oleh Bernadinus Steni* di 30 June 2019
Salah satu aspek penting dalam perdagangan pala adalah peran perempuan. Studi INOBU-AKAPe sepanjang 2018 di Kabupaten Fakfak, Papua Barat, menunjukkan sejumlah alasan faktual dan kebijakan pentingnya peran perempuan.
Tulisan ini hanya mengungkap sekilas masalah domestik yang dihadapi perempuan. Mulai partisipasi mereka dalam mata rantai pala, kebijakan pala sebagai tantangan pasar yang terkait dengan petani, pemerintah, maupun pemangku kepentingan.
Informasi yang disampaikan bukan sebagai generalisasi persoalan. Tetapi, mencerminkan situasi sekaligus mencari solusi.
Standar Pala
Petani di Fakfak, Papua Barat, mengelola pala karena bernilai ekonomi dan yang menentukan adalah pasar. Karakter pasar menerima produk pala, tidak statis, melainkan fleksibel mengikuti tuntutan konsumen dan regulasi.
Secara bersama, tuntutan tersebut menjadi ukuran yang diambil pasar sebagai standar transaksi. Perlahan, pala dihadapkan sejumlah ketentuan: kualitas dan kualifikasi, terlebih sanitasi. Salah satu yang paling umum adalah keamanan pangan.
Indonesia sudah mengembangkan standar biji pala melalui SNI 0006 – 1993 dan versi update SNI 0006-2015 yang mengatur persentase kadar air, biji berkapang, serangga utuh matai, dan syarat bebas kotoran mamalia, binatang lain, juga benda asing.
Di samping itu, diatur pula syarat visual dan kontaminasi jamur. Misal, standar fuli atau bunga pala SNI 0006 – 1993 masih memberikan toleransi terbatas terhadap kotoran mamalia dan hewan lain. Namun pada SNI 0006-2015, tidak ada toleransi terhadap benda-benda asing tersebut.
Namun, sebagaimana diakui Kementerian Pertanian, standar ini lebih banyak mencerminkan parameter untuk pala banda [Myristica fragrans Houtt]. Belum ada yang spesifik untuk pala papua [Myristica argentea Warb].
Untuk Pasar Uni Eropa, General Food Law, Regulation (EC) No. 178/2002 mengatur ketentuan hukum keamanan pangan dengan sejumlah syarat, antara lain: [1] kontaminasi dari mikotoksin, salmonella dan pestisida, [2] batas toleransi aflatoksin [senyawa toksik yang disebabkan oleh jamur].
Khusus aflatoksin, Komisi Uni Eropa telah mengeluarkan Commission Regulation [EU] No. 165/2010 yang mengatur batas toleransi kontaminasi aflatoxins pada Capsicum ssp, lada, pala, jahe, kunyit, dan semua produk rempah dengan campuran komoditas tersebut.
Toleransi untuk kategori aflatoxin B1 hanya dibolehkan sebesar 5.0 μg/kg dan 10 μg/kg untuk total aflatoxins [aflatoxins B1, B2, G1 and G2]. Aflatoksin B1 adalah senyawa yang paling beracun dari tipe-tipe aflatoksin karena berpotensi merangsang kanker, terutama kanker hati.
Saat ini berkembang pula diskusi standar keberlanjutan yang berusaha melacak [traceability] komoditas untuk mengantisipasi sumber yang menimbulkan kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup.
Standar dimaksudkan pula untuk memeriksa sejauh mana komoditas bersumber dari pengelolaan yang tidak menimbulkan konflik sosial dan pelanggaran hak asasi manusia. Petani diminta memenuhi standar-standar ini agar produk mereka layak masuk pasar.
Satu tuntutan yang acapkali diminta adalah indikator tidak merusak hutan. Kenyataannya, banyak dusun pala di Fakfak berada dalam kawasan hutan. Di Pang Wadar, sebagian dusun pala justru berada di kawasan hutan produksi terbatas. Kenyataan ini tentu perlu kerja sama dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan agar tidak menyulitkan petani menghadapi standar keberlanjutan, selain berjuang memenuhi standar lainnya yang sudah berlaku.
Orientasi ke depan
Isu sosial
Fakfak menunjukan bahwa pala adalah tradisi, namun sedang berjuang dalam gelombang perubahan sosial yang dapat meminggirkan tradisi. Peran perempuan untuk mewariskan pengetahuan pala ke generasi berikut bergulat dengan perubahan sosial tersebut. Terutama, saat generasi muda tidak banyak yang kembali ke dusun pala, berorientasi menjadi sarjana untuk kerja halus [opus sprituale], bukan kerja kasar sebagai petani [opus manuale].
Suara ibu bukan semata cara seorang mama mendorong anaknya sekolah lebih tinggi, tetapi juga refleksi dari pandangan dan kesadaran bahwa pala sulit diandalkan sebagai masa depan.
Harga yang tidak pasti di tengah kebutuhan yang meningkat, mengurangi nilai pala. Watak pala yang tidak membutuhkan banyak perawatan, memungkinkan petani mencari sumber penghasilan tambahan sekaligus tantangan budidaya pala.
Peran pemerintah daerah
Pemerintah Daerah perlu hadir memfasilitasi petani agar prasyarat dalam standar tersebut perlahan dapat dipenuhi. Dari segi kebijakan, sudah ada dua ketentuan di tingkat nasional terkait pala, yakni: Kepmentan 320/2015 dan Permentan 53/2012. Namun, substansi dua aturan ini belum menyasar pala papua, yang seharusnya menyediakan aspek peran perempuan muncul dalam mata rantai pala.
Perda Fakfak No. 6/2016 sudah menyentuh isu lokal pala papua. Sejalan dengan kebijakan tersebut, pemerintah daerah aktif mempromosikan pengetahuan baru tentang pala. Akan tetapi, upaya itu baru berkembang di beberapa lokasi. Diperlukan replikasi di tempat lain.
Selain itu, ada kebijakan yang memfasilitasi perubahan sikap dasar petani terhadap pentingnya pengetahuan baru budidaya sebagai tuntutan ekonomi pasar saat ini.
Sebuah organisasi perempuan yang kuat mesti hadir memfasilitasi kemampuan perempuan sebagai pelaku pengelolaan pala. Peran ini signifikan, membantu menggerakan kelompok-kelompok tani yang saat ini pelaksanaannya mengandalkan perempuan, menuju tercapainya standar pala.
Tiga hal yang perlu didukung pemerintah daerah. Pertama, penguatan kelompok perempuan petani pala sebagai agen perubahan budidaya. Dukungan kelembagaan memprioritaskan kelompok perempuan dalam alokasi pembiayaan kelompok tani. Kedua, menyediakan ruang pembelajaran dan lokasi percontohan tingkat kabupaten sebagai forum berbagi kelompok perempuan mengenai budidaya dan pengelolaan produk akhir pala.
Ketiga, mempertemukan pembeli dengan kelompok perempuan guna mengetahui langsung standar yang dibutuhkan pembeli, terlebih ada kesepakatan pembelian jangka panjang.
Pemerintah daerah harus membuat banyak plot, contoh, dan teknik visual yang memudahkan masyarakat untuk meniru. Program pembuatan banyak kebun baru pala, diarahkan untuk menginformasikan metode dan teknik baru, bukan hanya menambah luas.
Pala dalam kawasan hutan
Tantangan isu traceability ke depan adalah legalitas pala. Banyak dusun pala saat ini berada dalam kawasan hutan. Solusi legal perlu dibahas untuk menyelesaikan persoalan ini. Salah satunya, mengakui wilayah-wilayah itu sebagai penguasaan komunal adat.
Institusi negara bisa berkolaborasi dengan lembaga tradisional untuk memastikan fungsi perlindungan berjalan. Sejumlah studi menyatakan pala mempunyai karakter tutupan hutan yang efektif.
Upaya perhutanan sosial tengah digalakkan di Fakfak. Program ini seharusnya memperkuat ikatan masyarakat dengan tanah dan sumber daya alamnya. Ikatan antara orang Papua dengan tanah dan wilayahnya dengan basis tradisi yang bisa mereka tuturkan, sebagaimana kebun pala.
Pemerintah sebagai regulator tetap mendampingi cara dan metode pengelolaan yang tepat. Tentunya, dalam skema kerja sama saling menguntungkan. [Selesai]
*Bernadinus Steni, Sekretaris Inovasi Bumi [INOBU]. Tulisan ini opini penulis
Sumber: https://www.mongabay.co.id/2019/06/30/perempuan-dalam-rantai-perdagangan-pala-bagian-2/
- Log in to post comments