BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Kepemimpinan dan Pelaku Kebijakan

Kepemimpinan dan Pelaku Kebijakan (Tanggapan Balik Opini Hasrullah)

Oleh : A.M. Sallatu

Perlu lebih ditegaskan lagi, mengapa cerdas otak patut disoal? Oleh karena para pengayom masyarakat tidak bisa hanya berpikir dan berprilaku sebagai kuasa pembuat aturan (rules supplier). Jiwa dan semangat mereka harus berada di tengah kehidupan masyarakat yang diayominya, sehingga yang mereka (para pengayom ini) butuhkan lingkungan kondusif untuk mengembangan fungsi fasilitasi, sebagai principal supplier. Disinilah cerdas otak dari kepemimpinan, yang mengindikasikan bijak dan berkarakter itu menjadi sangat mendasar pentingnya.

Rules, lebih banyak membutuhkan otak cerdas. Para pangayom karena itu perlu disadarkan dan diyakinkan bahwa kehidupan telah berkembang sangat dinamis. Kebutuhan akan principal agent harus lebih mengemuka. Untuk itu, melalui kepemimpinan, yang perlu diciptakan adalah lingkungan agar komitmen atas prinsip- prinsip dasar berkembang subur. Lingkungan seperti ini tidak akan pernah hadir dalam suasana gamang dan labil, apalagi kalau penuh dengan intrik pendiktean dan pengancaman.

Dalam kaitan semua diataslah perlu ada kehati-hatian dalam membandingkan kepemimpinan yang pernah menjadi suguhan dalam kehidupan di daerah ini. Kepemimpinan Amiruddin patut dipahami secara kritis. Pak Amir almarhum hadir dan hidup dalam kondisi lingkungan yang berbeda dengan apa yang ada saat ini. Tetapi memang menarik bila sisi otak cerdas almarhum yang diamati. Oleh karena pandangan jauh ke depan almarhum, nampaknya masih sulit untuk ditandingi. Pandangan jauh ke depan adalah kebutuhan pembangunan di era kepemimpinan almarhum. Setelahnya otak cerdas lebih dituntut untuk melanjutkan dan menguatkan pandangan jauh ke depan itu. Tetapi juga terbukti bahwa otak cerdas belaka sangat tidak memadai.

Tulisan Hasrullah telah mengutip prinsip kepemimpinan Almarhum Amiruddin, ‘bahwa akan mempercayai setiap orang sampai orang itu sendiri membuktikan dirinya tidak bisa dipercaya’. Nilai kepemimpinan ini yang menciptakan kondisi di lingkungan perangkat yang diayominya, sejak di Unhas sampai ke Pemprov Sulsel, untuk senantiasa menjaga kepercayaan beliau. Kepemimpinan Amiruddin menyuguhkan pilihan-pilihan nilai, seseorang bisa dipercaya atau tidak bisa dipercaya. Inilah salah satu prinsip almarhum yang mewarnai kepemimpinannya yang wise dan berkarakter. Inilah cerdas otaknya seorang Amiruddin.

Pelanjut almarhum baik di Unhas maupun di Pemprov Sulsel, tentu memiliki nilai kepemimpinannya sendiri. Setiap orang bisa saja menilai dimana otak cerdas dan cerdas otak telah mampu ditampilkan oleh masing-masing pelanjut. Tetapi yang pasti, pada era sekarang dan juga ke depan, cerdas otak lebih banyak dituntut dan menjadi tuntutan perkembangan zaman. Oleh karena itu, ketiadaan cerdas otak dalam era informasi dan komunikasi dewasa ini, akan cepat tampil dengan telanjang.

Ketiadaan cerdas otak pada pucuk pimpinan, bukan hanya gamblang bisa terlihat secara telanjang, melainkan bisa diyakini akan mencipta iklim dan suasana yang menambah ketidak-pastian dan ketidak-teraturan yang memang alami terjadi dewasa ini. Realitas seperti ini berlaku umum pada setiap organisasi dalam mengemban fungsi keberadaannya. Karena itu, cerdas otak memang patut disoal bila terjadi pada organisasi dan kelembagaan publik. Bukan hanya karena menyangkut harkat dan martabat kelembagaannya, tetapi lebih-lebih lagi karena menyangkut dan berkenaan dengan kepentingan masyarakat luas.

Masyarakat luas tidak perlu banyak tahu dan mungkin ingin tahu tentang seperti apa kepemimpinan seorang pemimpin diimplementasikan. Apalagi bila media pencitraan diri seorang pemimpin mampu dilakukan secara efektif. Namun patut disadari bahwa pengetahuan besar pada akhirnya akan sampai ke masyarakat luas, bila ketiadaan karakter telah berakumulasi membentuk realitas. Disinilah nilai wise sangat dituntut pada seorang pemimpin.

Hal di atas bersangkut paut dengan keterbukaan dan transparansi, dan inilah yang menjadi soal dalam hal pencitraan. Nyaris tidak ada informasi dewasa ini yang mampu ditutupi, cepat atau lambat, akan menjadi pengetahuan umum. Terlepas bahwa media massa dan media daring bisa menghadirkan perdebatan dan diskusi panjang, cenderung tanpa kesimpulan yang utuh. Tetapi pada akhir nya kinerja fakta juga yang tidak akan pernah bohong dan langsung dikonsumsi oleh masyarakat luas.

Saat ini, bila kita mencoba menyimak kehidupan nyata pada kelembagaan publik di sekitar kita. Sulit untuk menyangkal bahwa telah terjadi kegamangan dan kegalauan di kalangan para pengayom masyarakat. Demikian galau dan gamang nya, jangankan untuk membahas lingkungan kehidupan yang ditekuninya, pandangan saja sangat terkesan penuh waspada dan serba ragu. Mengapa realitas seperti ini terjadi? Disamping mungkin ada beberapa hal yang menjadi penyebabnya, tetapi faktor kepemimpinan menjadi faktor yang dominan. Sedemikian rupa sehingga bila perlu berbohong di bawah sumpah pun dilakukan. Gelar akademik yang berderet sebagai pencerminan otak cerdas nampaknya sudah tidak banyak membantu.

Oleh karena itu, dalam kondisi seperti yang digambarkan di atas, yang meskipun tanpa didukung oleh validitas data yang bernuansa akademik, sudah bisa dibayangkan bagaimana dan akan seperti apa kinerja pelaku kebijakan bagi kepentingan masyarakat. Mengingatkan kembali salah satu wawasan dasar new science, untuk tidak menyepelekan hal-hal kecil yang mungkin bisa dianggap tidak signifikan. Bahwa kepakan kupu-kupu bisa mencipta tsunami.

Akhirnya tulisan ini patut mengutip kembali cerita W. Bennis dalam bukunya tentang skandal seorang Gary Hart (hal.53). Ketika diperhadapkan pada bukti skandalnya, G. Hart harus mengundurkan diri dalam nominasi pencalonan Presiden dari Partai Demokrat, meskipun masyarakat AS sempat dibuat bingung tentang kesalahan yang ia perbuat. Apakah G. Hart mundur dari pencalonan karena terbukti pernah berselingkuh, atau karena ia pernah berbohong di hadapan publik. Demikianlah bila masyarakat lebih mengutamakan karakter.