Hak atas informasi atau hak untuk memperoleh informasi merupakan bagian dari hak asasi manusia yang diatur dalam pasal 28 F Undang-undang Dasar 1945. Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan mendapatkan infromasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. Informasi di dalam negara demokrasi memegang peranan penting dalam membangun partisipasi warga dan mendorong pemerintahan yang demokratis, transparan, efektif, efisien dan bertanggungjawab.
Sayangnya hingga kini, lembaga publik di Indonesia masih identik dengan ketertutupan. Tidak terkecuali lembaga publik yang menangani sektor migrasi ketanagakerjaan. Buruh Migran Indonesia (BMI) yang sering disebut sebagai “pahlawan devisa” hingga saat ini masih mengalami persoalan pelik seputar ketersediaan informasi. Akibatnya, banyak BMI yang dirugikan atas ketidaktransparanan ini. Demikian yang terungkap dalam Laporan Pemantauan Keterbukaan Informasi Publik Di Sektor Migrasi Ketenagakerjaan 2013.
Laporan yang disusun atas kerjasama Infest, Pusat Sumber Daya Buruh Migran, MediaLink, dan Yayasan TiFA tersebut mengungkapkan beberapa kasus yang terjadi akibat minimnya informasi ketenagakerjaan adalah daftar pengguna jasa bermasalah. Padahal UU Nomor 39 tahun 2004 mewajibkan pihak KJRI secara berkala menginformasikan daftar pengguna jasa bermasalah dalam daftar hitam. Kasus lain adalah persoalan Kartu Tanda Kerja Luar Negeri (KTKLN). Beberapa serikat buruh Migran seperti Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) dan Pusat Sumber Daya Buruh Migran serta jaringan kerja BMI menyatakan adanaya kesimpangsiuran informasi sehingga menimbulkan pelanggaran pada bidang ini.
Informasi terkait pengawasan pihak swasta yang terkait dengan penempatan BMI, seperti PPTKIS dan konsorsium asuransi juga sangat sulit ditemukan dalam berbagai saluran informasi. Hal ini tentu akan memperbesar kemungkinan BMI menjadi objek pelanggaran hukum. Janji BNP2TKI yang menerapkan sistem daftar hitam (black list) PPTKIS hingga saat ini pun tak kunjung membuahkan hasil.
Persoalan lain adalah informasi yang dikeluarkan oleh masing-masing badan publik yang kontradiktif antara satu dan yang lain. Secara umum, Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemnakertrans) dan BNP2TKI adalah dua lembaga yang secara spesfik mengurusi bidang tersebut. Di daerah, kedua lembaga tersebut memiliki turunan serupa yang mengurusi bidang ini, seperti Badan Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BP3TKI)di Provinsi dan Dinas Tenaga Kerja. Kementrian Luar Negeri (Kemlu), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Kementrian Sosial (Kemsos) dan kepolisian adalah deret lembaga publik yang turut mengurusi isu ini. Ditingkat daerah dari 18 BP3TKI hanya 3 yang mempunyai website.
Oleh sebab itu, paling tidak ada dua persoalan besar dalam persoalan buruh migran. Pertama, adalah ketersediaan informasi oleh lembaga publik yang bertanggung jawab. BNP2TKI, Kemenakertrans, dan Kemenlu harus memperkuat koordinasi untuk memperkuat informasi yang dibutuhkan oleh BMI. Kedua, Akurasi Informasi yang disampaikan harus benar-benar valid supaya tidak terjadi kontradiksi informasi.
Dengan mengupayakan implementasi UU KIP di sektor buruh migran, diharapkan dapat mendorong transparansi dan akuntabilitas lembaga publik terkait. Serta meningkatkan kontrol publik terhadap kinerja lembaga publik dalam bidang buruh migran.
Artikel juga dapat dibaca di http://kebebasaninformasi.org/2013/11/26/buka-informasi-buruh-migran/
- Log in to post comments
- 217 reads