Lahan halaman rumah sempit tak membuat Asriyadi Alexander Mering, warga Kelurahan Tanjung Hulu, Kecamatan Pontianak Timur, Pontianak, ini urung bercocok tanam. “Tak perlu mimpi besar menghasilkan sesuatu yang bermakna bagi keluarga.” Begitu kata pria yang pernah aktif di dunia jurnalistik ini.
Bagaimana caranya? Mering membuat perkebunan aquaponic di halaman rumah yang sempit. Alhasil, suasana rumah menjadi sejuk, dan hijau. Kebutuhan pangan keluargapn terpenuhi bahkan menghasilkan. “Urusan dapur, amanlah. Sayur yang kita konsumsi pun semua organik. Mau makan lele atau nila, kita sudah budidaya,” katanya Selasa (1/4/14).
Mering menyulap halaman depan dan samping rumah menjadi perkebunan aquaponic skala kecil. Di bagian bawah, ada kolam ikan dari beton. Bagian atas bersusun paralon ukuran empat inchi sebagai wadah menanam aneka sayuran.
Sebenarnya, sistem perkebunan semacam ini sudah lama diadopsi sejumlah negara dengan sumber daya lahan terbatas. Ia semacam teknologi budidaya terpadu antara ikan dan tanaman. Teknologi terapan ini irit lahan dan air, hingga mudah diterapkan di perkotaan dengan lahan sempit.
Banyak keuntungan bisa dipetik dari penerapan aquaponic ini. Biaya produksi rendah dan hasil sangat tinggi. Sistem ini bisa menekan laju pencemaran lingkungan. “Biaya awal sekadar ongkos pembelian semen, paralon, dan lain-lain. Beberapa kebutuhan bisa dipenuhi dengan barang bekas seperti gelas air mineral.”
Mering mulai menerapkan aquaponic sekitar lima bulan terakhir. Awalnya, panen perdana hanya kangkung. Kini, sayuran lain seperti daun bawang, sawi kampung, cabai, dan kacang panjang mulai ditanam.
Dia juga membudidayakan nila dan lele. Dia pelihara lele indukan, dan berkembang biak. Mering membuat beberapa kolam ikan dari beton. Lalu membangun semacam rak di bagian atas sebagai penyangga pipa paralon ukuran empat inchi. Pada tubuh pipa bagian atas dilubangi dengan ukuran disesuaikan kebutuhan. Lubang itu sebagai wadah menanam aneka sayuran.
“Bak ikan dipasangi airator yang biasa digunakan di akuarium. Air dari bak ikan naik dan mengairi pipa paralon sebagai wadah tanam sayuran. Akar-akar sayuran akan menyaring air bekas ikan ini sekaligus menjadi pupuk. “Air yang kembali ke bak bersih lagi untuk pertumbuhan ikan,” kata Mering.
Upaya Mering ini tak hanya mengurangi beban biaya dapur, juga efek lain. “Suara gemericik air dari kolam, bisa menjadi sarana hiburan tersendiri. Nyaman, terutama saat beristirahat malam hari.”
Layak Ditiru
Cory Simbolon dari Pontianak Berkebun mengapresiasi inisiatif Mering. “Sangat brilian karena bisa memanfaatkan lahan terbatas untuk kepentingan lebih bermanfaat. Saya bisa pastikan dia sekeluarga mandiri pangan, terutama sayuran dan ikan.”
Di Pontianak, kata Cory, peluang menerapkan pola perkebunan aquaponic sangat besar, terutama mereka yang hidup rumah toko (ruko). Bahkan, bila perlu setiap rumah punya aquaponic. Menurut dia,. Cara ini guna mengurangi konsumsi sayuran berpestisida dan beban dapur.
Aquaponic, katanya, sangat bermanfaat bagi kesehatan, lingkungan, sekaligus menjadi jaring pengaman dompet. Sayuran melalui aquaponic itu murni organik. Aquaponic tak perlu menggunakan lahan luas dan hemat penggunaan air. Sedangkan urusan biaya dapur, tak perlu merogoh kocek sekadar membeli cabai di pasar.
“Bisa kita lihat jika sejumlah sayuran di pasar tradisional Pontianak berasal dari luar kota atau pulau. Berapa banyak emisi karbon dilepas di sepanjang jalur yang dilintasi moda transportasi sayuran itu? Pontianak sudah menjadi kota dengan jalur karbon tinggi. Belum lagi soal harga sayuran yang meroket,” kata Cory.
Sementara, hasil penelusuran di sejumlah pasar tradisional Pontianak, Kamis (3/4/14), harga kangkung dan sawi berkutat Rp2.000 per ikat. Seikat sawi berisi tiga batang. Harga bawang merah Rp16 ribu per kilogram. Harga cabai meloncat tinggi, antara Rp90 ribu hingga Rp110 ribu per kilogram.
“Saya tak ngerti kenapa harga cabai sangat tinggi. Dasarnya dari agen harga sudah tinggi. Mungkin jauh di luar kota,” kata Nursiah, pedagang sayur di Pasar Flamboyan, Pontianak.
Menurut Nursiah dan pedagang lain, sayuran dan bumbu di pasar Pontianak dari luar kota. Bahkan, beberapa jenis sayuran seperti kentang, kol, wortel, brokoli, didatangkan dari Jawa dengan kapal laut.
Fakta itu menunjukkan, penggunaan kendaraan bermotor, baik truk maupun kapal masih tinggi.
Hasil kajian A Tri Tugaswati dari Pusat Penelitian Ekologi Kesehatan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, menyebutkan, emisi kendaraan bermotor mengandung berbagai senyawa kimia. Komposisi dari kandungan senyawa kimia itu tergantung kondisi mengemudi, jenis mesin, alat pengendali emisi bahan bakar, suhu operasi, dan faktor lain.
Kendati gas buang kendaraan bermotor terdiri dari senyawa yang tidak berbahaya seperti nitrogen, karbon dioksida, dan uap air, namun terdapat senyawa berbahaya bagi kesehatan maupun lingkungan.
Bahan pencemar terutama terdapat di dalam gas buang kendaraan bermotor adalah karbon monoksida (CO), senyawa hindrokarbon, oksida nitrogen (NOx), sulfur (SOx), dan partikulat debu, termasuk timbel (PB).
Dukungan pemerintah
Pemerintah Pontianak menyambut baik jika ada inisiatif warga menciptakan ruang terbuka hijau di kediaman masing-masing. “Sejumlah program bersentuhan langsung dengan lingkungan sudah kita terapkan. Misal, penghijauan dan penanggulangan sampah perkotaan,” kata Uray Indra Mulya, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Pontianak.
Menurutnya, kebijakan Pemerintah Pontianak lain yang pro-lingkungan sudah diterapkan. Antara lain, jika ada warga baru mendirikan bangunan, wajib menyediakan 10 persen lahan untuk ruang terbuka hijau. “Ini sudah kita koordinasikan dengan Pemerintah Kalbar agar bisa menjadi kebijakan regional.”
Hidayati, Kepala Dinas Pertanian, Perkebunan, dan Perikanan Kota Pontianak, akan mempelajari sistem aquaponic ini. “Jika memungkinkan, pola ini bisa menjadi salah satu model bagi kemandirian pangan masyarakat perkotaan.”
- Log in to post comments
- 559 reads