BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Maudu Lompoa, Tradisi Merawat Alam dari Cikoang Takalar

Maudu Lompoa, Tradisi Merawat Alam dari Cikoang Takalar
Oleh Wahyu Chandra, Makassar,  February 7, 2014 2:04 pm

Belasan orang berlari-lari kecil sambil memandu sebuah perahu kayu, menerobos hujan deras, melewati jalan becek. Tak satupun dari mereka mengenakan alas kaki. Mereka bersorak riang diiringi tabuh gendang dua orang remaja yang duduk di atas perahu yang dipandu itu. Sesekali rombongan berhenti, ketika tiang perahu tersangkut kabel listrik yang membentang membelah jalan di atas mereka.

Pagi itu, Kamis (30/1/14), bertepatan dengan 29 Rabiul Awal penanggalan Hjiriah, Warga Desa Cikoang, Kecamatan Mangarabombang, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan, diliputi rasa gembira dan syukur. Tak setiap hari mereka bisa meluapkan kegembiraan di jalan. Ada yang menari-nari di jalanan sepanjang Sungai Cikoang. Tak hanya anak-anak, juga orang dewasa. Menari, saling menyiram air laut dan lumpur.

Hari itu, mereka merayakan ritual tahunan disebut Maudu Lompoa bisa diartikan Maulid Akbar. Sebuah perayaan hari kelahiran junjungan Nabi Muhammad SAW, yang dirayakan di setiap 12 Rabiul Awal H. Disebut Maudu Lompoa karena Maulid ini terbesar sebagai puncak dari penyelenggaraan di daerah itu. Maulid akbar biasa pada 29 Rabiul Awal Hijriah, jatuh pada 30 Januari 2014.

“Setelah Maulid ini tak boleh ada perayaan Maulid. Ini Maulid terbesar warga sini, maka sangat ramai,” kata Muhammad Riza, peneliti dari Universitas Hasanuddin Makassar, yang meneliti Maudu Lompoa, ketika ditemui Mongabay di lokasi.

Perahu yang digotong itu bukanlah perahu biasa. Mereka menyebut julung-julung. Sebuah replica perahu kayu khas Sulawesi, yang biasa digunakan nelayan setempat menangkap ikan. Berbeda dengan perahu biasa, perahu ini lebih ‘berwarna’. Perahu ini telah didandani sedemikian rupa dengan beragam macam kelengkapan sehari-hari. Mulai dari baju, celana, kain, hingga lemari plastik, dan seprei. Bahkan sabun, odol dan panci bergelantungan di sepanjang sisi perahu.

Layar yang dibuat berwarna-warni dari berbagai macam kain ini konon perlambang kedatangan ajaran kebenaran Nabi yang dibawa Sayyid Jalaluddin, sang pelopor. Motif kain yang dipilih bisa bermacam-macam sesuai selera pemilik perahu. Sebuah perahu di perayaan ini bahkan ada dipasangi kain berbendera Amerika.

Julung-julung atau perahu arakan ini bertiang empat agak tinggi hingga terlihat mirip sebuah panggung. Di bagian belakang perahu ditempeli uang kertas Rp5.000 atau Rp10.000. Julung-julung ini berisi hidangan khas berupa nasi pamatara atau setengah matang. Dilengkapi lauk ayam kampung dan telur warna-warni penuh hiasan bunga kertas dan male atau guntingan kertas minyak menyerupai tubuh manusia.

Uniknya, perahu-perahu ini, sepanjang perayaan maulid, hanya ditambatkan di sepanjang pesisir Sungai Cikoang, yang hanya berjarak 100-an meter dari pesisir pantai. Lokasi itu menjadi tempat berlabuh perahu-perahu nelayan setelah berlayar di lautan lepas. Prosesi arak-arakan julung-julung ini disebut angngantara’ kanre maudu atau mengantar persiapan maulid ke lokasi Maudu Lompoa.

Setelah tiba di lokasi, sebuah ruang terbuka di depan balla lompoa (aula besar) masyarakat adat Karaeng Laikang, rombongan menyebar mengililingi perahu. Tabuh gendang tetap terdengar bertalu-talu. Tidak hanya saling menyiram air dan melempar lumpur, sejumlah pemuda membentuk lingkaran kecil. Mereka memperagakan mappenca’ atau atraksi pencak silat. Dua orang bergantian bertarung adu silat, dan saling berpelukan setelah pertarungan tuntas.

Pencak silat ini membuat suasana makin gaduh. Teriakan panitia agar warga lebih tenang dan menghentikan aktivitas mereka, karena ada perayaan maulid formal dari pemda setempat, tak dihiraukan sama sekali. Sambutan Isan Noor, Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI), tak dihiraukan sama sekali oleh warga.

Tak jauh dari tempat itu, di sebuah aula yang lain, berlangsung proses lain perayaan maulid ini. Yaitu, proses inti dari perayaan ini diebut zikkiri’ bisa diartikan berdzikir, meski berisi pembacaan syair puja-puji kepada Nabi Muhammad SAW. Juga pembacaan Sura’ Rate’, yang menceritakan kelahiran Nabi hingga masa Islam di Cikoang yang dibawa Sayyid Jalaluddin.

Puluhan pemuka agama keturunan Sayyid Cikoang bergantian membacakan zikkiri’ dan Sura’ Rate’ ini, dikelilingi ratusan warga setempat dengan hikmat.

Menurut Riza, perayaan Maulid telah menjadi kewajiban warga setempat setiap tahun. Selain sebagai tanda syukur atas kelahiran Nabi junjungan mereka, juga ungkapan tanda syukur atas rezeki yang mereka dapatkan dari setahun lalu.

“Ada keyakinan perayaan Maulid adalah sebuah tradisi yang harus mereka lestarikan. Tak perduli dengan besar kecil perayaan itu, yang jelas harus dilakukan. Syarat utama setiap orang menyedekahkan empat liter beras dan satu ekor ayam.”

Empat liter beras ini memiliki makna, setiap manusia terdiri atas empat segi atau kejadian manusia terdiri dari empat asal, yaitu tanah, air, angin dan api.

Berbagai laku dan kelengkapan dalam ritual ini memiliki makna mendalam, yang menggambarkan proses awal yang melatarbelakangi Maulid di masa lalu.

Perayaan Maudu Lompoa di Cikoang sudah sejak ratusan tahun silam. Tepatnya sejak 1621, ketika ulama besar dari Aceh bernama Sayyid Jalaluddin datang ke daerah ini untuk penyebaran agama Islam.

Sayyid keturunan Arab Hadramaut Arab Selatan yang dianggap sebagai keturunan dari Nabi Muhammad SAW ke-27. Di Cikoang, meski sempat pendapat penentangan dari kerajaan setempat, karena dinilai orang asing yang tidak jelas. Setelah mampu menunjukkan kesaktian, dia diterima dengan baik. Dia dinikahkan dengan putri dari bangsawan Kerajaan Gowa bernama I Acara Daeng Tamami, kebetulan berdomisili di Cikoang. Sayyid menjadi cikal bakal keturunannya di Cikoang.

Di mulai zaman Sayyid inilah Maudu Lompa rutin dan terlembagakan dalam ritual kerajaan setempat. Apalagi ketika pengaruh Sayyid, selalu diartikan sebagai “keturunan Nabi” di Cikoang ini makin kuat dari segi pemerintahan dan keagamaan.

Dari zaman Sayyid ini hingga sekarang perayaan Maulid terus dilakukan. Inilah yang membuat Desa dikenal sebagai ‘Kampung Maulid’.

Zainab, warga Cikoang yang kini bermukim di Kabupaten Jeneponto, Sulsel, merasa tak bisa lepas dari ritual Maulid ini. Setiap tahun, dia selalu kembali ke kampung halaman hanya untuk merayakan Maulid ini. “Terasa ada yang kurang jika tidak Maulid di sini. Pernah saya coba beberapa tahun tidak datang, terasa ada tak lengkap. Kini kami sekeluarga selalu kembali ke sini.”

Bagi Riza, perayaan Maulid ini bukanlah sekedar ritual tahunan. Makna sosial dari perayaan ini adalah keterikatan sosial. Baik antara masyarakat sebagai sebuah komunitas dari garis keturunan sama, yaitu Sayyid dan keterikatan dengan lingkungan sekitar, tempat mereka hidup dan berkembang.

Dia menilai, ada makna konservasi lingkungan di balik perayaan ini. Sebuah tradisi merawat alam, dengan mensyukuri apa yang diberikan Tuhan baik dari laut maupun daratan.

Dengan Maulid di pesisir sungai dan pantai ini,  bisa dimaknai luas keterkaitan warga sekitar terhadap alam, lautan tempat mencari nafkah. “Bumi tempat menyebar mencari kehidupan. Itu semacam peneguhan, alam sekitar sebuah entitas yang harus dijaga jika berharap, laut sebagai sumber penghidupan tetap memberi nafkah kehidupan.”

Apalagi, dalam ritual ini, kondisi muara Sungai Cikoang, sebagai tempat ritual dibersihan terlebih dahulu. Di sepanjang sungai, tak hanya pusat Maulid, juga lomba balap jolloro (perahu) pancing dan tangkap itik yang sengaja dilepas di sungai. Warga pun akan berhamburan turun ke sungai.

Peneguhan ‘laut’ sebagai simbol sumber penghidupan setidaknya terlihat dari kenyataan tak hanya nelayan andil dalam perayaan ini. Sebagian, pedagang, yang berharap dengan mengikuti perayaan itu rezeki akan bertambah.

Sebelum Maulid, berbagai persiapan dilakukan, seperti penyediaan ayam, beras, minyak kelapa, telur, perahu, dan berbagai perlengkapan lain. Proses ini dimulai sebulan sebelum 12 Rabiul Awal, atau sekitar 10 Shafar Hijriah.

Beberapa persiapan dengan mengurung ayam yang akan disembelih agar sehat. Ayam-ayam inilah disembelih oleh anrongguru atau pemuka agama dari keluarga Sayyid.

Beras yang digunakan harus ditumbuk sendiri, bukan dari pabrik. Lesung untuk menumbuk padi dipagari dan tak boleh rapat ke tanah. Tak diperkenankan bagi penumbuk padi menginjak bagian atas lesung.

Proses ini secara hati-hati dan dipastikan tak satu pun padi yang ditumbuk tercecer ke tanah. Ampas padi harus dikumpulkan pada tempat yang tidak mudah kena kotoran dan terjaga hingga selesai zikkiri’ atau pembacaan Sura’ Rate’.

Pada bagian akhir Maulid dilakukan pambageang kanre maudu’ atau pembagian makanan Maulid. Semua makanan dan aksesoris perahu dibagikan kepada setiap orang di tempat itu, dimulai dari para tokoh agama yang membacakan zikkiri dan Sura’ Rate’. Proses ini berlangsung meriah, orang-orang berebutan mengambil telur yang dinilai sebagai berkah.

Setelah semua proses itu, perahu-perahu ini mengarungi sungai dan lautan, menuju rumah mereka masing-masing dengan arak-arakan.

Sumber: http://www.mongabay.co.id/2014/02/07/maudu-lompa-tradisi-merawat-alam-dari-cikoang-takalar/