Hari Bumi Dan Dampak Perubahan Iklim
Rabu, Apr 23 2014
Ditulis oleh amex
Oleh : Ferad Puturuhu, SP, M.Si, Dosen Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Pattimura
Pernahkah kita mendengar dan memperingati Hari Bumi dan kapankah waktu lahirnya ? Mungkin bagi sebagian diantara masyarakat sudah mengetahui bahwa tanggal 22 April adalah Hari Bumi (Earth Day), hari yang sangat penting bagi keberlanjutan kehidupan kita di bumi ini.
Pada tanggal 22 April tahun 1970 seorang Senator Amerika Serikat, Gaylord Nelson seorang yang peduli terhadap lingkungan, ia menggagas tanggal tersebut sebagai hari bumi, pada saat pidatonya di Seatlle Amerika Serikat tentang desakan untuk memasukkan isu-isu kontroversial yang terkait dengan Lingkungan Hidup.
Tahun 2014 sudah 44 tahun Hari Bumi diperingati, tapi pertanyaannya : Apakah sudah dalam usia kedewasaan itu masyarakat memaknai pentingnya Hari Bumi ini. Tema peringatan Hari Bumi 2014 adalah “Act for Climate Change”, itu berarti yang menjadi focus utama adalah Perubahan Iklim.
UNFCCC (United Nation Framework Convention on Climate Change) (2007) dan Peraturan Presiden Nomor 61 tahun 2011, mendefinisikan Perubahan iklim sebagai berubahnya iklim yang diakibatkan langsung atau tidak langsung oleh aktivitas manusia sehingga menyebabkan perubahan komposisi atsmosfer secara global dan selain itu juga berupa perubahan variabilitas iklim alamiah yang teramati pada kurun waktu yang dapat dibandingkan.
Iklim dan bumi bagaikan dua sisi mata uang yang tak terpisahkan dan saling mempengaruhi. Kondisi iklim Indonesia dengan dua musim yang berlangsung sejak dulu secara teratur yaitu musim hujan dan musim panas pada bulan-bulan tertentu, memberikan kemampuan bagi manusia dan mahkluk hidup yang lain untuk bisa mempertahankan keutuhan dan mengatur siklus hidupnya di bumi ini.
Namun sejak kurang lebih 10 hingga 20 tahun yang lalu terasa adanya perubahan iklim yang begitu drastis bagi kehidupan bumi ini. Musim menjadi tidak menentu kadang hujan lebih banyak dari panas, dan sebaliknya terjadi pada tahun-tahun tertentu.
Ingatkah kita terjadinya peningkatan temperatur yang cukup tinggi yang berdampak pada kebakaran hutan dibeberapa tempat di Indonesia, dan bagi kita di Maluku khusus di Pulau Ambon mengalami kabut yang cukup tebal dengan jarak pandang yang dekat, akibat penguapan yang cukup tinggi di sekitar tahun 1997, dan masih segar bagi kita akan peristiwa bencana banjir, longsor dan gempa bumi yang melanda Pulau Ambon di tahun 2012 dan 2013 yang menelan korban jiwa dan harta benda.
Data IPCC, suatu lembaga dunia yang menangani Perubahan Iklim tahun 2007 menyatakan bahwa dalam abad 21 ini 90% aktivitas manusia telah mengakibatkan naiknya temperatur di bumi ini. Sementara konsentrasi CO2 mencapai kurang lebih 55% jika dibandingkan gas lain yang mengakibatkan effek rumah kaca.
Saat ini konsentrasi CO2 di Atmosfer kita sekitar 387 ppm dan melonjak 120 ppm diatas konsentrasi CO2 pada era pra-industri tahun 1870. Berdasarkan trend ekonomi global yang terjadi sekarang ini, konsekuensinya akan menyebabkan kadar CO2 menjadi 450 ppm pada tahun 2030. Semakin banyak kadar CO2 di Atmosphere kita, akan semakin banyak sinar matahari yang terserap sebagai akibat efek rumah kaca sehingga suhu permukaan bumi akan semakin panas.
Perubahan iklim yang terjadi di Indonesia umumnya ditandai adanya perubahan temperatur rerata harian, pola curah hujan, tinggi muka laut, dan variabilitas iklim (misalnya El Nino dan La Nina dan sebagainya). Dari data di atas dapat dikatakan bahwa kondisi bumi kita sekarang berada pada masa krisis yang mengancam keberlangsungan kehidupan di Dunia ini.
Dampak perubahan iklim di Indonesia sudah mulai terasa dalam beberapa tahun terakhir, cuaca yang ekstrem mengakibatkan bencana alam di berbagai daerah di tanah air baik banjir, kekeringan, gelombang pasang, tanah longsor, dan abrasi, bencana tersebut menimbulkan permasalahan sosial di masyarakat.
Di sektor pertanian juga mulai terasa seperti gagal panen, musim tanam yang tidak bisa ditentukan lagi dan berbagai penyakit yang menyerang tanaman. Kecanggihan teknologi dan kearifan-kearifan lokal yang ada di masyarakat juga tidak bisa lagi memprediksi pergantian musim yang sangat ekstrem. Perubahan iklim menjadi ancaman paling berbahaya bagi kehidupan umat manusia untuk saat ini dan yang akan datang.
Propinsi Maluku khususnya di Pulau Ambon dengan luas 377 km persegi dan dikelilingi oleh lautan, sejak lima tahun terakhir ini merupakan daerah yang sangat beresiko terhadap ancaman bencana alam, seperti banjir, tanah longsor, kekeringan, abrasi pantai dan gempa bumi, sebagai akibat perubahan iklim yang sangat ekstrim. Kerugian yang dialami tidak hanya harta benda tapi manusia pun menjadi korban.
Semua yang terjadi tidak terjadi dengan sendirinya, tetapi ada sebabnya. Sebabnya adalah keserakahan manusia dalam mengelola alam atau bumi ini, menebang pohon di hutan dengan sembarangan, tidak melestarikan bakau di pesisir pantai, menggunakan teknologi rumah tangga yang berdampak pada peningkatan gas rumah kaca, pembakaran hutan, pembuangan limbah yang dapatmeningkatkan emisifitas, penataan ruangwilayah yang tidak berbasis resiko bencana dan masih banyak hal yang dilakukan masyarakat dan berdampak terhadap perubahan iklim dan kerusakan bumi ini.
Dimanakah peran kita sebagai pemerintah, lembaga yang menangani masalah lingkungan, LSM, lembaga pendidikan yang dapat memberikan pencerahan bagi anak didiknya tentang pentingnya keberlanjutan hidup di lingkungan bumi yang kita pijak kini, sebagai “orang Geografi” yang banyak mengkaji tentang bumi ini, bahkan sebagai masyarakat yang menempati bumi dan selalu membutuhkan bumi ini; apakah kita hanya melihat perayaan Hari Bumi sebagai suatu “momentum peringatan” saja dan setelah itu melupakan apa yang harus kita buat untuk bumi ini ?
Tentunya kita tidak ingin berbagai peristiwa bencana di negeri ini terjadi seperti tahun-tahun sebelumnya, kita di Maluku akan memasuki musim penghujan dan menjadi traumatis bagi masyarakat yang menjadi korban. Lewat Hari Bumi 22 April 2014 mari dengan bijaksana dalam perspektif moral dan etika hidup yang lebih bertanggungjawab, dan dengan “kearifan lokal” yang dibangun selama ini menjadi kekuatan kita untuk menjaga lingkungan bumi ini dari krisis yang terjadi, upaya konservasi terhadap bumi harus menjadi prioritas utama untuk keselamatan dan kebahagiaan kita bersama.(**)
- Log in to post comments
- 621 reads