Media dan Iklan Politik
Oleh: Fajar Kurnianto 1 Komentar FacebookTwitter
JADWAL kampanye pemilu belum masuk, tetapi iklan-iklan partai-partai politik sudah bermunculan di pelbagai media, terutama di televisi. Para pengiklan politik itu berdalih tidak ada ketentuan yang dilanggar karena tidak ada unsur-unsur kampanye di dalamnya.
Media memang memiliki kemampuan untuk memengaruhi opini publik dan perilaku masyarakat (Klapper, 1960). Media dianggap memiliki peran yang sangat penting dalam mentransmisi (relaying) dan menstimulasi permasalahan politik (Negrine, 1996).
Hal ini menjadi sangat penting dalam kampanye politik (Deacon & Monk, 2002). Cakupan yang luas dalam masyarakat membuat media massa dianggap sebagai salah satu cara yang sangat efektif dalam upaya mengomunikasikan program kerja.
Televisi dan internet
Dalam konteks ini, pemilik media yang berafiliasi ke politik tentu saja menjadi pihak yang paling diuntungkan. Ia bisa saja mengiklankan partai politiknya lebih intensif daripada partai-partai lainnya dengan biaya yang sangat kecil, malah mungkin tidak berbiaya sama sekali. Berbeda dengan partai-partai lain yang harus merogoh kocek cukup besar untuk beriklan.
Hal lainnya, ini menyangkut independensi media itu sendiri. Media semestinya independen dari unsur atau pengaruh politik atau tekanan pihak mana pun sehingga publik benar-benar mendapatkan manfaat dari keberadaan media.
Namun, memang, media dan politik saat ini ibarat ”sepasang pengantin”. Politik perlu media sebagai salah satu bagian penting pemasaran politiknya. Di sisi lain, media juga dapat mengambil banyak sekali keuntungan secara bisnis dari politik, terutama di masa-masa perhelatan akbar demokrasi tahun ini.
Melalui media, partai-partai politik mencoba memengaruhi opini publik dan perilaku masyarakat. Publik disuguhi gambaran partai-partai politik yang peduli bangsa dan nasib mereka dengan narasi iklan yang memikat dan mencuri perhatian.
Media, terutama televisi, menjadi sarana paling efektif dibandingkan—misalnya—dengan media cetak seperti koran atau majalah karena cakupannya yang lebih luas. Dibandingkan dengan para pengakses koran atau majalah, para pengakses televisi jauh lebih banyak.
Dari pusat perkotaan hingga pelosok pedesaan hampir dapat ditemukan pesawat televisi. Lain halnya dengan koran atau majalah. Masih rendahnya budaya literasi masyarakat kita juga ikut menciptakan kondisi seperti ini. Masyarakat cenderung lebih pragmatis dan menyukai gambaran audio visual dibandingkan dengan bacaan teks.
Bahkan, masyarakat perkotaan sendiri, seperti Jakarta, meski sudah dijejali media-media cetak yang dengan sangat mudah diakses, durasi menonton televisi jauh lebih lama daripada membaca koran atau majalah. Tidak mengherankan jika muncul banyak kekhawatiran soal masa depan media cetak.
Apalagi, di samping televisi, ada media internet yang—terutama—bagi masyarakat perkotaan sudah begitu mudah diakses di genggaman tangannya, di gadget atau telepon seluler mereka. Portal-portal berita juga menyuguhkan berita lebih cepat daripada media cetak yang harus menunggu esok hari untuk meng-update berita.
Namun, jika dibandingkan dengan televisi, jangkauan internet masih belum sejauh televisi meski sebetulnya pengaruh internet jauh lebih besar daripada pengaruh televisi.
Schudson (2004), misalnya, menunjukkan kaitan erat antara demokrasi dan internet. Internet sebagai media komunikasi dan pertukaran informasi berpeluang merevolusi sistem, struktur, dan proses demokrasi yang selama ini kita kenal. Winston (2004) menyatakan, munculnya istilah digital democracy atau virtual democracy akhir-akhir ini menggambarkan bagaimana kehidupan demokrasi berlangsung di dunia internet. Isu tentang emansipasi, keterbukaan, dan kebebasan dapat dengan mudah ditransfer melalui internet.
Etika politik
Di Indonesia, jangkauan internet masih kalah dibandingkan dengan jangkauan televisi. Maka, mudah dimengerti jika kemudian televisi menjadi pilihan utama strategi pemasaran partai-partai politik. Biaya iklan politik di televisi selalu lebih banyak daripada di media-media lain.
Belanja iklan di televisi selalu menjadi yang terbesar. Apalagi jika mengingat saat ini sudah tidak lagi efektif kampanye melalui pengerahan massa. Kampanye pengerahan massa hanya efektif ketika belum banyak media seperti saat ini. Dengan iklan di televisi, dalam durasi pendek, pesan partai politik tersampaikan dengan baik secara audio visual dalam sekejap dan, bersamaan, diketahui publik.
Pada akhirnya, politik berupaya sedekat dan seerat mungkin menjalin hubungan dengan media televisi. Wiranto dari Partai Hanura, misalnya, menggandeng Hary Tanoesoedibjo, pemilik MNC Grup yang membawahi televisi MNCTV, RCTI, dan Global TV, serta media-media cetak dan portal di dalamnya. Demikian pula Partai Nasdem. Bahkan, pendirinya, Surya Paloh, adalah pemilik MetroTV serta sejumlah media cetak dan portal di bawahnya. Partai Golkar juga begitu mengingat Aburizal Bakrie adalah pemilik Viva Grup yang di dalamnya ada ANTV dan TVOne serta portal-portal beritanya.
Para kandidat yang diusung partai dan kebetulan adalah pemilik media akan lebih intens beriklan, tidak hanya tokoh, tetapi juga partai politiknya. Iklan politik hakikatnya adalah kampanye karena isinya mendorong dan membujuk khalayak ramai agar tertarik pada barang dan jasa yang ditawarkan.
Dalam konteks ini, materi iklannya adalah tokoh dan partai politik beserta program-programnya. Meski tidak secara tersurat mengajak, secara tersirat iklan politik seperti ini adalah kampanye.
Fajar Kurnianto, Peneliti Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina Jakarta
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000004461201
- Log in to post comments
- 373 reads