OTDA DAN UPAYA PEMBERANTASAN KEMISKINAN
Posted on May 5 2014 - 9:35am by Poskomalut
APRIL tahun ini, genaplah 18 tahun pelaksanaan otonomi daerah (Otda) di Indonesia. Sekitar Rp600 triliun dana pemerintah pusat telah digelontorkan ke daerah tiap tahunnya. Namun dana tersebut belum mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat serta mengurangi persentase kemiskinan secara signifikan. Pemerintah mengakui bahwa selama ini tata kelola daerah masih buruk karena besarnya kepentingan politik.
Menurut Mendagri Gamawan Fauzi sering terjadinya bongkar pasang pejabat-pejabat teknis di daerah oleh kepala daerah sebagai salah satu dampak pemilihan umum kepala daerah (pemilukada) yang penuh kepentingan politik. Akibatnya, pejabat teknis umumnya tidak profesional. Dampaknya, secara umum Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di banyak daerah mengalami kemunduran, terlihat dari tingkat kematian bayi di beberapa daerah terus mengalami kenaikan, masalah air minum dan sanitasi belum teratasi dengan baik. (Kontan.co.id, 26/4/2014)
Salah satu penyebab belum optimalnya kebijakan otonomi daerah adalah banyak kepala daerah yang belum bisa memahami mekanisme pelaksanaan otonomi daerah. Selain itu, terjadi banyak tindak koruptif. Salah satunya berkaitan dengan perijinan pertambangan. Pemda memiliki “kekuasaan” baru dalam menentukan wilayah pertambangan yang selama ini menjadi wewenang pemerintah pusat. Demi terbitnya izin, diwajibkan membayar biaya pengurusan hingga setoran untuk setiap ton bijih mineral yang akan diekspor.
Otda dan Dampaknya
Dalam sejarah dunia, keputusan untuk memberlakukan kebijakan desentralisasi, di mana Otda adalah salah satu bentuk penjelmaannya, sering merupakan reaksi atas tuntutan dari bawah.Secara umum, jawaban positif atas tuntutan dari bawah itu jarang yang sukarela, sering lambat dan tak jarang penuh hambatan. Ada memang desentralisasi yang diprakarsai dari atas berbarengan dengan perubahan politik dan runtuhnya rezim lama. Namun, lebih sering negara melakukan desentralisasi pada situasi post conflict sebagai cara untuk mengamankan proses rekonsiliasi dan perdamaian.
Desentralisasi mempunyai dimensi politik, dengan demokratisasi dan penguatan civil society sebagai kata kunci. Selain itu, memberi perhatian terhadap dimensi geografis dan administratif (deconcentration, devolution, dan delegation) serta keterkaitan dengan pasar (privatisasi). Konsep desentralisasi dan otonomi daerah (decentralization & local governance) diinterpretasikan dan diimplementasikan secara berbeda-beda, bahkan sering oleh sebuah instansi yang sama (Richard Flaman,1999). Sebenarnya, desentralisasi bukanlah sebuah tujuan an sich, melainkan sebuah instrumen politik.
Ia merupakan sebuah persyaratan mendasar bagi berprestasinya birokrasi dalam sebuah negara hukum yang demokratis. Desentralisasi bukan sekadar konsep birokrasi alternatif, melainkan sebuah proses perubahan yang bersifat sangat politis dan sering merupakan bagian dari reformasi mendasar menuju demokratisasi. Realisasinya jauh lebih sulit dari sekadar masalah administratif. Desentralisasi mencakup tugas lintas sektoral dan berimplikasi pada perubahan mendasar serta masif dalam semua tataran dan sektor masyarakat.
Semakin besar perubahan yang dipicu, resistensi yang bakal dihadapinya cenderung semakin besar pula. Sayangnya, kenyataan lapangan dalam penerapan desentralisasi di negara-negara berkembang selama ini, termasuk di Indonesia, belum menunjukkan keterkaitan kausal antara desentralisasi dan keberhasilan pembangunan, misalnya dalam hal percepatan pertumbuhan, sustainable human development, dan pengurangan kemiskinan. Penyebabnya, selain luasnya spektrum interpretasi tentang makna desentralisasi, juga akibat relatif singkatnya pengalaman uji cobanya serta tiadanya indikator dan kurang akuratnya data lapangan. Secara metodologi, juga sangat sulit untuk melakukan identifikasi dan isolasi berbagai faktor yang memengaruhi keberhasilan kebijakan desentralisasi. Selain itu, pada tataran proyek, kurang tajamnya rumusan tujuan dan formulasi hasil yang diinginkan serta lemahnya perencanaan operasional telah mempersulit evaluasi pencapaian tujuan.
Keputusan melaksanakan kebijakan desentralisasi dapat menumbuhkan harapan yang tidak realistis bahwa kebutuhan daerah sepenuhnya atau setidaknya jauh lebih baik bisa terpenuhkan. Begitu pula dengan penyelesaian berbagai masalah daerah. Selain itu, muncul pula harapan tentang dampak positifnya terhadap berbagai hal berikut.
Mulai dari proses demokratisasi, pembangunan berkelanjutan, impuls positif bagi ekonomi dan negara, pengentasan kemiskinan, pengurangan arus urbanisasi dan mobilisasi, identifikasi sosial-budaya serta pelestarian lingkungan hingga birokrasi yang efisien dan aspiratif. Namun kurang disadari bahwa dampak positif yang diharapkan itu hanya mungkin terjadi dalam proses jangka panjang. Padahal, tujuan yang dicanangkan jarang yang dirumuskan secara operasional.
Biasanya, hal tersebut lebih berbentuk harapan pencapaian yang sifatnya kabur (diffuse), atau sekedar imbauan dan menggunakan berbagai elemen yang umum sehingga mempersulit management of expectation. Elemen pendukung utama seperti partisipasi masyarakat sipil dan local ownership dalam proses pembangunan sering disandarkan pada harapan yang terlalu optimistis meski terkadang visioner, tetapi cenderung bersifat harmonis dan melupakan (kemungkinan) terjadinya konflik serta friksi. Cara pandang tersebut jelas jauh dari kenyataan lapangan.
Tak aneh, dalam literatur ilmiah terdapat kesepakatan luas bahwa dampak desentralisasi terhadap proses reformasi di negara berkembang selama ini umumnya mengecewakan atau paling tidak jauh dari yang diharapkan. Sangat jarang, terdapat perencanaan yang matang berikut strategi pencapaiannya. Umumnya, rencana yang ada bermuatan harapan yang tinggi meski terlalu umum dengan tujuan yang kabur dalam tataran konsepsional sehingga bermasalah dalam implementasinya.
Syarat Keberhasilan
Selain kemauan politik serta dedikasi dari para pengambil keputusan untuk reformasi, keberhasilan desentralisasi mempersyaratkan negara yang kuat dan pelibatan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan, misalnya terkait penggunaan dana yang berkaitan langsung dengan kepentingan mereka.
Proses pendanaan yang melibatkan eksekutif dan legislatif sama sekali belum melibatkan masyarakat. Apalagi mereka yang miskin. Lebih dari itu, jumlah dan alokasi anggaran bukanlah satu-satunya kunci percepatan pengurangan kemiskinan seperti yang dijabarkan dalam Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs). Tak kalah penting adalah keterhubungan antara rencana program dan kegiatan serta alokasi anggaran yang diarahkan ke lokasi-lokasi di mana masyarakat miskin berada.
Selain itu, perlu transparansi dan akuntabilitas penganggaran berupa indikator untuk mengukur keberhasilan yang jelas dan dapat diwujudkan dengan mudah di tingkat lapangan serta pemantauan dan evaluasi terkait peningkatan kesejahteraan dan penurunan kemiskinan. Perencanaan dan penganggaran yang berpihak pada masyarakat miskin didefinisikan sebagai proses yang menjamin agar rencana dan anggaran yang disusun meletakkan prioritas utama pada pengurangan kemiskinan. Perlu disadari, masalah kemiskinan sangatlah kompleks.
Guna mencari akar kemiskinan, diperlukan pendekatan khusus seperti participatory poverty assessment (PPA). Data yang diperoleh melalui kegiatan tersebut maupun data sekunder dari BPS, misalnya, dapat dipakai untuk mengukur dan memetakan kemiskinan sekaligus sebagai bahan monitoring dan evaluasi perkembangan kemiskinan di suatu daerah.Sosialisasi data, perencanaan, penganggaran dan pemantauan serta evaluasi terus menerus adalah sebuah keharusan. Tanpa itu, bisa dipastikan hal tersebut sekadar menjadi proyek singkat yang tak jarang mubazir.
* IVAN HADAR, Direktur Eksekutif IDE (Institut Pendidikan Demokrasi)
Sumber: http://poskomalut.com/2014/05/05/otda-dan-upaya-pemberantasan-kemiskinan/
- Log in to post comments
- 397 reads