Penulis: Enggar Paramita
Setelah menghadirkan ahli merica dan cengkeh di desa-desa binaan, kali ini sekolah lapang agroforestri AgFor mengundang ahli kopi, kakao, dan durian untuk berbagi pengalaman dengan para petani di Sulawesi Selatan dan Tenggara.
Tahap penyebaran informasi peneliti ke petani diawali dengan mengundang Dr. Retno Hulupi dan Dr. Adi Prawoto dari Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia pada Oktober 2013, dan Dr. Sobir dari Pusat Kajian Hortikultura Tropika Institut Pertanian Bogor pada bulan Februari 2014.
Dalam sekolah lapang kopi, Dr. Retno Hulupi mengetengahkan jenis-jenis varietas dan klon kopi, cara pemeliharaan, budi daya, pengendalian hama dan penyakit, serta penanganan pasca panen. Saat pelatihan, diketahui bahwa pengetahuan petani tentang jenis-jenis kopi seperti arabica, robusta, dan liberica masih belum memadai walaupun mereka telah menanam kopi selama bertahun-tahun. Tak hanya itu, kebiasaan memupuk dan memangkas pun belum lazim diaplikasikan. “Kopinya dibiarkan tumbuh tinggi saja dan bercabang-cabang, karena kita pikir, tidak apa-apa jika cabangnya banyak. Lalu dipupuknya juga sekali-sekali saja,” kata Amiruddin, petani kopi asal Desa Pattaneteang, Bantaeng. Padahal, menurut Dr. Retno, pemangkasan cabang penting untuk mengurangi cabang non-produktif, mempermudah pemeliharaan tanaman, pengendalian penyakit, serta memperlancar alur masuknya cahaya dan aliran udara.
“Kalau yang saya lihat di kebun-kebun petani yang kita kunjungi saat sekolah lapang, memang cara perawatan kopi yang dilakukan belum memadai, sehingga hasilnya juga belum maksimal,” kata Dr. Retno. Ia mengemukakan bahwa perbaikan perlu dilakukan mulai dari penggunaan bibit unggul bersertifikat untuk bahan tanam serta perbaikan cara pengelolaan tanaman seperti pemupukan dan pemangkasan teratur. Selain itu Dr. Retno juga menekankan pentingnya pembentukan kelompok, terutama jika petani berkeinginan menjadikan komoditasnya sebagai produk kopi khas.
Sementara dalam sekolah lapang kakao, para petani berdiskusi dengan Dr. Adi Prawoto tentang cara penanganan hama dan penyakit. Sejak beberapa tahun terakhir, serangan hama dan penyakit menjadi penyebab utama merosotnya produksi kakao di Sulawesi. Padahal di pulau tersebut, kakao menjadi salah satu sumber penghidupan utama petani. Beberapa petani mengeluhkan bahwa turunnya produksi membuat mereka patah semangat, bahkan ada yang memutuskan untuk meninggalkan kakaonya dan beralih ke komoditas lain. Menanggapi hal tersebut, selama sesi pelatihan Dr. Adi terus menyemangati petani bahwa serangan hama dan penyakit dapat diatasi asalkan petani rajin merawat kebunnya. Metode panen sering, pemangkasan, sanitasi, dan pemupukan (PsPSP) yang dinilai ampuh untuk mengurangi serangan hama dan penyakit pun menjadi salah satu topik perbincangan yang berlangsung di kelas dan kebun petani. Tidak hanya itu, Dr. Adi turut mempraktikkan penyarungan buah kakao, yang merupakan cara efektif mengurangi serangan hama ganas Penggerek Buah Kakao (PBK) yakni dengan menghalangi serangga penggerek meletakkan telur-telurnya pada permukaan buah kakao.
Selanjutnya dalam sesi durian, petani menunjukkan antusiasme tinggi dengan memberikan berbagai pertanyaan kepada Dr. Sobir. Keingintahuan ini berdasar pada tekad petani untuk meningkatkan hasil produksi kebunnya. Selama ini durian sudah banyak ditanam di kebun petani dan rata-rata berasal dari bibit lokal dengan hasil panen ala kadarnya dan kualitas rendah sehingga hanya dikonsumsi sendiri. Dr. Sobir menyarankan petani untuk menggunakan durian lokal yang terbukti cocok di daerah setempat sebagai batang bawah, kemudian mengokulasinya dengan durian jenis unggul. Dengan begitu maka akan didapatkan durian yang pohonnya kuat dan hasil buahnya enak. Ia juga merekomendasikan untuk menghasilkan buah yang lezat, dalam satu kebun layaknya ditanami 2 jenis durian yang cocok, misalkan durian montong ditanam dengan jenis kani atau kradumtong.
Seperti pada kegiatan sekolah lapang sebelumnya, tahap penyebaran informasi dari peneliti ke petani, diikuti oleh tahap penyebaran informasi dari petani ke petani, di mana para petani unggul yang terpilih menyiarkan informasi kepada petani di desa lain. Kunjungan lapang ke kebun yang dianggap berhasil turut pula dilaksanakan sebagai upaya memfasilitasi pertukaran pengetahuan.
Kini, selang 6 bulan dari pelaksanaan sekolah lapang, para peserta mulai mempraktikkan pemangkasan dan pemupukan pada tanaman kopi dan kakao mereka. Beberapa mengakui bahwa hasil produksi kopi dan kakaonya meningkat setelah mempraktikkan anjuran para ahli tersebut. Para petani durian yang sebelumnya masih ragu untuk menanam campur durian dengan cengkeh kini keyakinannya bertambah berkat kunjungan ke kebun yang sukses.
Dalam kurun waktu April 2013–Februari 2014, tercatat 1733 petani berpartisipasi dalam kegiatan sekolah lapang, termasuk 17 ‘champion’ atau petani unggul di Sulawesi Selatan dan 18 di Sulawesi Tenggara. Champion inilah yang nantinya akan menjadi ujung tombak penyebaran informasi di daerahnya masing-masing. Selain itu, kurang lebih 100 kebun contoh telah tersebar di kedua provinsi. Kebun contoh atau kebun belajar tersebut mengambil lokasi di lahan petani yang bersedia dengan topik pembelajaran yang berbeda-beda tiap kebun. Topik tentang pemeliharaan pohon seperti pemupukan, pemangkasan, dan pengendalian hama penyakit dilakukan pada kebun yang telah ditanami, sedangkan kebun yang baru saja dibangun ditanami berbagai komoditas dengan jarak tanam ideal yang disarankan para ahli. Tiap 3 bulan kebun yang menjadi sarana petani untuk mengujicobakan pengetahuan dan teknologi guna meningkatkan produksi lahan ini diamati perkembangannya secara seksama oleh petani bersama dengan fasilitator AgFor. Selama 2 tahun ke depan, kebun-kebun contoh ini akan terus dipantau, dan diharapkan dalam periode tersebut petani dapat menyaksikan dan merasakan hasil dari penerapan ilmu-ilmu yang diperoleh dari sekolah lapang.
“Metode penyebaran informasi dalam sekolah lapang tidak cukup hanya diskusi dan praktik sesaat, namun membutuhkan pembuktian hasil melalui kebun contoh. Ini karena petani belajar dengan matanya,” kata Endri Martini, Agroforestry Extension Specialist di World Agroforestry Centre. Endri menjelaskan dari pembelajaran selama ini, ada 3 kunci utama yang menentukan keberhasilan pelaksanaan sekolah lapang, yaitu: 1) petani yang memiliki semangat belajar tinggi; 2) adanya tim narasumber yang kredibel; 3) tim fasilitator berdedikasi tinggi untuk mendorong petani menciptakan inovasi dalam pengelolaan kebunnya. Ketiga faktor ini perlu dideteksi dan dikembangkan 3–6 bulan sebelum dimulainya sekolah lapang. Selain itu, agar ilmu dan teknologi yang diperkenalkan di sekolah lapang dapat diterima dan diterapkan, Endri mengatakan bahwa kurikulum sekolah lapang perlu disusun secara partisipatif dengan petani yang akan mempelajarinya.
Dr. James M. Roshetko, Senior Project Leader AgFor Sulawesi menambahkan bahwa sekolah lapang merupakan salah satu bagian dari strategi yang menjamin keberlanjutan terutama ketika proyek AgFor Sulawesi berakhir. “Para petani unggul yang telah mengikuti sekolah lapang ini akan menjadi kader agroforestri terampil dan dapat menjadi rujukan sumber informasi ketika masyarakat membutuhkan saran atau menghadapi permasalahan,” kata Dr. James. Ia juga mengatakan bahwa peningkatan keterampilan dan kapasitas masyarakat merupakan hal yang utama, agar mereka memiliki bekal untuk dapat mandiri dalam mengatasi permasalahan yang dihadapi.
Baik Endri maupun Dr. James memperkirakan hasil-hasil positif dari sekolah lapang ini akan diterapkan oleh penyuluh dan petani-petani dalam proyek AgFor Sulawesi dan lokasi-lokasi lainnya.
- Log in to post comments
- 316 reads