Nur Wahidah, SE, MM
Fungsional Perencana Muda Bappelitbangda Provinsi Sulawesi Selatan
Interpretasi dan pemaknaan atas ajaran agama dalam konteks tertentu dapat memberikan kontribusi bagi berlangsungnya tradisi perkawinan anak, konstruksi sosial akan posisi anak perempuan telah menjadi bagian dari sebuah mata rantai yang dapat berujung pada pernikahan anak.
Oleh karena itu, untuk mencegah terjadinya pernikahan anak merupakan suatu kerja keras yang harus dimulai dari akarnya, ketidakadilan gender yang sudah diemban oleh perempuan sejak ia dilahirkan.
Dalam 5 tahun terakhir (2015-2019), tren perkawinan anak perempuan di Sulawesi Selatan, cukup berfluktuatif, meskipun untuk yang melangsungkan perkawinan pertama sebelum usia 18 tahun menunjukkan tren menurun, sedangkan untuk yang melangsungkan perkawinannya sebelum usia 15 tahun cederung meningkat meskipun persentasenya relatif kecil.
Terdapat 20 provinsi dengan prevelensi perkawinan usia anak diatas angka nasional yaitu 11,2%, termasuk Sulawesi Selatan berada pada pada urutan 12 yaitu 14,11 (> rata-rata nasional)
Perlu dilakukan upaya sosialisasi tentang dampak perkawinan anak melalui meja mimbar oleh para pemimpin agama yang bertujuan agar para umat memilki pengetahuan akan dampak negatif dari pernikahan anak.
Penyuluhan tentang resiko perkawinan anak sebaiknya tidak hanya diberikan kepada para orang tua, tetapi juga menyasar ke majelis taklim dan pengajian-pengajian remaja, atau kelompok-kelompok kegiatan remaja.
Selain itu, perkawinan anak diharapkan menjadi salah satu bahan pembicaraan penting di dalam proses dialog antar para pemuka agama-agama di Kabupaten/Kota Provinsi Sulawesi Selatan.
A. Pendahuluan
Perkawinan merupakan suatu kejadian yang sangat penting bagi kehidupan setiap orang. Karena suatu ritual perkawinan kadang tidak hanya dipandang sebagai peristiwa social keduniawan, melainkan juga dipandang sebagai peristiwa sakral yang dipengaruhi alam pikiran magi sberdasarkan kepercayaan masing-masing.
Setiap manusia pasti mendambakan yang namanya perkawinan, baiki tu pria maupun wanita karena manusia diciptakan berpasang-pasangan. Karena perkawinan adalah sesuatu yang sacral sehingga setiap orang terkadang harus berfikir seribu kali dalam mempersiapkannya.
Perkawinan tidak hanya berkaitan dengan kedua calon suami istri tetapi juga tentang urusan keluarga dan masyarakat. Pada umumnya perkawinan dianggap sebagai sesuatu yang suci dan karenanya setiap agama selalu menghubungkan kaedah-kaedah perkawinandengankaedah-kaedah agama.
Dalam peristiwa perkawinan diperlukan norma hukum dan tata tertib yang mengaturnya. Penerapan norma hokum dalam peristiwa perkawinan terutama diperlukan dalam rangka mengatur hak, kewajiban, dan tanggungjawab masing-masing kedua pihak dan anggota keluarga, agar dapat membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal.
Adapun yang sudah menjadi peraturan perundang-undangan Negara yang mengatur perkawinan yang ditetapkan setelah Indonesia merdeka adalah Undang-undang No.32 Tahun 1954 tentang penetapan berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia tanggal 21 November 1946 No. 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk di seluruh daerah luar Jawa dan Madura. Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang merupakan hukum materiil dari perkawinan. PeraturanPemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagian dari materi undang-undang ini memuat aturan yang berkenaan dengan tata cara (hukumformil) penyelesaian sengketa perkawinan di Pengadilan Agama. Undang-Undang No. 16 Tahun 2019 tentang perubahan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Selain peraturan perundang-undangan negara yang disebutkan di atas dimasukkan pula dalam pengertian UU Perkawinan dalam bahasan ini aturan atau ketentuan yang secara efektif telah dijadikan oleh hakim di Pengadilan Agama sebagai pedoman yang harus diikuti dalam penyelesaian perkara perkawinan, yaitu Kompilasi Hukum Islam di Indonesia yang penyebarluasannnya dilakukan melalui Instruksi Presiden No.1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.
Tujuan dari perkawinan adalah menyatukan dua pribadi yang berbeda untuk mencapai satu tujuan sebagai keluarga yang bahagia. Melanjutkan keturunan yang merupakan sambungan hidup dan menyambung cita-cita. Menjaga diri dari perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh Tuhan, dan menimbulkan rasa cinta antara suami dan istri. Maksudnya keduanya saling mempunyai rasa kasih saying terhadap anak-anak dan keluarga.
Peran Orang tua untuk menambah pengetahuan tentang dampak dari perkawinan usia anak melalui komunikasi bersama sesuai dengan perkembangan atau usia pada anak.
Ketidakhadiran orang tua secara penuh dalam kehidupan anak-anak, yang pada masa lalu tidak menjadi masalah karena lingkungan sosial anak-anak sama dengan lingkungan sosial orang tua, menjadi persoalan besar ketika kehadiran teknologi internet membuat ruang sosial anak menjadi lebih luas dan tidak lagi dapat dipantau oleh orang tua. Akses internet yang dibuka melalui teknologi telepon genggam dipandang membawa pengaruh yang buruk dalam kehidupan remaja.Terbukanya komunikasi dengan dunia luar melalui internet, maupun obat-obatan adiktif dipandang sebagai pemicu dari pergaulan bebas yang menyebabkan terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan. Lebih jauh mereka mengatakan bahwa situasi di mana rang tua sibuk bekerja, bertani, menginap di ladang, sedangkan dia meninggalkan anaknya di rumah, di kampungnya sehingga anaknya bebas di rumah, menjadi salah satu pemicu kebiasaan konsumsi obat-obatan dan pergaulan bebas.
Sebagian besar ulama agama Islam di Kabupaten/Kota yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan menggunakan pandangan umum tersebut untuk tidak mempersoalkan praktek-praktek perkawinan anak yang berlangsung di kelompok-kelompok sosial tertentu karena latar belakang ekonomi, tradisi keluarga, kekhawatiran orangtua terhadap status sosial anak-anak perempuan mereka yang sudah baliqh tapi belum dilamar, kekhawatiran atas perilaku seksual para gadis remaja, serta berbagai faktor lainnya.
Praktik perkawinan dibawah umur pada dasarnya telah mengakhiri masa remaja bagi anak itu sendiri dimana seharusnya menjadi masa bagi perkembangan fisik, emosial dan sosial bagi mereka. Pernikahan usia anak secara tidak terelakkan telah mengkerdilkan potensi yang sesungguhnya dimiliki oleh para remaja (millenial dan zillenial). Praktik pernikahan yang mereka alami telah menjauhkan mereka dari kesempatan yang lebih besar untuk mengembangkan diri mereka.
Tingginya angka perkawinan dibawah umur memberikan peluang banyaknya kasus kehamilan resiko tinggi, sehingga menyebabkan peningkatan angka kematian ibu dan bayi. Fungsi reproduksi perempuan yang belum matang didukung dengan kurangnya kematangan psikologis, emosional dan sosial mendukung semakin kompleksnya persoalan kesehatan reproduksi perempuan. Secara global kematian yang disebabkan oleh kehamilan merupakan penyebab utama kematian anak perempuan usia 15-19 tahun. Beberapa kajian menunjukkan bahwa perkawinan dibawah umur di Indonesia berhubungan dengan buruknya kesehatan reproduksi dan kurangnya kesadaran anak perempuan terhadap risiko persalinan dini.
B. Permasalahan
1. Adanya perkawinan usia anak 15 tahun meningkat di Provinsi Sulawesi Selatan
2. Faktor-faktor yang menyebabkan Perkawinan Usia Anak
3. Tindakan upaya pencegahan perkawinan usia dini
Kasus pernikahan usia anak banyak terjadi di berbagai penjuru dunia dengan berbagai latar belakang. Telah menjadi perhatian komunitas internasional mengingat risiko yang timbul akibat pernikahan yang dipaksakan, hubungan seksual pada usia dini, kehamilan pada usia muda, dan infeksi penyakit menular seksual. Kemiskinan bukanlah satu-satunya faktor penting yang berperan dalam pernikahan usia dini. Hal lain yang perlu diperhatikan yaitu risiko komplikasi yang terjadi di saat kehamilan dan saat persalinan pada usia muda, sehingga berperan meningkatkan angka kematian ibu dan bayi.
Praktik perkawinan dibawah umur pada dasarnya telah mengakhiri masa remaja bagi anak itu sendiri dimana seharusnya menjadi masa bagi perkembangan fisik, emosial dan sosial bagi mereka. Pernikahan usia anak secara tidak terelakkan telah mengkerdilkan potensi yang sesungguhnya dimiliki oleh para remaja (millenial dan zillenial). Praktik pernikahan yang mereka alami telah menjauhkan mereka dari kesempatan yang lebih besar untuk mengembangkan diri mereka.
Motif ekonomi, harapan tercapainya keamanan sosial dan finansial setelah menikah menyebabkan banyak orangtua menyetujui pernikahan usia anak. Alasan orangtua menyetujui pernikahan anak ini seringkali dilandasi pula oleh ketakutan akan terjadinya kehamilan di luar nikah akibat pergaulan bebas atau untuk mempererat tali kekeluargaan.
Salah satu tantangan berat untuk menekan atau mencegah pernikahan dini adalah budaya masyarakat, dimana, sebahagian besar masyarakat masih sangat percaya jika cepat menikahkan anak, akan cepat pula mendapat rezeky. " harus kita sampaikan dan kaitkan dengan persoalan ekonomi, pendidikan, kesehatan dan bagaimana masa depan anak jika menikah diusia yang sangat muda. Memang tidak mudah untuk menabrak budaya itu, makanya perlu sinergitas semua pihak bukan cuma pemerintah saja.
C. Pembahasan
GAMBARAN UMUM PROVINSI SULAWESI SELATAN
Jumlah Kab/Kota : 24 kab/Kota
Jumlah Kecamatan : 307 Kec
Jumlah Desa/kelurahan : 2255 desa dan : 792 kelurahan
Jumlah Penduduk : 8.888.762 jiwa
Jumlah Anak 30% dari Jumlah penduduk : 2.666.628 jiwa
Data : BPS 2019
1. Secara umum, pernikahan anak lebih sering dijumpai di kalangan keluarga miskin, meskipun terjadi pula di kalangan keluarga ekonomi atas. Di banyak negara, pernikahan anak seringkali terkait dengan kemiskinan.5,6,8 Negara dengan kasus pernikahan anak, pada umumnya mempunyai produk domestik bruto yang rendah.8,9 Pernikahan anak membuat keluarga, masyarakat, bahkan negara mengalami kesulitan untuk melepaskan diri dari jerat kemiskinan dan hal ini tentunya menyebabkan kualitas kesehatan dan kesejahteraan yang rendah baik anak maupun keluarga dan lingkungannya. Pernikahan anak dan lingkungannya.
Selain itu, pernikahan di usia dini juga dapat menyebabkan gangguan perkembangan kepribadian dan menempatkan anak yang dilahirkan berisiko terhadap kejadian kekerasan dan keterlantaran. Masalah pernikahan usia anak ini merupakan kegagalan dalam perlindungan hak anak. Dengan demikian diharapkan semua pihak termasuk dokter anak, akan meningkatkan kepedulian dalam menghentikan praktek pernikahan usia anak.
Implementasi Undang-Undang pun seringkali tidak efektif dan terpatahkan oleh adat istiadat serta tradisi yang mengatur norma sosial suatu kelompok masyarakat Menikah di usia kurang dari 18 tahun merupakan realita yang harus dihadapi sebagian anak di seluruh dunia, terutama negara berkembang. Masalah perkawinan anak juga mendapat perhatian khusus dalam target kelima SDGs (Sustainable Development Goals) yang bertujuan “mencapai kesetaraan gender dan memberdayakan semua perempuan dan anak perempuan” dengan salah satu targetnya adalah menghapus segala bentuk praktik yang berbahaya seperti perkawinan anak dan perkawinan paksa .
Persentase perempuan usia 20-24 tahun yang menikah sebelum usia 18 tahun menurut provinsi, (Susenas, 2018)
Terdapat 20 provinsi dengan prevelensi perkawinan usia anak diatas angka nasional yaitu 11,2%, termasuk Sulawesi Selatan berada pada pada urutan 12 yaitu 14,11 (> rata-rata nasional)
Prevalensi Perkawinan Anak di Sulawesi Selatan Tahun 2016-2019
1. Seiringan dengan berkembangnya masyarakat, permasalahan yang terjadi semakin kompleks. Berkaitan dengan perkawinan, dewasa ini dalam berbagai media terjadinya perkawinan yang dianggap problematic dalam kehidupan bermasyarakat. Sebagai contoh, perkawinan dibawah umur yang terjadi tanpa sepengahuan awal dari pemerintah dan penegak hukum. Perkawinan di bawah umur di Indonesia dari tahun ke tahun meningkat. Khusus di Sulawesi Selatan.
Faktor yang mendorong maraknya pernikahan anak Di berbagai penjuru dunia khususnya di Indonesia Provinsi Sulawesi Selatan, pernikahan anak merupakan masalah sosial dan ekonomi, yang diperumit dengan tradisi dan budaya dalam kelompok masyarakat.Stigma sosial mengenai pernikahan setelah melewati masa pubertas yang dianggap aib pada kalangan tertentu, meningkatkan pula angka kejadian pernikahan anak.
2. Perkawinan Anak yang dapat dilakukan untuk pencegahan adalah :
- Memberdayakan anak perempuan dengan informasi & keterampilan, jaringan pendukung contoh: pendidikan kecakapan hidup, pendidikan kesehatan reproduksi
- Mendidik dan memobilisasi orang tua dan anggota masyarakat contoh: dialog masyarakat dengan orang tua; pengumuman publik dari tokoh masyarakat/agama yg berpengaruh.Contoh: dialog masyarakat dengan orang tua; pengumuman publik dari tokoh masyarakat/agama yg berpengaruh.
- Mendorong penerimaan dan kualitas sekolah formal bagi anak perempuan contoh: bantuan tunai bagi anak perempuan di sekolah menengah, subsidi untuk transportasi, seragam, perlengkapan
- Mengembangkan kerangka hukum dan kebijakan contoh: meningkatkan usia minimum untuk menikah & menghilangkan semua pengecualian seperti dispensasi; Memastikan anak perempuan dapat mengakses layanan kesehatan, pendidikan (termasuk anak perempuan yang sudah menikah atau belum menikah.
Kualitas sumber daya manusia juga menjadi akar permasalahan kawin anak bahwa tingkat pendidikan yang rendah karena kurangnya akses pendidikan menjadi salah satu penyebab tingginya angka perkawinan anak.Rendahnya tingkat pendidikan berkontribusi terhadap kecenderungan mengawinkan anak, khususnya anak perempuan, dalam dua sisi.anak-anak perempuan yang putus sekolah tidak memiliki banyak kesempatan untuk melakukan hal lain selain menunggu untuk dikawinkan, namun di sisi lain besarnya kendali orang tua dalam adat, kehidupan dan perkawinan anak-anaknya juga dapat mendorong terjadinya perkawinan anak.
Orang tua, dan juga sanak keluarga dekat, berperan besar dalam merestui jalannya perkawinan, dan ketika pendidikan maupun wawasan orang tua juga terbatas bukan tidak mungkin perkawinan anak tidak dilihat sebagai permasalahan, namun juga sebagai solusi dari permasalahan yang ada
Konsensus global tentang perlunya penghapusan perkawinan dini, kawin paksa, dan perkawinan usia anak semakin mengemuka dalam beberapa tahun terakhir. Seseorang yang masih berumur di bawah 20 tahun disarankan menunda pernikahannya.Meski secara psikologis pernikahan dianjurkan ketika seseorang sudah berusia di atas 20 tahun, hal berbeda diatur dalam dalam Undang-Undang Perkawinan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Di dalamnya menyatakan bahwa usia minimal anak menikah adalah 16 tahun untuk perempuan dan 19 tahun untuk laki-laki.
Kesiapan fisik tanpa diimbangi kematangan mental akan sia-sia. Secara fisik, remaja berumur belasan tahun sudah siap menikah untuk kemudian berhubungan seksual."Namun, (remaja belasan tahun) tidak siap secara mental, spiritual, emosi, dan sosial. Ini persoalan yang kita hadapi,"
Semua masalah tersebut dapat berdampak negatif terhadap pernikahan yang akan berujung perceraian. Anak anak yang menikah di bawah umur akan mengalami kondisi yang buruk untuk seluruh indikator sosial dan ekonomi dibandingkan dengan anak perempuan yang menunda usia perkawinan, termasuk tingkat pendidikan yang lebih rendah dan tingkat kemiskinan yang lebih tinggi.
Anak perempuan cenderung tidak melanjutkan sekolah setelah mereka menikah. Sehingga menjadi menghambat pencapaian Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan bisa menjadi beban negara.
Peran dokter anak menyikapi pernikahan usia anak Terkait dengan kesehatan reproduksi dan pernikahan dini, maka dokter anak berperan serta dalam memberikan penyuluhan pada remaja dan orangtua mengenai pentingnya mencegah terjadinya pernikahan di usia dini serta membantu orangtua untuk dapat memberikan pendidikan kesehatan reproduksi kepada anak sesuai tahapan usianya. Dokter anak juga berperan membantu remaja untuk mendapatkan informasi dan pelayanan kesehatan reproduksi juga alat kontrasepsi, menilai kemampuan orangtua berusia remaja dalam mengasuh anak untuk mencegah terjadinya penelantaran atau perlakuan salah pada anak, serta berpartisipasi dalam masyarakat untuk mencegah terjadinya pernikahan di usia dini.
1. Bagi Remaja Sebaiknya dalam memandang suatu fenomena sosial terlebih dahulu melihat dari berbagai sudut, dengan demikian tidak akan menimbulkan subjektivitas dalam rangka memaknainya, dan remaja lebih dapat memfilter diri sendiri. Contoh dengan pendalaman agama atau menyibukkan diri dengan kursus maupun organisas
2. Bagi Orang Tua Lebih membekali anak remajanya dengan berbagai informasi dan pengetahuan tentang agama, serta menjadi teman untuk si anak dimana anak bisa menceritakan segala sesuatu yang ia alami baik itu mengenai prestasi atau masalah yang sedang ia hadapi.
3. Bagi Pemerintah Menetapkan batas minimal usia menikah dengan matang. Hal ini dimaksudkan agar kedua belah pihak benar-benar siap dan matang dari sisi fisik, psikis, dan mental. Serta memberikan penyuluhan kepada orang tua dan masyarakat tentang dampak apa saja yang dapat ditimbulkan karena pernikahan dini.
Kecenderungan : di pedesaan lebih tinggi angka perkawinan anak dari pada di perkotaaan
Perkawinan Anak Berdasarkan Usia Perkawinan Pertama & Daerah Tempat Tinggal di Sulawesi Selatan
Berdasarkan usia perkawinan pertama, anak perempuan berusia 17 tahun cenderung lebih rentan terhadap perkawinan baik di perkotaan maupun di perdesaan. Hal ini terlihat dari peningkatan prevalensi yang paling besar pada perempuan 20 – 24 tahun yang perkawinan pertamanya sebelum usia 17 tahun dan sebelum usia 18 tahun dibandingkan dengan peningkatan prevalensi pada umur perkawinan pertama yang lain Perkawinan Anak Berdasarkan Usia Perkawinan Pertama
Regulasi dan kebijakan pencegahan perkawinan anak di Provinsi Sulawesi Selatan
1. Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan, Nomor 4 Tahun 2013 tentang Sistem Perlindungan Anak, Pasal 7: Tanggung Jawab dan Peran Serta Masyarakat; dan Pasal 9 Tanggung Jawab Orangtua, salah satunya adalah melindungi dan mencegah, serta tidak membiarkan terjadinya pernikahan dini.
2. Peraturan Gubernur Sulawesi Selatan, Nomor: 80/2018 tentang Pelaksanaan Perda No. 4/ 2013 tentang SPA, Pasal 14: Pengembangan program ketahanan keluarga, dan memfasilitasi pengembangan sistem perlindungan anak berbasis masyarakat melalui penguatan dan perubahan norma, peningkatan keterampilan hidup, dan respon terhadap kekerasan anak.
3. Instruksi Gubernur Selsel Nomor 1 Tahun 2018 tentang Stop Perkawinan Anak di Sulawesi Selatan.
4. Road Map Pencegahan Perkawinan Anak di Sulawesi Selatan tahun 2019-2023.
5. Peraturan Gubernur Sulawesi Selatan, Nomor: 31 Tahun 2021, Tentang Strategi Daerah Pencegahan Perkawinan Anak (STRADA PPA)
Strategi dan Upaya yang telah dilakukan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan Provinsi
§ Terdapat KOMITMEN dalam bentuk kebijakan PPA ( Regulasi Perda, Pergub, Instruksi Gubernur)
§ Terdapat alokasi anggaran untuk kegiatan PPA, melalui beberapa kegiatan PUSPAGA, Pengasuhan, PATBM ditingkat Provinsi
§ Memastikan praktik baik di tingkat pelaksanaan terdokumentasikan dan menjadi acuan untuk rumusan kebijakan
§ Memastikan adanya sinergi dan koordinasi implementasi kebijakan PPA di tingkat Kab/Kota
§ Melaksanakan koordinasi dan sinergitas, tentang regulasi dan implementasi pencegahan perkawinan anak di Kab/Kota dengan lembaga mitra seperti UNIICEF dan ICJ /AIPJ
§ Melakukan kampanye melalui Media Sosial, Web SIGA
§ Mendorong Kab/Kota membuat regulasi penceghan perkawinan anak beupa Perda,Peraturan Bupati, Stada Kab/Kota.Perdes. Kab/Kota
§ Memastikan adanya kebijakan PPA di tingkat Kab/Kota hingga desa/kel
§ Memastikan alokasi anggaran untuk kegiatan pencegahan perkawinan anak di Kab/Kota
§ Mengoptimalkan fungsi gugus tugas untuk pencegahan perkawinan anak
§ Memastikan adanya sinergi dan koordinasi implementasi kebijakan PPA di Kab/Kota bersama lintas OPD dan lembaga Non Pemerintah seperti PKK, LM lainnya
Penguatan /pembinaan keagamaan kepada anak-anak didesa bersama majelis taklim
TREND PERKAWINAN ANAK DI SULAWESI SELATAN
Dalam 5 tahun terakhir (2015-2019), tren perkawinan anak perempuan di Sulawesi Selatan, cukup berfluktuatif, meskipun untuk yang melangsungkan perkawinan pertama sebelum usia 18 tahun menunjukkan tren menurun, sedangkan untuk yang melangsungkan perkawinannya sebelum usia 15 tahun cederung meningkat meskipun persentasenya relatif kecil.
A. Kesimpulan
Dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan di Indonesia didefinisikan sebagai “ikatan antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga sejahtera, bahagia, dan bekal dikemudain hari, untuk mencapai tujuan membentuk keluarga yang sejahtera, bahagia, dan kekal, tentunya banyak hal yang harus diperhatikan dan dipersiapkan oleh seorang laki-laki maupun perempuan yang akan mengikat dirinya dalam perkawinan. Persiapan tersebut meliputi persiapan fisik dan mental, Persiapan fisik dapat juga diartikan kematangan fisik, sedangkan persiapan mental adalah keamanan atau kedewasaan dalam kebijaksanaan dalam menghadapi persoalan. Hal tersebut amant dibutuhkan, mengingat berbagai kemungkinan yang akan terjadi disebabkan ikatan antara dua manusia yang saling berbeda, berbeda jenis, berbeda latar belakang sosial, ekonomi, pendidikan, cara pandang sikap, sifat dan sebagainya.
Pernikahan atau perkawinan adalah lambang dan di sepakatinya suatu perjanjian antara seorang laki-laki dan perempuan atas dasar hak dan kewajiban kedua belah pihak. Sedangkan pernikahan menurut Undang-Undang perkawinan No 1 tahun 1974 adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga yang sejahtera.
Dalam pernikahan adanya ikatan lahir dan batin, yang berarti bahwa dalam perkawinan itu adanya ikatan tersebut kedua-duanya.Ikatan lahir adalah merupakan ikatan yang menampak, ikatan formal yang sesuai dengan peraturan-peraturan yang ada. Sedangkan ikatan batin adalah ikatan yang tidak nampak secara langsung, merupakan ikatan psikologis.
Faktor yang mendorong maraknya pernikahan anak Di berbagai penjuru dunia khususnya di Indonesia Provinsi Sulawesi Selatan, pernikahan anak merupakan masalah sosial dan ekonomi, yang diperumit dengan tradisi dan budaya dalam kelompok masyarakat.Stigma sosial mengenai pernikahan setelah melewati masa pubertas yang dianggap aib pada kalangan tertentu, meningkatkan pula angka kejadian pernikahan anak.
Motif ekonomi, harapan tercapainya keamanan sosial dan finansial setelah menikah menyebabkan banyak orangtua menyetujui pernikahan usia dini. Alasan orangtua menyetujui pernikahan anak ini seringkali dilandasi pula oleh ketakutan akan terjadinya kehamilan di luar nikah akibat pergaulan bebas atau untuk mempererat tali kekeluargaan.
Selain itu, pernikahan di usia dini juga dapat menyebabkan gangguan perkembangan kepribadian dan menempatkan anak yang dilahirkan berisiko terhadap kejadian kekerasan dan keterlantaran. Masalah pernikahan usia dini ini merupakan kegagalan dalam perlindungan hak anak. Dengan demikian diharapkan semua pihak termasuk dokter anak, akan meningkatkan kepedulian dalam menghentikan praktek pernikahan usia dini.
Implementasi Undang-Undang pun seringkali tidak efektif dan terpatahkan oleh adat istiadat serta tradisi yang mengatur norma sosial suatu kelompok masyarakat Menikah di usia kurang dari 18 tahun merupakan realita yang harus dihadapi sebagian anak di seluruh dunia, terutama negara berkembang. Masalah perkawinan anak juga mendapat perhatian khusus dalam target kelima SDGs (Sustainable Development Goals) yang bertujuan “mencapai kesetaraan gender dan memberdayakan semua perempuan dan anak perempuan” dengan salah satu targetnya adalah menghapus segala bentuk praktik yang berbahaya seperti perkawinan anak dan perkawinan paksa.
Rekomendasi
Interpretasi dan pemaknaan atas ajaran agama dalam konteks tertentu dapat memberikan kontribusi bagi berlangsungnya tradisi perkawinan anak.konstruksi sosial akan posisi anak perempuan telah menjadi bagian dari sebuah mata rantai yang dapat berujung pada pernikahan anak.Oleh karena itu, untuk mencegah terjadinya pernikahan anak merupakan suatu kerja keras yang harus dimulai dari akarnya, ketidakadilan gender yang sudah diemban oleh perempuan sejak ia dilahirkan.
Perlu dilakukan upaya sosialisasi tentang dampak perkawinan anak melalui meja mimbar oleh para pemimpin agama yang bertujuan agar para umat memilki pengetahuan akan dampak negatif dari pernikahan anak. Selain itu, perkawinan anak diharapkan menjadi salah satu bahan pembicaraan penting di dalam proses dialog antar para pemuka agama-agama di Kabupaten/Kota Provinsi Sulawesi Selatan.
Terlibatnya para pemuka agama dapat menjadikan perkawinan anak menjadi perhatian bagi berbagai pihak yang seharusnya ambil bagian dalam upaya menghentikan praktek-praktek perkawinan anak.
Di dalam nilai-nilai agama melekat berbagai aspek sosial, budaya, ekonomi, dan politik yang tidak bisa dilepaskan.Pemerintah dan berbagai pihak terkait lainnya juga perlu mengupayakan pendidikan kesehatan reproduksi kepada anak-anak mulai dari sekolah dasar, bukan sekadar pelajaran biologi yang selama ini sudah diberikan. Pendidikan kesehatan reproduksi dan pendidikan seksualitas akan membantu anak-anak sejak dini memahami fungsi organ reproduksi mereka secara benar, dan mulai diarahkan untuk mengerti konsekuensi dari setiap perbuatan.
Mengingat tidak semua orang tua mempunyai kemampuan untuk menjelaskan secara baik, ditambah dengan masih kuatnya pemahaman bahwa membicarakan isu kesehatan reproduksi dan seksualitas adalah tabu, maka penjelasan yang dibutuhkan anak-anak untuk memenuhi rasa ingin tahu mereka yang luar biasa harus disampaikan oleh pendidik yang mahir.
Penyuluhan tentang resiko perkawinan anak sebaiknya tidak hanya diberikan kepada para orang tua, tetapi juga menyasar ke majelis taklim dan pengajian-pengajian remaja, atau kelompok-kelompok kegiatan remaja.
Untuk itu harus melibatkan juga penyuluh BP4 untuk kemudian bergandengan dengan tokoh agama yang berpikir progresif dan pendidik di perguruan tinggi.Beberapa kelompok sosial dapat dijadikan prioritas penyuluhan tersebut yakni pelajar, masyarakat miskin yang hidup di wilayah hilir, maupun mereka yang merupakan kalangan menengah yang sebagian di antaranya masih memiliki tradisi perkawinan anak.
Penyediaan regulasi dan kebijakan
1. PERDA PROV. SULSEL No: 4 Tahun 2013 tentang Sistem Perlindungan Anak, Pasal 7: Tanggung Jawab dan Peran Serta Masyarakat; dan Pasal 9 Tanggung Jawab Orangtua, salah satunya adalah melindungi dan mencegah, serta tidak membiarkan terjadinya pernikahan dini.
2. PERGUB SULSEL No: 80/2018 tentang Pelaksanaan Perda No. 4/ 2013 tentang SPA, Pasal 14: Pengembangan program ketahanan keluarga, dan memfasilitasi pengembangan sistem perlindungan anak berbasis masyarakat melalui penguatan dan perubahan norma, peningkatan keterampilan hidup, dan respon terhadap kekerasan anak
3. Instruksi Gubernur Selsel Nomor 1 Tahun 2018 tentang STOP PERKAWINAN ANAK di Sulawesi Selatan.
4. Surat Edaran Gubernur Sulsel tentang ROADMAP DAN STRADA PENCEGAHAN PERKAWINAN ANAK DI SULAWESI SELATAN TAHUN 2019-2023.
Upaya lainnya dalam pencegahan perkawinan anak di sulawesi selatan
1. Membentuk Koalisasi Stop Perkawinan Anak pada tahun 2018,
2. Melakukan kampanye gerakan “Pelaminan Bukan Tempat Bermain Anak” tahun 2018, yang dilakukan serentak di 24 Kabupaten/Kota se Sulawesi Selatan,
3. Menyusun buku Panduan Pemantauan Perkawinan Anak dan Leaflet untuk bahan Kampanye Perkawinan Anak Tahun 2018 bekerjasama dengan Australian Indonesia Project for Justice (AIPJ), Institut Community for Justice (ICJ), dan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan,
4. Melakukan Baseline and Formative Research on Child Marriage and Menstrual Health Management, tahun 2019 kerjasama UNICEF dengan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan,
5. Menyusun Roadmap Pencegahan Perkawinan Anak di Sulawesi Selatan Tahun 2019-2023, atas Kerjasama AIPJ2 melalui ICJ, Koalisi Stop Perkawinan Anak, dan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan.
6. Melakukan pendampingan penyusunan Strategi Daerah (STRADA) Pencegahan Perkawinan Anak pada 8 Kab/Kota bekerjasama dengan Institut Community for Justice (ICJ) dengan DP3A Dalduk KB Prov Sulsel
7. Bersinergi dan mensupport lembaga mitra (ICJ) dalam menginisiasi Ranperda/Perdes Pencegahan Perkawinan Anak di Kabupaten/Kota (Kab. Bone, Kab. Maros)
Selain regulasi/kebijakan dan kerjasama dengan mitra upaya yang dilakukan adalah : Meningkatkan Ketahanan Keluarga dan Kapasitas Anak
1. Pembinaan Ketahanan Keluarga Berbasis Desa/ Kelurahan melalui Program Ketahanan Keluarga dan Kualitas Keluarga
2. Peningkatan Kapasitas Pengasuhan Bagi Orangtua/Calon Orangtua Dalam Pengasuhan;
3. Pengembangan Model-Model Perlindungan Anak di Desa/Kelurahan di seluruh Kabupaten/Kota;
4. Penguatan kapasitas Kader-Kader di Desa/Kelurahan dengan Prinsif Kerja One Kader Save One Family (OK-SOF);
5. Penguatan Kapasitas Kelompok Anak Menjadi Agen Pelopor dan Pelapor (2P)
6. Mengangkat Issue Perkawinan Anak sebagai Issue Prioritas dalam proses Musrenbang di Desa/Kelurahan, baik melalui Musrenbang Reguler maupun melalui Musrenbang Anak;
7. Pengembangan Sekolah Ramah Anak (SRA) untuk melakukan upaya pencegahan anak tidak putus sekolah
8. Penyusunan Leaflet bahan Kampanye dan Road Map Pencegahan Perkawinan Anak di seluruh wilayah di Sulawesi Selatan 2019-2020.
- Log in to post comments