Dari seorang pengebom ikan yang merusak karang pada tahun 2000-an, Amiruddin (37) kini menjadi pelestari dan penjaga karang di perairan Gili Balu, Poto Tano Sumbawa Barat, Nusa Tenggara Barat.
Oleh
ISMAIL ZAKARIA
Pada tahun 2000-an, tidak hanya merusak karang dengan bom ikan, Amiruddin (37) juga mengambil karang di kawasan Gili Balu, Poto Tano, Sumbawa Barat, Nusa Tenggara Barat, untuk dijual. Belasan tahun berlalu, Amiruddin kini menebus perbuatannya dengan berada di garda depan sebagai penjaga sekaligus perestorasi karang di kampung halamannya itu.
Kompas bertemu Amir, demikian ia bisa dipanggil, dalam kegiatan Program Coral Reef Rehabilitation and Management Program-Coral Triangle Initiative (Coremap-CTI) Asian Development Bank (ADB) yang diselenggarakan Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF) Bappenas pada Senin (17/7/2023) lalu. Amir adalah salah satu warga Poto Tano yang ikut terlihat dalam program tersebut.
Padahal, kata Amir, sejak tahun 2002 ia sudah menjadi penyelam illegal fishing atau menangkap ikan secara ilegal. “Pada 2004, saya belajar ngebom dan motas untuk mengambil lobster,” kata Amir.
Pengeboman, lanjutnya, dilakukan, antara lain, di Namo dan Pulau Paserang, dua pulau kecil di kawasan Gili Balu. Gili Balu berarti delapan pulau kecil yang kini menjadi Kawasan Konservasi Taman Wisata Perairan. Namo dan Paserang dipilih karena tempat berkumpulnya banyak ikan.
Amir mengatakan, atas alasan memenuhi kebutuhan hidup, ia tidak pernah berpikir tentang dampak yang ditimbulkannya. ”(Saat itu) Nelayan di sini, seperti saya, tidak berpikir ke depan apakah itu bagus atau merusak. Hal terpenting adalah bisa makan. Pemikiran kami, besok dapat (ikan) lagi dan besok dapat lagi,” kata Amir.
Menurut Amir, dalam sehari, ia dan rekan-rekannya bisa hingga belasan kali mengebom. Mereka bisa mendapatkan mulai dari 300 kilogram (kg) hingga 4 ton ikan. Lalu hasil tangkapan dibagi bersama seluruh nelayan, termasuk kepada pemilik kapal.
Sekali mengebom, Amir dan rekan-rekannya menggunakan 20 bom botol yang dinyalakan kemudian dilempar ke tempat ikan berada. Dengan sekali ledakan, ikan yang mereka dapatkan memang sangat banyak. Namun pada saat yang sama, karang-karang di area pengeboman ikut hancur karena luas area ledakan satu bom bisa mencapai 5 meter persegi.
Tidak jarang, ledakan juga merenggut nyawa para nelayan. Menurut Amir, sudah ada lima orang yang meninggal saat mengebom ikan. ”Saat bom dilempar, tidak langsung meledak. Nelayan itu kemudian turun mengambil bom itu dan baru meledak,” kata Amir.
Tetapi kejadian itu tidak membuat Amir dan nelayan lain berhenti mengebom. ”Pendapatannya (dari mengebom ikan) besar,” kata Amir Singkat.
Di samping mengebom ikan, Amir juga menangkap ikan hias dan mengambil karang untuk dijual. Apalagi peminatnya banyak. Juga harganya lumayan. ”Ikan hias bisa dibeli mulai dari Rp 2.000 hingga Rp 500.000. Kalau karang, kayak karang donat, bisa sampai Rp 700.000,” kata Amir.
Titik balik
Pada 2010, Amir pernah ditahan karena pengeboman ikan yang ia lakukan. Beruntung ia tidak sampai dipenjara. Sayangnya, hal itu tidak membuatnya sadar. Pria keturunan Bajo itu, kemudian memutuskan pindah ke Bali. Di sana, ia tetap melakukan hal serupa seperti saat di Poto Tano.
”Tetapi di Bali saya tidak mengebom. Hanya illegal fishing, menyelam malam untuk menangkap ikan,” kata Amir yang bisa menyelam tanpa alat bantu pernapasan (free diving) selama 1 menit 45 detik hingga kedalaman 25 meter.
Selama tinggal di Bali, Amir banyak bertemu dan bergaul dengan para pelaku wisata. Dari diskusi-diskusi dengan mereka, pikirannya terbuka tentang dunia pariwisata dan apa saja yang bisa dikembangkan. Termasuk potensi pariwisata kawasan perairan seperti yang ada di kawasan Gili Balu, Poto Tano, kampung halamannya.
Poto Tano memang berlokasi strategis, yakni pintu masuk barat Pulau Sumbawa. Di sana, terdapat pelabuhan penyeberangan yang menghubungkan Sumbawa dengan Pulau Lombok. Lokasi yang strategis itu ditambah keindahan lanskap delapan pulau kecil di Gili Balu.
Setelah enam tahun di Bali, pada 2017, Amir memutuskan pulang kampung. Ia kaget, sekaligus senang dengan perubahan di Poto Tano. ”Misalnya saya lihat sudah ada tulisan desa wisata. Saya senang dan bangga melihatnya,” tutur Amir.
Hal itu membuatnya semakin semangat untuk berkontribusi bagi desanya. Terutama pariwisata. Tetapi karena tidak punya banyak pengalaman, ia mulai mencari tempat belajar. Gayung bersambut, karena saat itu ada perusahaan swasta yang tengah berkegiatan di sana.
”Saya ikut belajar bahasa Inggris dan pariwisata. Maklum, saya mungkin kelihatan mau belajar. Sehingga saya ditarik sama mereka,” kata Amir.
Keterlibatan pertamanya itu, membuat Amir kian terpacu. Tetapi ia merasa tidak puas. Sehingga setiap ada lembaga tertentu yang berkegiatan di Poto Tano, ia selalu ambil bagian. Termasuk menggali ilmu tentang pengembangan pariwisata. ”Saya ingin menjadi orang yang menunjukkan potensi masyarakat di Poto Tano. Itu niat saya,” kata Amir.
Amir juga mulai belajar tentang restorasi karang dari lembaga swadaya masyarakat yang berkegiatan di Poto Tano. ”Saya mulai di Namo. Semua peralatannya dan karang yang ditanam saya siapkan sendiri,” kata Amir.
Tidak hanya menanam, Amir juga memonitor perkembangan karang tersebut. Ia mengukur dan mencatat sendiri pertumbuhan karangnya. ”Ternyata dalam setahun, hanya bertambah 1 sentimeter. Sementara dulu, dengan sekali pengeboman, bisa rusak 5 meter persegi,” kata Amir.
Kesadaran itu yang Amir kemudian tularkan ke anggota Kelompok Nelayan Pelita atau Persaudaraan Nelayan Gurita yang dibentuk pada 2018. Anggota kelompoknya berasal dari nelayan-nelayan yang dulu ikut mengebom bersamanya.
”Dulu sebenarnya mereka bukan pemancing gurita. Tetapi saat saya kembali ke Poto Tano dari Bali, saya berbagi ilmu memancing gurita ke mereka. Ternyata, memancing gurita banyak hasilnya,” kata Amir.
Dari 16 orang, saat ini anggota kelompok Amir sudah menjadi 53 orang. Tak mudah meyakinkan mereka untuk mengambil bagian. ”Caranya, saya rangkul satu-satu. Misalnya saat ada kegiatan Coremap sejak 2021, nelayan-nelayan saya ajak untuk ikut pelatihan sesuai minatnya,” kata Amir.
Saat ini bersama anggotanya, Amir tidak hanya mengelola potensi gurita di Poto Tano, tetapi juga karang di Gili Balu. Termasuk berpatroli memastikan tidak ada lagi pengeboman, illegal fishing, dan pencurian karang.
Kocek sendiri
Saat memulai restorasi karang di 2017, Amir kerap jadi bahan ledekan. Bahkan dianggap gila. ”Misalnya saat saya membuat tempat menanam karang yang menyerupai kursi, ada yang bilang mending bikin kursi asli di rumahnya. Tetapi saya tidak hiraukan. Karena saya pikir, kalau bukan anak-anak muda seperti saya, siapa lagi yang akan bergerak,” kata Amir.
Di awal, Amir menanam terumbu karang di Pulau Namo. Tetapi dalam perjalanannya, karang di kawasan itu rusak akibat tumpahan minyak dari kapal yang beroperasi di sekitar Pelabuhan Poto Tano. Saat ini, Amir berpindah ke Pulau Kenawa.
”Sejak 2020, mulai di Kenawa. Juga sudah menggunakan modul rangka spider (laba-laba). Totalnya saat ini ada 20 unit,” kata Amir.
Menurut Amir, jumlah rangka spider untuk menanam lagi terumbu karang memang masih sedikit. Hal itu karena pengelolaannya secara swadaya. Apalagi biayanya cukup mahal, yakni Rp 250.000 per unit. Amir kadang harus merogok kocek sendiri untuk itu.
Meski demikian, Amir tidak kehilangan akal. Menanam karang menjadi salah satu kegiatan yang ditawarkan ke wisatawan, terutama wisatawan asing. Kesempatan itu juga digunakan Amir untuk mengedukasi mereka tentang pentingnya menjaga karang.
”Saat saya mengajar wisatawan asing untuk menyelam, misalnya, saya perlihatkan dan jelaskan kalau karang-karang yang rusak itu bekas saya ngebom dulu,” kata Amir.
Menurut Amir, ia tidak malu jika wisatawan mengetahui ia pernah merusak karang di Gili Balu. Tetapi itu sudah berlalu. Sekarang, ia sudah menyadari pentingnya menjaga atau konservasi terumbu karang. Harapannya, semakin banyak orang yang sadar bahwa merusak karang itu gampang, tetapi memperbaikinya sulit.
Meski baru berjalan sekitar lima tahun, upaya Amir bersama kelompoknya mulai memperlihatkan hasil. Misalnya, berbagai jenis ikan kini mulai kembali ke kawasan tersebut. ”Selain itu, dulu saat masih ada pengeboman, penyu tidak ada. Sekarang, sudah ada lagi. Kalau berenang, kita bisa ketemu,” kata Amir.
Amir, yang mengaku tidak lulus sekolah dasar, berharap upaya itu semakin berdampak. Tidak hanya melestarikan kawasan perairan Gili Balu, tetapi juga memperbaiki kehidupan masyarakat Poto Tano. Khususnya dari kegiatan pariwisata. ”Saya ingin, masyarakat Poto Tano punya kehidupan yang lebih baik. Apalagi saya percaya, mereka punya potensi yang luar biasa. Tinggal bagaimana terus mendorong mereka,” kata Amir.
Amiruddin
Lahir: Poto Tano, NTB, 31 Desember 1985
Pendidikan terakhir: SD (Tidak lulus)
Sumber: https://www.kompas.id/baca/nusantara/2023/08/07/mantan-pengebom-ikan-yang-kini-menyelamatkan-karang
- Log in to post comments