Pangkep, Villagerspost.com – Tangan-tangan anggota kelompok tani Pita Aksi dari Desa Pitusunggu, Kecamatan Ma’rang, Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan tampak cekatan mencabuti tanaman-tanaman gulma pengganggu tanaman padi yang tumbuh liar di sawah. Dalam waktu singkat, petak sawah yang tengah mereka pesiangi itu sudah bebas dari gulma.
Pada prosesnya, tanaman-tanaman gulma penganggu itu, tidak dibuang begitu saja di pematang sawah. Tanaman-tanaman pengganggu itu ternyata masih bisa dimanfaatkan oleh para anggota kelompok Pita Aksi untuk dijadikan pupuk kompos organik untuk memupuk sawah-sawah mereka.
Setelah dicabuti, tanaman-tanaman itu kemudian dibawa oleh para anggota ke tempat pertemuan kelompok yang juga merupakan kediaman Sitti Rahmah dan suaminya Muh Arif yang memimpin kelompok Pita Aksi, untuk dicacah dengan menggunakan mesin pencacah bantuan dari pemerintah kabupaten setempat. “Bantuan mesin ini kami terima tahun 2013 lalu,” kata Arif kepada Villagerspost.com, Sabtu (7/3).
Sejurus kemudian, Arif mulai menyalakan mesin tersebut dan kemudian Rahmah bersama anggota kelompok lainnya, sibuk memasukkan gulma-gulma yang sudah dicabuti tadi ke mesin pencacah tersebut. Tak seberapa lama, gulma-gulma tadi telah tergiling menjadi potongan-potongan halus dan siap difermentasikan dengan mikro organisme lokal (MOL) yang juga dibuat secara organik dari sisa-sisa buah yang sudah busuk.
Pupuk-pupuk organik yang sudah terfermentasi kemudian disimpan dengan cara diletakkan di atas tanah dan ditutupi kain terpal. Selain membuat pupuk organik dan MOL organik, Arif sebenarnya juga membuat pestisida organik. “Hanya saja saya belum pernah menggunakannya sama sekali,” katanya.
Proses yang dijalankan Arif, Rahmah dan para anggota Pita Aksi ini memang merupakan bagian dari pelaksanaan sistem pertanian organik yang mereka pilih untuk mendayagunakan kembali lahan-lahan tidur yang sudah menganggur selama 20 tahun menjadi sumber penghasilan. Kegiatan ini merupakan bagian dari program Restoring Coastal Livelihood (RCL) yang diinisiasi Oxfam.
Sonikusnito, yang menjadi pendamping lapangan program RCL Oxfam mengatakan, pilihan menjalankan sistem pertanian organik sendiri didasarkan atas dua alasan mendasar. Pertama, di daerah Pitusunggu khususnya, penggunaan pupuk kimia sudah sangat besar dan berlangsung bertahun-tahun.
“Sehingga banyak mempengaruhi tingkat kesuburan tanah. Penyakit pada beberapa komoditas di tambak sudah cukup tinggi. Yang paling berpengaruh besar adalah penggunaan kimia di tambak,” ujarnya kepada Villagerspost.com.
Alasan kedua, ujar Soni, adalah agar masyarakat tidak lagi bergantung pada pupuk kimia. “Mereka bisa memproduksi pupuk sendiri dan hal tersebut dapat mengurangi biaya produksi,” katanya.
Hanya saja, untuk memulai semua itu, pada mulanya memang tak mudah. Ada banyak kendala yang dihadapi Soni diantaranya adalah wawasan terkait pertanian organik yang masih sangat kurang. “Di Jawa, kita kasih support sedikit saja sudah bisa. Di sini kita harus memulai dari awal,” kata Soni.
Cara yang dia tempuh adalah memberikan pemahaman terkait bahaya penggunaan pupuk dan pestisida kima terhadap kesehatan diri, lingkungan dan masyarakat luas. “Kemudian kita bandingkan dengan sistem organik,” katanya.
Setelah itu, kata Soni, barulah dia bersama rekan-rekan Oxfam lainnya mulai memberikan materi dasar seperti apa itu pertanian organik dan sebagainya. Lewat program Sekolah Lapang, Soni menularkan pengetahuannya terkait pertanian organik termasuk teknik-teknik pembuatan pupuk dan pestisida organik seperti yang dipraktikkan para anggota Pita Aksi tadi.
Sumber : http://villagerspost.com/special-report/rezeki-apik-lewat-pertanian-organik/
- Log in to post comments
- 485 reads