Sebelum dimulai acara temu kangen para mantan kepala dinas pertanian kabupaten/kota se-Jawa Tengah di Baturaden, Banyumas, 3-4 Agustus 2024, sempat terjadi diskusi kecil. Diskusi mengerucut pada topik tentang kondisi pembangunan pertanian saat ini yang mengarah pada senjakala.
Kondisi itu ditandai beberapa hal. Pertama, alokasi anggaran pembangunan kementerian/lembaga (K/L) bidang pangan sangat cekak. Kedua, terjadi penurunan produksi pangan yang sangat signifikan (utamanya beras).
Ketiga, rapuhnya kedaulatan pangan yang ditandai dengan membengkaknya angka impor pangan. Keempat, konversi lahan pertanian ke nonpertanian yang sangat masif. Kelima, terjadi fenomena gerontokrasi di sektor pertanian Indonesia.
Dalam era transisi pemerintahan Presiden Joko Widodo kepada Prabowo Subianto, pemerintah dihadapkan pada permasalahan pelik terkait alokasi anggaran pembangunan. Anggaran pembangunan bidang pangan dipangkas demi mengakomodasi program-program presiden terpilih, seperti Program Makan Bergizi dan Minum Susu Gratis yang membutuhkan anggaran Rp 71 triliun pada 2025.
Belum lagi untuk program-program lain, seperti Food Estate, program Cetak Sawah Baru, program Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP), serta program Bantuan Pangan bagi keluarga Berpenghasilan Rendah (Kompas, 30/7/2024).
Anekdot
Belum lama ini seorang teman pegawai dinas pertanian tempat saya dahulu bekerja ”curhat” kepada saya terkait kecilnya alokasi anggaran. Pada 2024 ini, alokasi anggaran bidang penyuluhan (setara Eselon III) hanya Rp 15 juta per tahun.
Ketika dimintai pendapat tentang bagaimana cara meningkatkan anggaran yang sangat memprihatinkan ini, saya menjawab dengan sebuah anekdot. ”Ingin sektor pertanian diperhatikan lagi oleh pemerintah? Anda duduk manis saja di kantor, biarkan saja tanaman padi terserang wereng coklat, tak perlu repot-repot menggerakkan petani untuk melakukan pengendalian, tidak perlu capek-capek menyuluh petani untuk peningkatan produksi. Biarkan saja!”
Anekdot ini sering menjadi joke para petugas lapangan pertanian. Pengalaman empiris menunjukkan, pemerintah negeri ini baru akan kebakaran jenggot saat terjadi ”bencana” di lapangan.
Saya teringat peristiwa tahun 1986, eksplosi serangan hama wereng batang coklat (WBC) mengakibatkan gagal panen padi pada sentra produksi padi di Pulau Jawa. Kemudian terbitlah Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 1986 tentang Peningkatan Pengendalian Hama Wereng Coklat pada Tanaman Padi. Anggaran triliunan rupiah dikucurkan untuk ”memadamkan kebakaran” itu.
Setali tiga uang di sektor peternakan. Sekitar tiga tahun terakhir ini anggaran triliunan rupiah dikucurkan untuk menangani serangan penyakit lumpy skin disease (LSD) serta penyakit mulut dan kuku (PMK) pada ternak sapi.
Menurut Naipospos, LSD dan PMK awalnya muncul di peternakan kecil sapi perah dan sapi potong di satu tempat. Hingga Juni 2024, LSD sudah terdeteksi di 18 provinsi dengan 73.720 kasus, sedangkan PMK terdeteksi di 27 provinsi dengan 556.558 kasus (Kompas, 5/8/2024).
Serangan LSD dan PMK menyebabkan gangguan produksi susu dan daging sapi sangat signifikan. Menurut data Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI), terjadi penurunan produksi susu 80 persen dari produksi normal 1 ton per hari di sentra produksi sapi perah. Penyakit PMK telah mengakibatkan ribuan sapi mati karena terinfeksi PMK sehingga sangat mengganggu program Swasembada Daging Sapi dan Kerbau Nasional.
Petani gurem
Penurunan produksi pangan yang sangat signifikan, utamanya beras, juga menjadi sinyal lain memudarnya sektor pertanian.
Data Badan Pusat Statistik (BPS), mengacu pada hasil kerangka sampling area tanaman padi Juni 2024, menunjukkan, potensi produksi beras pada Januari-September 2024 mencapai 24,37 juta ton gabah kering giling (GKG). Angka tersebut menurun 1,78 juta ton dibandingkan dengan realisasi produksi periode yang sama tahun 2023 yang mencapai 26,15 juta ton GKG.
Implikasi dari penurunan produksi beras yang sangat signifikan tersebut membuat angka impor beras membengkak. Berdasarkan data Rencana Proyeksi Neraca Beras Nasional pada Mei 2024, Indonesia berpotensi mengimpor beras sebanyak 5,17 juta ton.
Hingga April lalu telah terealisasi 1,77 juta ton. Sebanyak 3,4 juta ton direncanakan pada periode Mei-Desember 2024. Indonesia akan kembali menjadi negara importir beras terbesar di dunia!
Sinyal lain yang menunjukkan bahwa dunia pertanian Indonesia tengah menuju senjakala adalah masifnya konversi lahan pertanian ke nonpertanian. Berdasarkan data Inspektur Jenderal Kementerian Pertanian, laju alih fungsi lahan pertanian ke nonpertanian sekitar 102.000 hektar per tahun. Data lain dari BPS menyebutkan, dalam kurun 10 tahun Indonesia kehilangan lahan sawah 1 juta hektar.
Banyak petani yang saya wawancarai menyatakan bahwa alih fungsi lahan pertanian ke nonpertanian lebih menguntungkan dari sisi ekonomi. Hal ini sejalan dengan hasil analisis ekonomi sewa lahan (land rent economics) yang pernah dilakukan. Rasio sewa lahan dari pengusahaan lahan antara usaha tani padi : perumahan : industri, angkanya sangat njomplang, yaitu 1 : 622 : 500 (Nasoetion dan Winoto, 1996).
Masifnya konversi lahan pertanian subur ini merupakan bencana. Sebuah penelitian menyebutkan, jika di suatu lokasi terjadi konversi lahan pertanian, lahan-lahan pertanian di sekitarnya akan segera terkonversi secara progresif.
Pemilikan lahan yang semakin sempit merupakan bahasa lain dari hilangnya basis produksi terpenting bagi petani. Masifnya konversi lahan pertanian ke nonpertanian akan berdampak secara permanen terhadap penurunan produksi pangan nasional.
Dampak lebih jauh dari fenomena ini adalah makin berlipatnya jumlah petani gurem (mengusahakan lahan kurang dari 0,5 hektar). Hal itu bisa dilihat dari data Sensus Pertanian Tahun 2023 yang mendapati pada 2013-2023 jumlah petani gurem meningkat sangat signifikan.
Pada 2013 jumlah petani gurem 14,25 juta rumah tangga petani (RTP), sepuluh tahun kemudian meningkat menjadi 16,89 juta RTP. Terjadi peningkatan 2,64 juta RTP, meningkat rata-rata 1,9 persen per tahun.
Kondisi pertanian Indonesia yang sedang menuju senjakala juga ditandai oleh mandeknya regenerasi petani. Anak muda makin tak tertarik bekerja di sektor pertanian. Mereka lebih tertarik untuk urbanisasi ke kota, salah satunya ditandai dengan maraknya fenomena migrasi berantai (chain migration) pasca-Lebaran.
Akibatnya, sektor pertanian mengalami gerontokrasi, suatu kondisi ketika komposisi tenaga kerja sektor pertanian didominasi tenaga kerja tua kurang produktif. Hasil Sensus Pertanian 2023 mendapati data jumlah petani berumur 19-39 tahun hanya 21,93 persen dari total jumlah petani Indonesia.
Sebagai akhir tulisan ini, saya perlu mengingatkan para penentu kebijakan negeri ini. Sektor pertanian merupakan sumber daya sosial ekonomi dan budaya bangsa paling utama. Sejarah panjang telah mencatat, sektor pertanian telah berkali-kali menjadi penyelamat di saat krisis melanda. Membiarkan sektor pertanian terbengkalai seperti sekarang ini sama artinya dengan mengingkari kodrat bangsa.
Prof Toru Yano dari Tokyo University pernah mengingatkan: ”Ancaman terbesar Bangsa Indonesia saat ini bukan invasi negara asing, melainkan datang dari internal. Cukup disulut dengan isu kelangkaan kebutuhan pokok pangan, kerusuhan sosial mudah sekali pecah.” Maka, waspadalah, waspadalah!
Toto Subandriyo, Pegiat Forum Pengkajian Pangan Pertanian dan Lingkungan (FP3L)
Sumber: https://www.kompas.id/baca/opini/2024/08/26/senjakala-pertanian-indonesia?open_from=Opini_Page
- Log in to post comments