BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

BANDA: IRONI DAN HARAPAN

Poster Banda

Penulis : Muh Burhanuddin Burot

Banda adalah sebuah ironi. Bertahun lalu, kalimat pendek itu ialah kesimpulan segera setelah membaca Banda karya Willard A Hanna. Malam kemarin, menyaksikan Banda the dark forgotten trail saya merasakan kegetiran yang hampir serupa. Untungnya, tidak lama, karena diakhir saya menemukan juga, harapan.

Banda memang adalah ironi. Kepulauan Banda, Gugusan kepulauan penghasil pala yang ratusan tahun lalu menggerakan petualang bangsa-bangsa itu kini hanyalah sebuah pojokan sepi di teater sejarah. Hari-hari dimana Rempah-rempah, utamanya Pala, dan Banda mempengaruhi sejarah dan ekspedisi bangsa-bangsa telah ditakdirkan selesai sejak Inggris membawa Pala dan menanamnya di belahan bumi berbeda. Nyatanya episode kegemilangan Banda itupun adalah sebenarnya ironi, betapa tidak kegemilangan Banda pada periode petualangan samudera itu dibayar dengan harga yang sangat mahal oleh penduduk pribumi dan bangsa-bangsa sepanjang Nusantara.

Dalam narasi sejarah bangsa kita sendiri, Banda adalah jua pojokan yang sepi. Banda tak banyak disebut lagi dalam narasi Indonesia setelah Hatta, Sjahrir dan banyak tokoh bangsa ini meninggalkan pengasingan mereka di kepulauan itu. Pulau-pulau vulkanis itu seperti pudar dari memori bangsa Indonesia. Banda hanya kita ingat sekali-kali sebagai sebuah nama tempat dalam sejarah. Sebuah nostalgia, seakan-akan di hari ini dan di masa depan Banda tak ada, selain pada hanya ingatan kita.

Kita tahu ini tidak benar. Di luar lampu terang sejarah, Banda tetap semarak dengan cerita kehidupan berbagai rupa budaya dan perjuangan manusia. Hidup terus berlangsung di sana dengan syahdu sederhana. Saking sederhananya, sehingga galib saja bila ada yang bertanya apa pentingnya membahas dan menceritakan Banda di luar narasi-narasi kegemilangan dan kekejaman yang menyertainya.

Tim produksi Banda the dark forgotten trail saya kira memiliki jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan semacam ini. Bagi mereka menghadirkan Banda sebagai sebuah Ironi sejarah dan perjuangan manusia adalah sekaligus menyampaikan pesan tentang harapan. Seperti menitipkan setitik kejengkelan pada setiap yang menonton bahwa bangsa besar ini harus belajar dari sejarah dan lalu melakukan sesuatu, utamanya kepada Banda. Gugusan kepulauan kecil itu, seperti jua banyak tempat terpencil di negeri, layak memiliki harapan. Mengutip Sheila Timothy, Produser film Banda, “ Banda tidak hanya tentang Ironi namun juga harapan”.

Hari-hari ini, Banda memang bertarung dalam semacam sebuah dilemma antara keinginan glorifikasi kegemilangan masa lalu yang kelam dan kehendak untuk kembali menjadi penting dan berarti di generasi masa kini, di mata dunia, di mata Indonesia. Banda, film yang berdurasi satu setengah jam lebih ini  dengan apik mengangkat ironi dan asa yang menyertai jejak perjalanan Kepulauan Banda.

Secara strukur, Dokumenter Banda the dark forgotten trail dapat dibagi kedalam tiga fase yakni fase petualangan samudera dan monopoli rempah-rempah hingga peristiwa genosida, fase pengasingan para founding fathers Indonesia, dan fase ketiga yang bercerita tentang kondisi Banda hari ini.

Pada setiap fase, Banda diceritakan dengan narasi yang dramatik dan menggugah. Soundtrack yang apik dan tata gambar yang sangat artistik membuat film Banda besutan Jay Subiakto ini tidak seperti film dokumenter yang biasa kita saksikan. Secara artistik dan cerita, Banda ialah pertunjukan yang harmonis dan apik. Landscape Banda yang unik, gunung api yang majestik dan detail-detail gambar warisan kolonial yang terserak sepanjang kepulauan Banda  seperti menari di dalam narasi-narasi pendek dan bunyi jua latar musik yang menghentak dengan semarak. Bagi saya, Oscar Motuloh, Davy Linggar, Ipung Rachmat, Indra Perkasa, Yusuf Patawari, Irfan Ramli dan Jay Subiakto telah berhasil memperkenalkan sebuah kenikmatan menonton dokumenter yang berbeda. Sebuah pertunjukan visual dan bunyi yang fenomenal.

 Dari sisi dokumentasi sejarah , film rumah produksi lifelikepictures ini sebenarnya hadir dengan narasi yang umumnya popular di kalangan pembaca sejarah. Narasi-narasi tentang ditukarnya Pulau Rhun dan Niev Amsterdam (hari ini Manhattan) melalui Treaty of Breda atau hikayat lontor, kekejaman Coen pada 1621 dan cerita tentang Sjahrir dan Hatta di masa pembuangan di Banda sebenarnya adalah cerita yang mudah ditemukan dalam banyak artikel dan berita di era digital hari ini dengan sedikit usaha. pergilah ke laman situs pencari Google dan ketikan keyword Banda Islands, maka pembaca akan menemukan banyak cerita.

Karena itu bagi penyuka sejarah berat, dokumentasi peristiwa yang lebih menarik dari film ini mungkin justru terletak pada sejarah yang tak terlalu lampau tentang Banda. Cerita tentang Banda dalam pusaran konflik sektarian Maluku dan gumaman kekecewaan tentang harga pala yang dikuasai dan diatur kartel sepertinya menawarkan pesan yang lebih menggugah. Cerita Pongky, keturunan perkenier Banda dalam film ini misalnya mendorong keingintahuan yang lebih mendalam tentang jejak para perkenier dan pengetahuan mereka tentang metode produksi pala. Kisah Pongky adalah narasi-narasi minor yang belum dapat dibaca di buku atau di tonton di televisi, narasi-narasi yang harus dialami sendiri seseorang dengan melancong ke kepulauan rempah-rempah, Banda.

Tentu saja menyebut narasi sejarah dalam film ini sebagai narasi popular tidak berarti anda tidak akan menemukan kejutan-kejutan dan fakta yang menarik dan encouraging tentang Banda. Sejak pembukaan, narasi film ini menghamparkan fakta demi fakta yang walaupun dinarasikan minus kompleksitas tetap saja menggemuruhkan kebanggaan. Narasi-narasi humanis di dalam film ini tak bisa tidak akan melahirkan kegetiran atas nostalgia dan perubahan zaman. Cerita tentang klenteng tua di Banda yang hampir roboh di dalam film ini atau narasi tentang lahan-lahan terbuka hijau yang dibangun tanpa memperhatikan konteks historis di banda misalnya, semestinya membuat penonton menjadi “gusar”.

Sekali lagi, film ini mungkin memang tidak ditujukan sebagai sebuah dokumenter sejarah yang berat. Fakta dan tali temali sejarah yang dihamparkan lebih merupakan sebuah perkenalan yang santai. Seperti obrolan sebentar setelah jabatan tangan yang harus diteruskan dengan bercerita sambil menyeruput kopi. Lifelike pictures sepertinya sedang menjalankan misi memperkenalkan kembali sejarah kepada generasi muda hari ini. Kata kuncinya dengan demikian memang adalah memperluas cakupan penerima pesan. Sampai disini kita dapat dengan mudah mengerti kenapa film dokumenter ini diputar di jaringan bioskop modern.

Karena itu obrolan-obrolan berat tentang silang paut sejarah Nusantara yang bermula dari Banda memang diharapkan akan menjadi buah pengetahuan yang dicapai sendiri oleh penonton setelah menyaksikan Banda the dark forgotten trail. Film Banda karenanya tidak mengelaborasi sebuah periode yang menarik tentang diaspora warga Banda pasca peristiwa tahun 1621 ke banyak tempat di Nusantara. Banda Eli dan Elat, dua buah kampung di tepian Pulau Kei Besar di mana sebagian warga asli Banda hijrah dan memelihara budaya mereka secara distinctive tak ambil bagian dalam cerita film ini. Bahkan jangankan Banda Eli yang nun jauh di kepulauan Kei, sepotong narasi tentang kampung Bandan di wilayah Jakarta Utara yang secara jelas mengadopsi asal usul Banda jua tak disebutkan.

Selain kehendak untuk menyeimbangkan bobot narasi dengan penerima pesan, produser dan tim produksi Banda tentu mesti berakrobat dengan keterbatasan durasi, sumber daya dan resiko untuk menghadirkan film ini ke hadapan publik. akibatnya, film ini tak bisa tidak memang harus fokus hanya pada cerita tentang kepulauan Banda dan fase-fase sejarah yang pokok agar dapat memenuhi tujuan-tujuannya secara lebih efektif. Itupun sebenarnya sudah merupakana usaha yang rumit jua melelahkan dan karenanya harus benar-benar kita apreasiasi. Bayangkan saja, memampatkan sejarah lebih dari 400 tahun dalam 90 menit visual dan narasi.

Sebagai sebuah usaha untuk mendokumentasikan dan memperkenalkan kembali sejarah Banda, kita tentu tahu bahwa karya ini, lazimnya karya seni dan studi ilmiah lainnya, tidak tanpa kekurangan. Karya tentang sejarah bahkan lazim berada pada wilayah perdebatan interpretasi atas sebuah persitiwa. Saya percaya, tim produksi Banda membaca dengan hati-hati berbagai interpretasi sejarah yang ada sebelum menghamparkannya kembali ke hadapan para penikmat Banda. Karena itu, pun bila ada polemik saya berdoa semoga debat yang akan datang adalah debat yang konstruktif yang akan menjadi pintu untuk melahirkan karya-karya yang lain tentang Banda atau sejarah lain nusantara yang seapik atau bahkan lebih baik dari Banda.

Terakhir saya akan merekomendasikan film ini untuk ditonton siapa saja yang hendak merayakan seni dan berdiskusi dengan antusias tentang Indonesia, tentang asal usul dan takdir bangsa ini yang semestinya di antara bangsa-bangsa di dunia. Banda memang harus diingat sebagai pelajaran supaya cerita tentang negeri kaya di khatulistiwa ini tak terus menerus jadi ironi, namun harapan.

Selamat menonton Banda.

 CATATAN:

Akhir-akhir ini terjadi polemik terkait kesalahan mengutip pada laman berita sebuah media online yang menyatakan bahwa Film Banda mengisahkan bahwa Genosida di Banda menyebabkan tak ada lagi orang Banda Asli yang tersisa. Kesalahan kutipan ini telah diklarifikasi melalui hak jawab dan telah diperbaiki pada laman berita yang bersangkutan.

Saya pribadi selaku keturunan warga Wandan (Banda) yang hijrah ke kepulauan Kei juga telah meminta klarifikasi secara langsung kepada produser, sutradara dan penulis naskah terkait pernyataan yang menjadi polemik dimaksud. Jawaban sutradara melegakan. Pernyataan itu sama sekali tidak pernah disampaikan oleh tim produksi Banda. Selain itu Produser telah meminta maaf secara langsung pada acara yang disiarkan secara live dihadapan para jurnalis media dan warga yang hadir pada sesi diskusi yang difasilitasi Rappler.com.

Terakhir, saya yang telah menonton film ini secara langsung tak menemukan narasi semacam itu dalam film ini. Sekali lagi, Film ini tak sama sekali menyebutkan bahwa keturunan orang Banda Asli telah punah dari muka bumi.

 

Sumber: http://terometamorfolio.blogspot.co.id/2017/08/banda-ironi-dan-harapan.html?m=1