BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Mendidik Keberpihakan Kepada Orang Miskin

Oleh IVAN HADAR
      
 Direktur Eksukutif IDE  (Institut Pendidikan Demorasi); Koordinator Target MDG (2007-2010); Ketua Dewan Pengurus DIAHI – Maluku Utara.

 
Pada 2014 sebagai tahun pemilihan umum yang banyak diyakini sebagai “tahun penentuan” bagi perjalanan bangsa ini, adalah menggelitik utuk mengajukan pertanyan berikut. Termasuk bagi Maluku Utara yang akan memiliki gubernur baru. Apakah keberpihakan para pemimpin dan kita semua kepada mereka yang miskin dan lemah akan tergambarkan dalam perilaku kita? Masih banyak yang pesimis mengamati kondisi saat ini. Betapa tidak. Mereka yang kaya, dari waktu ke waktu menjadi semakin kaya. Sebaliknya,mereka yang miskin atau hampir miskin menghadapi permasalahan yang membuat mereka semakin terpuruk. Dari segi makro ekonomi, perkembangan dunia pun menunjukkan kondisi yang kurang lebih serupa.Selama 35 tahun terakhir, peningkatan produksi global melejit sepuluh kali lipat, dari USD4.000 miliar menjadi lebih dari USD 40.000 miliar.Namun, pada saat yang sama, jumlah orang miskin meningkat hingga lebih dari 30 persen.Adapun porsi 47 negara termiskin dalam perdagangan dunia menyusut dari empat persen menjadi kurang dari satu persen. Padahal, nilai perdagangan dunia meningkat dari USD479 miliar (1974) menjadi lebih dari USD 26.100 miliar pada tahun 2011.Ternyata, kesenjangan antara yang kaya dan miskin juga terjadi di dalam negara-negara industri kaya.Keberpihakan menjadi barang langka, sehingga secara retorik sosiolog Jerman Ulrich Beck bertanya, “Seberapa jauh demokrasi mampu bertahan digerogoti kemiskinan?”

Sebenarnya, sejak beberapa tahun terakhir upaya mengajak manusia sejak dini agar memiliki rasa keberpihakan kepada yang lemah (sense of affirmation) dalam era globalisasi telah menjadi wacana ilmiah di banyak negara. Hal ini dilatarbelakangi upaya untuk tidak melihat kenyataan makin memburuknya kondisi global sebagai hal tak terhindarkan.Menjadi tugas pendidikanlah untuk memperbaikinya. Empat ide acuan (Leitideen) menjadi dasar pendidikan yang berpihak kepada mereka yang selama ini terpinggirkan, yaitu perluasan wawasan kependidikan, refleksi kritis identitas, perubahan pola hidup, dan hubungan lokal dan global yang berkeadilan. Ide acuan tersebut ditunjang oleh seperangkat kategori didaktik dan metode kependidikan.
Paling utama, terkait gambaran manusia ideal (Menschenbild), yaitu dia yang mandiri dan bertanggung jawab terhadap diri sendiri, masyarakat dan lingkungan hidup serta berkemampuan menilai dengan jernih dan etis, berdaya dan terbuka bagi perubahan serta belajar sepanjang hidup.

Prinsip-prinsip pendidikan yang diajukan adalah menanamkan perilaku dan cara berpikir integral, holistis, refleksi berorientasi pengalaman dan sejarah, orientasi pada aksi, harmoni social dan lingkungan, serta cinta damai (nonviolence).
Persyaratan untuk mencapai hal itu adalah keterpaduan berbagai kelembagaan dan perencanaan pendidikan, tempat dan suasana belajar, struktur waktu dan metode ajar-mengajar. Dengan demikian, diharapkan tercipta kompetensi dasar manusia yang memiliki sensitivitas, empati, berperspektif perubahan, bertanggung jawab, reflektif, kooperatif, berkemampuan mengatasi konflik serta berpikir sistematis.
Semua hal di atas mengarah pada sebuah paradigma “satu dunia” sebagai kerangka dasar. Faktor-faktor sosial yang menunjangnya adalah kesadaran tentang saling ketergantungan secara global,perlunya information society,pengakuan tentang eksistensi berbagai subkultur serta kemitraan gender, orientasi masa depan, pembangunan berkelanjutan,pengakuan identitas budaya “kami” dan “mereka”, serta perlunya masyarakat berkeadilan.Dengan demikian, orientasi pendidikan adalah pergelutan para pelaku dengan kompleksitas dan ambivalensi permasalahan, serta keniscayaannya untuk mengambil sikap memihak.

Dalam kenyataan, kompleksitas bukanlah jumlah dari berbagai hal faktual, tetapi sesuatu yang tak jarang ambivalen.Untuk mengerti hal itu, dibutuhkan cara berpikir inklusif agar tidak terjebak dalam sikap everything goes dan sedapat mungkin mengenali serta mengambil posisi memihak kepada mereka yang kalah, papa, dan terpinggirkan dalam proses globalisasi.Meski kekuasaan (Macht) dan kekerasan (Gewalt) semakin sulit diidentifikasi karena menjadi abstrak dan tak jarang sulit atau bahkan tak mungkin dipersonifikasi, perlu ada kejelasan penyebab semakin meningkatnya ketidakadilan di seluruh dunia.
Pertanyaannya, mampukah pendidikan berperan memecahkan kebisuan mereka yang diterpa ketidakadilan? Boleh jadi, hambatan utamanya adalah masih berlakunya ungkapan lama bahwa “pemikiran yang dominan adalah pemikiran penguasa”(Karl Marx).

Meskipun demikian,mendidik keberpihakan tidak perlu bermotokan “kaum yang kalah bersatulah!”,tetapi murni atas pertimbangan kebersamaan sebagai warga daerah, bangsa dan bumi yang sedang terancam bencana sosial dan alam yang mahadahsyat. Hal yang juga diajarkan semua agama.Dibutuhkan sebuah perspektif baru bagi semua dalam perjalanan menuju keadaan yang lebih baik dan adil sehingga memberikan kesempatan eksistensi yang sama bagi semua. Namun, ketika keberpihakan dalam menyikapi kompleksitas permasalahan menjadi kategori sentral dalam pendidikan, sedikitnya mengemuka dua pertanyaan mendasar.
Pertama, seberapa banyak kompleksitas bisa dicerna manusia yang berbedabeda, dan seberapa besar kompleksitas dibutuhkan seorang manusia agar tidak menjadi yang kalah. Kedua, bagaimana mengubah pelajaran di sekolah ”dari sekedar menawarkan solusi instan” menjadi ruang bagi eksperimentasi alternatif yang akrab dengan kondisi sosial-ekologi masyarakat.

Kenyataannya, kita belum berpengalaman dengan metode pelajaran yang non-guru-sentris, yang memberi “ruang fantasi” bagi murid yang selalu ingin tahu, “nakal”, lucu, kreatif, serta demokratis dalam menyikapi kompleksitas permasalahan.
Lebih dari itu, usai runtuhnya “Tembok Berlin” dan dalam era percepatan globalisasi liberal saat ini, dunia semakin diwarnai status quo atau kevakuman keberpihakan intelektual maupun politis. Namun sebenarnya, di sinilah letak kesempatan pendidikan untuk berperan mengisinya. Maukah kita memanfaatkannya?

Tulisan ini sudah dipublikasikan di Malut Pos, 12 Februari 2014.

 Sumber: http://malutpost.co.id/2014/02/12/mendidik-keberpihakan-kepada-orang-miskin/