperan dalam menjaga keselarasan dan kelangsungan kehidupan generasi kita selanjutnya. Maka, jika kita melihat suatu komunitas sebagai kelompok orang miskin yang tinggal di pemukiman miskin, dan “dimiskinkan” oleh system-struktur yang ada, maka kita tidak bisa memisahkan kaum perempuan sebagai kelompok yang patut dan mendesak untuk mendapat pendidikan dan pemberdayaan. Ketika kaum perempuan dapat memberdayakan dirinya dan komunitasnya, maka masyarakat akan terbantu untuk mengentaskan dirinya dari kemiskinan itu sendiri.
Istilah kemiskinan muncul ketika seseorang atau sekelompok orang tidak mampu mencukupi tingkat kemakmuran ekonomi yang dianggap sebagai kebutuhan minimal dari standar hidup tertentu. Membicarakan kemiskinan dan keterpinggiran kaum perempuan di masyarakat mengingatkan kita pada fakta bahwa dalam sejarah tertentu di masa lalu kaum perempuan pernah menjadi kaum yang produktif dalam menyusun surplus ekonomi bagi masyarakatnya, termasuk mendapatkan perlakuan setara dengan laki-laki.
Tidak keliru bahwa realitas kemiskinan tidak bisa dilepaskan dari keberadaan makhluk sosial bernama perempuan. Pertalian erat antara keduanya dapat diibaratkan bagakan dua sisi mata uang yang rumit untuk diceraikan. Wajah kemiskinan adalah wajah perempuan, demikian kesimpulan beberapa analis sosial.
Munculnya negara (masyarakat berkelas), keluarga, dan kepemilikan pribadi merupakan awal dari munculnya ketertindasan perempuan di masyarakat. Sejak saat itu eksploitasi ekonomi bernuansa patriarkal menjadi basis bag beradanya dan meningkatkan ideologi dan kebudayaan yang meminggirkan kaum perempuan dalam sejarah masyarakat.
Jika kita telusuri lebih jauh, kondisi kemiskinanlah yang merupakan penyebab menyeruaknya kasus-kasus ketertindasan dan kekerasan terhadap kaum perempuan. Kemiskinan adalah bentuk kekerasan struktural negara terhadap masyarakat. Mata rantai penindasan ekonomi yang paling ujung adalah kaum perempuan. Ketertekanan ekonomi dalam keluarga membuat sang suami tertekan, biasanya sang istri yang menjadi sasaran dari ketertekanan tersebut.
DAMPAK KEMISKINAN BAGI KAUM PEREMPUAN
Kemiskinan memiliki dampak negatif bagi kaum perempuan. Persoalan kriminal yang menjadikan perempuan sebagai korban kekerasan berakar dari kemiskinan yang dialami perempuan. Kekerasan (violence) terhadap perempuan merupakan isu penting yang marak pada dewasa ini, selain mengandung aspek sosiologis, juga sarat dengan aspek ideologis. Fenomena kekerasan dalam kehidupan sehari-hari sering terjadi pada sektor domestik atau urusan rumah tangga.
Pasal 1 Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan (Declaration on the Elimination of Violence Against Women) menyatakan bahwa:
“kekerasan terhadap perempuan adalah setiap tindakan berdasarkan jenis kelamin (gender based violence) yang berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual atau psikologi, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di depan umum ataupun dalam kehidupan pribadi.”
Pertanyaan lain yang masih terus berada di benak kita adalah “Mengapa perempuan selalu menjadi korban dari tindak kekerasan? Apakah faktor kemiskinan menjadikannya rentan menjadi korban kekerasan?” awam sering menganggap bahwa hal ini terjadi karena perempuan secara psikologis dan sosiologis berada pada sisi marjinal yang membuatnya menjadi rawan untuk menjadi bulan-bulanan tindak kekerasan dari kaum yang lebih memiliki kekuasaan dan kendali.
Dampak besar kemiskinan yang saat ini dialami oleh kaum perempuan adalah:
- 1. Menjadi korban atas Kekerasan Suami terhadap Istri (Kekerasan Dalam Rumah Tangga)
Mengapa perempuan selalu berada dalam relasi yang rawan kekerasan utamanya dalam rumah tangga, antara lain karena ketergantungan nafkah. Terlepas dari sisi kepribadian perempuan yang lemah yang dianggap sebagai faktor resiko. Faktor determinan yang menyebabkan terjadinya tindak kekerasan terhadap perempuan sangatlah kompleks. Hal ini timbul karena kombinasi dan interaksi berbagai faktor antara lain faktor biologis, psikologis, sosial, ekonomi, politis, seperti riwayat kekerasan dan kemiskinan.
Kaum perempuan (istri) yang tidak memiliki penghasilan sendiri, memiliki ketergantungan nafkah kepada suami yang mengakibatkan mereka sering dikucilkan oleh suami dan berakibat pada kekerasan. Alih-alih jika istri menganut budaya konsumtif yang berdampak pada hedonisme tanpa memikirkan persoalan materi/ekonomi.
- 2. Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (Trafficking).
Masalah perdagangan perempuan pada saat yang lalu hingga sekarang masih menjadi isu nasional yang merebak di wilayah indonesia. Kasus trafficking ini perlu dihadapi danditangani sampai tuntas oleh pemerintah indonesia mengingat darik laporan hasil investigasi internasional masih menempatkan indonesia sebagai negara yang dikategorikan kasus trafficking cukup tinggi dan kepedulian masyarakat serta pemerintah dalak menangani kasus tersebut masih perlu ditingkatkan.
Fenomena trafficking berkaitan dengan adanya perempuan yang diperdagangkan dan menjadi korban diperjualbelikan sebagai pekerja seks komersial, pembantu rumah tangga, pengemis, pengedar narkoba, dan bentuk lain dari ekploitasi kerja. Faktor utama penyebab terjadinya tindak pidana perdagangan orang adalah persoalan ekonomi dan kemiskinan. Akibat semakin mahalnya kebutuhan hidup sehari-hari maka perempuan banyak menjadi korban tindak pidana perdagangan orang. Selain itu ada juga beberapa faktor yang menyebabkan perempuan menjadi korban :
- Keinginan untuk secara cepat mendapatkan uang atau kerja yang mudah dan tidak terlalu berat.
- Keinginan mengikuti perkembangan modern serta gaya hidup yang konsumtif.
Bagi penulis, Beberapa faktor diatas menunjukkan bahwa alasan yang mendorong timbulnya persoalan perdagangan orang berkaitan dengan akar masalah orientasi nilai budaya masyarakat dan kondisi sosial ekonomi masyarakat yang dililit oleh kemiskinan dan keterbelakangan. Hal lain yang juga harus disadari bahwa melemahnya pengawasan lembaga keluarga dan rasa solidaritas sosial antarwarga masyarakat terutama untuk pemenuhan dan melaksanakan fungsi kebutuhan sosial-ekonomi dan psikologis yang sekaligus sebagai alat kontrol terhadap keluarga. Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dan Tindak Pidana Perdagangan Orang, adalah dua contoh nyata dampak kemiskinan yang dialami oleh kaum perempuan saat ini, harus diwaspadai oleh perempuan-perempuan indonesia lainnya***
- fiqa pelupessy's blog
- Log in to post comments
- 2181 reads