BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Kisah Perjuangan Guru Sergius Asaribab Mendidik Generasi Asmat

“Saya terbuka mengelola SD Negeri Mbait. Pada saat menerima dana BOS, PMAS atau dana dari kampung, saya sampaikan kepada semua guru. Saya perlihatkan uang di hadapan semua guru dan serahkan kepada bendahara sekolah untuk digunakan sesuai rencana kerja anggaran sekolah yang telah ditetapkan bersama dalam rapat,” ungkap Sergius Asaribab, Kepala SD Negeri Mbait.

Setiap pasang mata yang melewati kampung Mbait, Agats tepatnya di Cemenes, pasti mengetahui letak SD Negeri Mbait. Sekolah ini berdiri tahun 2006. Kehadiran SD Negeri Mbait untuk menjawab kebutuhan anak-anak Asmat, yang tinggal di pinggiran kota Agats supaya bisa mengakses pendidikan dasar berkualitas. Pada tahun 2017, SD Negeri Mbait mengalami krisis serius. Kepemimpinan di SD Negeri Mbait yang lemah telah merusak tata kelola sekolah tersebut. Penggunaan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), dana Pemberian Makan Anak Sekolah (PMAS) dan dana desa tidak pernah terbuka. Kondisi gedung sekolah tidak terawat. Tidak ada kantin, Perpustakaan, tempat parkir dan tempat sampah. Lebih ironis, sekolah dengan puluhan guru dan ratusan siswa ini tidak memiliki WC guru dan siswa.

 Masih di tahun 2017, tatkala memasuki halaman SD Negeri Mbait, setiap pasang mata disuguhi sampah plastik dan kertas berserakan di koridor sekolah dan di halaman tanah berlumpur itu.  Ruang guru tidak tertata rapi. Para guru duduk bersap, saling membelakangi satu sama lain. Data guru dan siswa pun tidak diperbarui setiap semester. Padahal, sekolah ini terletak di pinggiran kota Agats, yang menjadi pusat pemerintahan kabupaten Asmat, tetapi kondisinya sangat memprihatinkan.

 Perbaikan di SD Negeri Mbait

Hari itu, 5 September 2017, empat SD dampingan LANDASAN di Agats dilaunching sebagai SD Penggerak oleh Bupati Kabupaten Asmat, Elisa Kambu, S.Sos. Pada saat launching, Koordinator LANDASAN Asmat mendapat kesempatan mempresentasikan perjalanan pendampingan LANDASAN. Pada kesempatan itu, ditampilkan pula kondisi SD Negeri Mbait yang sangat memprihatinkan itu. Bupati Asmat, yang melihat kondisi sekolah tersebut, langsung memerintahkan pergantian kepala SD Negeri Mbait.

 “Saat ini juga, saya pecat itu kepala sekolah Mbait. Besok, saya bawa SK kepala sekolah baru ke Mbait,” tegasnya. Meskipun demikian, tidak terjadi pergantian kepala sekolah saat itu lantaran guru yang ditunjuk oleh Bupati untuk menggantikan kepala sekolah yang lama tidak bersedia. Para guru SD Negeri Mbait tetap melaksanakan proses belajar mengajar apa adanya. Mereka berharap akan datang kepala sekolah yang bisa menjadi panutan sehingga proses perbaikan bisa berjalan supaya anak-anak dapat belajar dengan nyaman.

 Harapan para guru itu terkabul. Pada 14 November 2017, pada saat pelantikan kepala SD se-Kabupaten Asmat, Sergius Asaribab dilantik menjadi kepala SD Negeri Mbait. Sejak saat itu, SD Negeri Mbait yang terlantar mulai bangkit dari keterpurukannya. Sergius mengawali rangkaian kepemimpinannya dengan mengumpulkan para guru untuk rapat bersama dan membicarakan masa depan anak-anak Asmat yang bersekolah di SD Negeri Mbait.

 “Belajar dari pengalaman saya di pedalaman, meskipun dengan guru honor, saya tetap ajak supaya kami rapat bersama. Kami membicarakan berbagai kebutuhan dalam proses belajar mengajar di sekolah. Karena itu, sejak menjadi kepala sekolah di SD Negeri Mbait ini, saya mengawalinya dengan rapat bersama para guru. Kami membicarakan pengelolaan sekolah ini, termasuk penggunaan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), dana Pemberian Makan Anak Sekolah (PMAS) dan dana desa,” tutur Guru yang lahir di kampung Kornasoren, pulau Numfor, 58 tahun silam ini.  

 Sergius menuturkan bahwa langkah pertama pada saat mencairkan dana BOS adalah mengumpulkan para guru, kemudian di hadapan para guru, ia menyerahkan uang kepada bendahara sekolah untuk dipergunakan sesuai dengan kebutuhan yang tertera di Rencana Kerja Anggaran Sekolah (RKAS).

 “Pertama kali menjadi kepala sekolah di sini, kami cairkan dana BOS tahun 2017, tahap kedua sebesar 50 juta. Saya serahkan uang itu kepada bendahara di hadapan semua guru. Saya berpesan kepada bendahara supaya menggunakan uang sesuai peruntukkannya dan sebelum mengeluarkan uang harus menyampaikan terlebih dahulu ke saya,” tutur Guru yang mulai mengajar di SD Inpres Bagair, Asmat sejak tahun 1996-2013 ini.  

 Saat ini SD Negeri Mbait memiliki 415 siswa. Sekolah ini juga mendapatkan dana (PMAS) dari pemerintah daerah Kabupaten Asmat. “Dana PMAS dikelola oleh sekolah. Para guru secara bergiliran menyiapkan makanan untuk anak-anak. Seringkali, ada keluhan bahwa siswa banyak dan dana terbatas, tetapi saya tegaskan supaya semua anak mendapatkan makanan,” tuturnya.

 Geliat perbaikan tata kelola dan sarana prasanara SD Negeri Mbait yang dilakukan oleh Guru Sergius untuk mencapai impiannya menjadikan SD Negeri Mbait menjadi tempat belajar yang berkualitas bagi anak-anak Asmat. Ia juga berharap melalui berbagai perbaikan itu dapat mengembalikan citra SD Negeri Mbait yang belakangan mendapatkan berbagai penilaian buruk yakni sebagai sekolah terburuk di Asmat.

 “Saya punya impian terbesar adalah membuat sekolah ini berkembang menjadi sekolah terbaik di Asmat supaya pernyataan Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Asmat bahwa SD Negeri Mbait sebagai sekolah terburuk itu tidak terjadi lagi dan ke depan sekolah ini bisa diperhitungkan di kabupaten ini sebagai sekolah berkualitas,” tutur Guru yang menyelesaikan sarjana pendidikan gurunya melalui kelas jarak jauh Universitas Cenderawasih pada tahun 2012 ini.

 Kini, halaman SD Negeri Mbait selalu bersih. Tempat sampah tersedia di depan kelas. Ada WC siswa, kantin sekolah dan taman kelas. Ruang kepala sekolah dan ruang guru telah tertata rapi. Data guru dan siswa selalu diperbarui setiap semester. Dana BOS, PMAS dan dana desa dikelola secara terbuka. Suasana proses belajar mengajar menjadi lebih hidup. Anak-anak tampak ceriah. Para guru pun bersemangat datang ke sekolah dan mendidik anak-anak di sekolah ini.

 Panggilan Menjadi Guru

Sergius merupakan anak keenam dari sepuluh bersaudara. Ia tumbuh sebagai anak yatim piatu dalam asuhan kakak perempuannya yang telah menikah karena ayah dan ibunya meninggal ketika ia masih berusia empat tahun. Semula, ia bercita-cita menjadi kapten kapal. “Waktu kecil, saya tidak memiliki cita-cita menjadi guru. Saya mau menjadi kapten kapal karena setiap hari saya lihat kapal pergi pulang di depan pulau Numfor. Saya dengar orang tua kasih tahu bahwa kalau mau bawa kapal harus sekolah,” kisah Sergius mengenang cita-cita masa di kecilnya itu.

 Cita-cita Serigus menjadi kaptel kapal kandas karena keadaan ekonomi keluarga kakak perempuan yang tidak memungkinkan sehingga ia harus mengambil sekolah guru. “Kakak perempuan saya bilang kalau saya masuk SMA dia tidak bisa biayai. Dia minta saya masuk di SPG. Waktu itu, saya pikir kalau saya melawan kakak saya dan tetap masuk SMA, saya pasti tidak bisa sekolah karena tidak ada biaya,” tambahnya.

 Sergius mengatakan dirinya menerima tawaran kakaknya untuk sekolah di SPG sebagai bentuk panggilan Tuhan. “Saya punya cita-cita menjadi kapten kapal, tetapi bisa jadi Tuhan menghendaki saya menjadi guru untuk melayani anak-anak Papua,” paparnya. 

 Ia mengisahkan bahwa sejak di bangku SPG, ia telah memupuk semangat pengabdian sebagai guru untuk melayani orang-orang Papua. “Saya merasa Tuhan memanggil saya menjadi guru. Saya melihat di kampung-kampung di Papua, ada banyak sekali anak-anak Papua mau sekolah tetapi guru terbatas. Kalau ada guru, anak-anak Papua bisa sekolah. Karena itu, saya menekuni panggilan menjadi guru,” kisahnya.

 Dalam melaksanakan tugasnya, Guru Sergius selalu berpedoman pada penghayatannya bahwa dirinya dan hidupnya harus menjadi contoh bagi orang lain. “Saya mau menjadi contoh bagi orang lain, sekalipun orang lain mengejek, tetapi sejauh itu untuk kebaikan saya akan melakukannya, sebab Tuhan sendiri bilang kalau kita bekerja dengan baik, kita akan terpilih” tegas Sergius.  Ia menambahkan bahwa keteladanan mesti dikedepankan sehingga orang lain bisa melihat dan mengikutinya. Sebab, guru sebagai pendidik harus menjadi yang terdepan dalam memberikan contoh perbuatan baik kepada anak-anak murid.

 Guru Sergius berkisah bahwa dirinya menyelesaikan SPG di Biak pada tahun 1987. Selama satu tahun ia tidak mengajar. Pada tahun 1988, dirinya menjadi guru honor di Supiori. “Kakak saya laki-laki tua antar saya dari Biak Utara ke Supiori jalan kaki. Kami berangkat jam lima subuh dan tiba jam delapan malam. Saya mengajar di Supiori selama dua tahun. Itu sekolah YPK. Gaji saya dua puluh ribu per bulan. Tapi, pelayanan masyarakat sangat bagus sehingga kami tidak pikir gaji. Kami pikir melayani masyarakat,” kenangnya.

 Selepas mengajar di Supiori, Sergius bekerja di perusahaan ikan di Biak. “Selama dua tahun saya kerja di perusahaan ikan di Biak, tetapi hati saya tidak tenang. Saya pikir saya sekolah untuk mendidik manusia, bukan menghadapi benda mati,” kisahnya.

 Pada bulan Maret 1992, Sergius mendengar bahwa Universitas Cenderawasih membuka kesempatan kuliah D-2 PGSD di Jayapura. Ia pun mendaftar di kantor Dinas Pendidikan, Kabupaten Biak dan mengikuti seleksi tersebut. Pada bulan Mei 1992, ia dinyatakan lulus bersama dengan 23 orang lainnya dari 250 orang lebih yang mengikuti seleksi. “Di daftar peserta yang lulus itu, saya berada di nomor dua belas,” kenangnya.

 “Saya pergi daftar untuk kuliah itu, saya tidak kasih tahu istri. Saya khawatir kalau saya kasih tahu pasti dia tidak kasih ijin karena kami punya anak sudah dua orang. Meskipun saya punya istri dan dua orang anak, tetapi saya punya semangat untuk sekolah tetap tinggi, makanya saya bertekad untuk kuliah,” kisahnya.

 Sergius mempersiapkan perkuliahannya seorang diri tanpa diketahui istrinya. Setelah lulus seleksi, ia mendaftar sebagai mahasiswa D-II PGSD Uncen. Biaya pendaftaran 15.000. Pendafataran itu ia lakukan di Bank EXIM Biak. “Waktu istri saya cuci pakain, dia lihat ada kwitansi pembayaran masuk kuliah di Uncen. Dia marah karena dia berpikir kalau saya pergi kuliah siapa akan mengurus anak-anak kami. Kami punya dua anak dan istri saya sedang hamil anak ketiga,” kenangnya.

 Ia tetap pada tekadnya untuk kuliah demi masa depan keluarganya. “Saya bilang ke Ibu, kalau kerja di perusahaan itu bersifat sementara. Kuliah bisa menjadi jaminan hidup keluarga ke depan. Maka, saya tetap pada pendirian untuk kuliah,” paparnya. Setelah melewati pergumulan panjang, ia berangkat ke Jayapura tepat pada saat anak ketiganya lahir. “Anak saya lahir jam tujuh pagi, saya berangkat siang. Itu bulan Juni 1992,” kisahnya.

 Di Jayapura, Sergius menekuni perkuliahannya. Selama dua tahun, ia tidak kembali ke Biak untuk menengok istri dan tiga buah hatinya. Pada 31 Agustus 1995, ia menyelesaikan perkuliahannya dengan mengikuti wisuda D-II PGSD.  Setelah wisuda, ia kembali ke Biak. Pada bulan Januari 1996, ia dipanggil kembali ke Jayapura untuk mengikuti seleksi Pegawai Negeri Sipil (PNS). “Waktu tes PNS, saya lulus. Kami langsung mengikuti prajabatan di BPG (LPMP) di Kotaraja selama tiga bulan. Saya mendapat SK di Pantai Kasuari, Asmat, terbit 1 Maret 1996. Waktu itu, Asmat masih menjadi satu kabupaten dengan Merauke,” tuturnya.

 Datang dari Utara Demi Generasi Asmat

Guru Sergius Asaribab memiliki tekad baja demi generasi Papua di pantai Selatan Papua. Ia rela meninggalkan istri dan ketiga anaknya di Biak dan bertolak ke Merauke pada tahun 1996 setelah mengantongi SK guru di Pantai Kasuari, Asmat. Berbekalkan uang Rp 500.000, ia berangkat ke Merauke. “Saya pakai beli tiket pesawat Rp 250.000. Sedangkan sisanya, saya pakai bertahan hidup di Merauke selama tiga bulan menunggu kapal ke Agats, Asmat,” tuturnya.

 Ia bersama lima orang temannya, di antaranya Guru Yulianus Bonay, Salmon Karubaba dan tiga teman lainnya. Mereka ke Agats menggunakan kapal perintis IWERI. “Kami tiba di Agats. Kami mencari transportasi ke tempat tugas itu sangat sulit karena mereka minta uang minyak, sedangkan kami tidak ada uang, sehingga kami tinggal di rumah Bapa Rumkorem di Agats selama dua bulan lebih. Kemudian, yang membantu kami adalah Guru Jumadi dan Guru Romanus Meak yang telah terlebih dahulu bertugas di Fayit. Kami pakai mereka punya long boat ke tempat tugas,” kenangnya. 

 Semenjak meninggalkan Merauke menuju Asmat, Sergius tidak lagi berkomunikasi dengan istrinya di Biak karena tidak ada alat komunikasi seperti telepon interlokal yang ada di Merauke. Selama dua tahun lebih di Fayit, Asmat ia tidak pernah ke Merauke. Komunikasi dengan istri dan keluarganya di Biak benar-benar terputus.

 “Selama di Asmat, saya tidak ada komunikasi dengan Ibu di Biak. Ibu pikir saya sudah hilang karena tidak ada kabar. Ibu punya orang tua juga minta Ibu untuk cari orang lain supaya bisa menjaga anak-anak karena saya dianggap sudah hilang, tetapi Ibu tetap setia dan percaya bahwa saya masih hidup,” kisahnya.

 Ia menjelaskan bahwa saat itu, ada peraturan harus kerja selama enam bulan terlebih dahulu barulah gaji bisa dibayarkan. “Gaji saya waktu itu sebesar, Rp 235.000. Selama enam bulan, kami kerja tanpa menerima gaji. Setelah, enam bulan berlalu, kepala sekolah mengirim surat ke Dinas Pendidikan di Merauke barulah kami mulai menerima gaji,” terangnya.

 Waktu dua tahun berlalu tanpa kabar berita itu pun berakhir. Guru Sergius sudah mengumpulkan uang untuk berangkat ke Merauke dan Biak untuk menjemput istri dan anak-anaknya supaya ke Merauke dan ke Asmat.

***

Ketika mengisahkan perjuangannya memperbaiki SD Negeri Mbait, Guru Sergius kembali ke masa mudanya, tahun 1996 tatkala mengajar di SD Inpres Bagair, Fayit. Ia tiba pertama kali pada bulan Oktober 1996. Saat itu di SD Inpres Bagair hanya ada Guru Jasdi. “Saat saya tiba, masyarakat menjemput saya.  Guru Injil menerima saya. Saya tinggal di salah satu rumah warga di sana. Pada malam hari mau persiapan mengajar, tuan rumah pasang api atau nyalakan pelita untuk saya persiapkan bahan mengajar,” tuturnya.

 Ia mengatakan pada tahun 1999, semua guru meninggalkan Bagair karena tuntutan Papua Merdeka. Ia bertahan seorang diri ditemani istri dan anak-anaknya, tetapi karena situasi tidak memungkinkan sehingga ia beserta istri dan anak-anaknya ke Agats dan kemudian ke Merauke. Di Merauke, hatinya gelisah memikirkan anak-anak di Bagair. Ia kembali ke Asmat bersama dua orang anaknya. Saat, ia kembali ke Basim, ia dijemput dengan alat tajam oleh warga karena beredar informasi dirinya menjual warga di sana karena tuntutan Merdeka.

 “Saya masih hidup karena ada Pastor Bavo yang melindungi saya. Kalau tidak ada Pastor Bavo mungkin saya sudah mati. Selama satu hari, dari jam delapan pagi sampai dengan jam delapan malam saya tinggal saja di dalam rumah pastoran karena dijaga di luar. Malam hari, kami menyelesaikan permasalahan itu. Keesokan paginya, driver dari kecamatan menjemput saya ke Agats dan kembali ke Merauke. Saya tinggal di Merauke sampai Bupati John Gluba Gebze memberikan jaminan keamanan barulah saya kembali ke Asmat,” tuturnya dengan raut nada sedih.

 Ie menjelaskan bahwa meskipun dirinya  pernah mendapat ancaman, tetapi hatinya tetap terpaut di Bagair mengingat janjinya bahwa harus ada anak-anak dari sana yang menjadi sarjana dan pegawai barulah dirinya bisa pindah. Tekadnya itu ia buktikan dengan kembali ke Bagair setelah peristiwa tahun 1999 itu. Ia melanjutkan tugasnya mendidik anak-anak di SD Inpres Bagair sampai dengan tahun 2013.

 Masih terngiang jelas di telinga Guru Sergius pada saat ia tiba di Fayit orang tua mengeluhkan anak-anak mereka yang tidak ada satupun bisa tamat SMP. “Waktu saya tiba di Bayun. Orang tua datang ke saya. Mereka bilang, ‘Pak Guru kepala sekolah ketujuh, tapi sampai saat ini, kami punya anak-anak tidak ada yang tamat SMP,” kenangnya. Kata-kata orang tua itu selalu terngiang keras di lubuk hati Sergius. Ia pun berjuang mendidik anak-anak di Bagair. “Ada anak yang tamat SD Inpres Bagair, saya bawa daftar ke SMP di Bayun,” kisahnya.

 “Saya memperhatikan anak-anak Asmat karena saya yakin Tuhan mengutus saya ke Asmat untuk anak-anak Asmat. Dua anak pertama yang saya antar ke SMP Bayun, satu orang tidak meneruskan sekolahnya, satu lainnya, Moses berhasil. Sekarang Moses kerja di Dinas Sosial Kabupaten Asmat,” tutur Sergius bangga.

 Sergius mengisahkan bahwa sejak mendengarkan keluhan orang tua bahwa anak-anak mereka tidak ada yang tamat SMP, ia telah memiliki tekad supaya tinggal di kampung Baigar sampai ada anak muridnya yang menjadi sarjana.  Komitmen itu ia pegang selamat 18 tahun (1996-2013). “Setelah ada anak murid saya dari Bagair yang datang tunjuk muka bahwa dia sudah sarjana baru saya pindah ke sekolah baru, SD Persiapan Negeri Tauro pada tahun 2013,” kisahnya.

 Selama menjadi Guru dan kepala SD Inpres Bagair, Sergius selalu memperhatikan setiap anak muridnya. Anak-anak yang telah tamat SD, ia antar ke SMP Bayun. “Waktu itu, kepala SMP Bayun, pak guru Yulianus Rumpaisum. Saya punya anak-anak dari SD Bagair yang banyak masuk di sana” kenangnya.

 Kerja keras Guru Sergius di kampung Bagair membuahkan hasil menggembirakan. Kini, ada tujuh anak didiknya yang menjadi pegawai Aparatus Sipil Negara (ASN) di Kabupaten Asmat. “Saya punya anak-anak didik yang sudah berhasil datang ke saya. Mereka minta saya kembali ke Bagair. Mereka bilang sekarang sudah ada distrik (kecamatan) Aswi sehingga saya bisa pergi kerja di sana,” tuturnya.

 Ia menambahkan bahwa dirinya selalu memberi motivasi kepada anak-anak Asmat supaya tekun belajar  sehingga berhasil menjadi pemimpin. “Saya tekankan bahwa anak-anak harus Asmat harus sekolah dan berhasil. Mereka yang sudah kuliah harus sampai menyelesaikan pendidikan sarjananya supaya menjadi motivasi bagi anak-anak lainnya,” tegasnya.

 Guru Sergius selalu ingat ketika dirinya masih di kampung Bagair. Di sana, orang tua sering membawa anak-anak ke dusun untuk mencari makanan atau gaharu di hutan sampai berminggu-minggu sehingga anak-anak tidak bisa sekolah. Berhadapan dengan situasi ini, ia tidak kehilangan akal. Ia mencari cara untuk mencegah orang tua supaya tidak membawa anak-anak ke dusun.

 “Saya bangun jam lima pagi. Saya duduk di dermaga. Saya lihat orang tua yang sedang dayung perahu ke dusun. Kalau mereka membawa anak ke dusun, saya akan bilang, ‘Bapa saya menyimpan barang-barang dan pulang karena kamu bawa anak ke dusun’. Saya ancaman begitu sehingga orang tua kasih turun anak tinggal di kampung dan bisa sekolah. Tetapi, ada juga orang tua yang suruh anak jalan kaki lewat hutan, kemudian anak naik perahu di tempat tersembunyi, tetapi kalau saya lihat, saya akan kejar itu anak,” kisahnya.

 Perjuangan Sergius sebagai pendidik di Bagair tidak mudah. Acapkali, ia harus pergi ke dusun mencari anak-anak yang berminggu-minggu tinggal di dusun. Ia melakukannya dengan tulus demi masa depan generasi Asmat. “Kalau orang tua membawa anak ke dusun dan tidak pulang berminggu-minggu, saya pergi cari,” tuturnya. Ia juga menambahkan bahwa ada orang tua yang beralasan bahwa anak-anak mereka tidak ke sekolah karena tidak ada perahu. “Kalau mereka bilang tidak ada perahu, saya suruh mereka buat perahu. Saya beli itu perahu. Saya cat dan tulis nama perahu. Anak-anak bisa pakai itu perahu untuk datang ke sekolah, tetapi seringkali perahu itu dipakai untuk pergi cari makan sehingga anak-anak tidak ke sekolah,” tambahnya.

 Tahun 2013, Sergius pindah tugas ke SD Persiapan Negeri Tauro. Di sana, ia mendidik anak-anak di kampung Tauro. Pada 26 Januari 2016, terjadi perselisihan dengan warga kampung Tauro lantaran dirinya dianggap mencampuri urusan penggunaan dana desa. Ia telah menyampaikan permasalahan itu ke Polsek Fayit, Kepala Dinas Pendidikan dan Bupati Asmat, tetapi tidak diselesaikan secara tuntas. Akhirnya, ia memilih meninggalkan SD Persiapan Negeri Tauro. Ia kembali ke Agats. “Terakhir kali saya ke Tauro pada saat ujian kelulusan anak-anak kelas enam SD pada bulan Mei 2016. Saya membawa anak-anak ke Basim untuk ikut ujian. Setelah itu, saya  kembali ke Agats dan tidak ke Tauro lagi sampai dengan pelantikan saya sebagai kepala SD Negeri Mbait pada 14 November 2017,” tambahnya.

 Guru Sergius Asaribab menorehkan jejak langkahnya di tanah lumpur Asmat sebagai pendidik sejati. Kini, di masa tuanya ia masih mengabdi sebagai kepala SD Negeri Mbait. Ia bertekad akan menyelesaikan tugasnya sebagai pendidik di tanah lumpur Asmat sampai dengan masa pensiunnya. Sesudahnya, ia akan kembali ke kampung kelahiranya di Kornasoren, pulau Numfor. Di sanalah, ia akan menghabiskan masa tuanya bersama segenap keluarga dan anak cucunya.

 

Petrus Supardi - Koordinator Kabupaten Asmat untuk Program LANDASAN BaKTI