BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Tantangan Besar Pemerintahan Baru dalam Meningkatkan Mutu Pendidikan Nasional

Peringkat PISA Indonesia konsisten turun sejak tahun 2015. Memburuknya kondisi pendidikan Indonesia kini jadi beban yang akan diwariskan di pemerintahan berikutnya.

Perjalanan kepemimpinan baru resmi dimulai pascapelantikan Presiden dan Wakil Presiden, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, pada Minggu, 20 Oktober 2024. Di hari berikutnya, Presiden melantik menteri Kabinet Merah Putih yang jumlahnya meningkat dari kepemimpinan sebelumnya, yaitu 49 kementerian. Selanjutnya, diikuti pelantikan 56 wakil menteri sehari setelahnya.
 
Terdapat beberapa perombakan dalam susunan kementerian pada periode pemerintahan saat ini. Tidak ketinggalan pula Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi yang kini dipecah menjadi tiga kementerian, yaitu Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan teknologi; serta Kementerian Kebudayaan.

Meski urgensi pemecahan kementerian tersebut masih menjadi polemik, di sisi lain ada harapan baru bagi kemajuan pendidikan nasional dengan hadirnya beberapa sosok yang dekat dunia edukasi. Ditunjuknya Prof Dr Abdul Mu’ti sebagai Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah hingga Stella Christie sebagai Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi turut menarik perhatian publik. Pasalnya, sosok-sosok ini lekat dengan dunia profesional pendidikan.

Di akhir periode kepemimpinan presiden sebelumnya, capaian pendidikan Indonesia di bawah Menteri Nadiem Makarim hangat diperbincangkan pascaviralnya beberapa konten di media sosial. Viralnya beberapa konten yang dibuat oleh beberapa kreator mengenai sejumlah pertanyaan pengetahuan dasar pada anak-anak sekolah dasar hingga sekolah menengah menjadi perbincangan publik. Melalui konten tersebut banyak anak-anak siswa sekolah tidak dapat menjawab pertanyaan dasar yang ditanyakan.

Fenomena tersebut seakan-akan menimbulkan pertanyaan besar mengenai kualitas pendidikan nasional saat ini. Banyak kritik yang terlontar kepada Kemendikbudristek sebagai institusi yang bertanggung jawab pada mutu pendidikan di Indonesia. Terkait beberapa kasus yang menyangkut kebijakan pendidikan, menteri sebelumnya, yakni Nadiem Makarim, telah dipanggil oleh Komisi X DPR RI beberapa waktu silam. Lembaga legislatif itu mempertanyakan tentang sejumlah hal, di antaranya kebijakan Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM), RUU Sisdiknas, hingga kinerja Kemendikbud Ristek dan penyerapan anggaran.

Pertanggungjawaban dari Kemendikbudristek itu sangat diperlukan karena nyatanya kondisi pendidikan nasional tampaknya sedang mengalami tantangan degradasi penurunan kualitas. Tidak hanya tecermin dari fenomena konten viral itu saja, tetapi lebih serius lagi bahwa mutu pendidikan Indonesia secara global juga kian merosot. Indikasinya terlihat dari hasil Survey Programme for International Student Assessment (PISA), di mana skor Indonesia relatif berada di jajaran bawah dunia. Secara global, pada 2022 posisi Indonesia berada diurutan ke-66 dari 81 negara yang diteliti.

Kualitas pelajar Indonesia
Semakin menurunnya kondisi pendidikan Indonesia turut digambarkan dalam hasil evaluasi PISA yang merupakan hasil dari kajian oleh Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD). Melalui survei tingkat kemampuan membaca, matematika, dan sains yang dilakukan kepada anak usia 15 tahun menunjukkan terjadi tren penurunan skor di Indonesia dari tahun 2015.

Di tingkat ASEAN, Indonesia konsisten di posisi kelima di bawah negara tetangga, seperti Singapura, Vietnam, Malaysia, dan Thailand. Skor perolehan Indonesia terpaut jauh jika dibandingkan dengan Singapura yang merupakan peringkat satu dunia. Bahkan, secara global, perolehan skor Indonesia di semua bidang berada jauh di bawah rata-rata negara yang diteliti.

Penurunan di semua bidang yang terjadi secara konsisten ini merupakan sinyal buruk bagi kualitas pendidikan indonesia. Dalam bidang matematika, misalnya, di Indonesia sendiri hanya terdapat 18 persen siswa yang mencapai level dua dan selebihnya masih berada pada level satu. Kecakapan 82 persen siswa yang berada pada level 1 ini baru sebatas bagaimana siswa hanya mampu menyelesaikan soal-soal matematika sederhana. Mereka juga baru mampu mengenali angka atau paparan data yang jelas dari tabel dan diagram sederhana serta dapat menerapkan operasi dasar.

Ada sejumlah alasan yang menyebabkan masih relatif rendahnya capaian kualitas pendidikan nasional. Salah satunya karena dampak pandemi pada awal tahun 2020 hingga 2022 di mana ada sejumlah jam pelajaran yang hilang (learning loss) sehingga membutuhkan proses perbaikan kualitas yang cukup panjang. Learning loss ini mencerminkan hilangnya kemampuan yang telah dikuasai para siswa di berbagai negara.

Jika dilihat dari studi INOVASI tahun 2022, Indonesia mengalami indikasi kehilangan hasil belajar kisaran 0,40 standar deviasi atau setara 5-6 bulan pembelajaran untuk bidang literasi dan numerasi. Angka ini terpaut jauh jika dibandingkan dengan Amerika Serikat dengan standar deviasi 0,14 dan China 0,22. Hal ini menunjukkan adanya kesenjangan (learning gap) antara kemampuan belajar siswa dan standar yang ditetapkan nasional ataupun internasional. Tidak semua siswa dapat mengikuti hasil dari kurikulum darurat (kurikulum saat pandemi) akibat banyaknya kendala fasilitas akses internet atau perangkat pendukung yang memadai.

Melalui studi yang dilakukan INOVASI pada tahun ajaran 2020/2021 di bidang numerasi terdapat 22 persen siswa atau setara dengan satu dari lima siswa yang memenuhi standar kurikulum darurat. Di bidang literasi hanya ada satu dari tiga siswa tingkat dua yang memenuhi standar indikator dari Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Data tersebut menunjukkan masih banyak siswa yang belum bisa melakukan operasi hitung sederhana dan bahkan belum mampu membaca teks sederhana dengan lancar.

Rumitnya masalah pendidikan
Masih banyaknya pekerjaan rumah bagi pemerintahan selanjutnya terkait persoalan pendidikan. Tidak hanya kualitas siswa yang menjadi beban berat perbaikan pendidikan, tetapi juga masih banyak permasalahan yang belum terselesaikan. Tidak terselesaikannya masalah ini turut menyumbang rapor merah bagi pemerintahan sebelumnya. Rangkaian permasalahan pendidikan mulai dari permasalahan struktural hingga output pendidikan belum juga menemukan titik terang.

Permasalahan-permasalahan ini turut memantik banyak kritik dari berbagai pihak. Salah satunya dari Wakil Presiden ke-10 dan 12 RI Jusuf Kalla, yang dalam beberapa kesempatan melayangkan kritikan mengenai kinerja Nadiem sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Ia menyoroti mengenai kurangnya pengalaman Nadiem dalam bidang pendidikan serta tak ada aksi Nadiem yang meninjau langsung turun ke daerah. Kurikulum dengan konsep Merdeka Belajar juga turut menjadi sasaran kritik karena dinilai tidak tepat diterapkan di Indonesia.

Ketimpangan fasilitas pendidikan yang ada di Indonesia menjadikan konsep tersebut sulit terealisasi. Sekolah-sekolah di daerah perkotaan, khususnya Pulau Jawa, memiliki fasilitas pendidikan yang lebih baik, tenaga pendidikan yang memadai, serta akses terhadap teknologi lebih terjangkau dengan baik. Padahal, menurut, data Kemendikbudristek, masih terdapat 60 persen sekolah di Indonesia yang belum memiliki infrastruktur yang layak, seperti perpustakaan, laboratorium, dan akses internet yang memadai.

Ketimpangan ini juga terlihat dari distribusi tenaga pengajar atau guru yang belum merata. Apalagi, di daerah dengan status wilayah 3T atau daerah tertinggal, terdepan, dan terluar. Pun demikian dengan kesejahteraan para guru dan fasilitas pendukungnya. Data BPS menunjukkan bahwa sekitar 25 persen guru Indonesia yang masih berstatus non-PNS atau guru honorer ditempatkan di daerah-daerah dengan fasilitas pendidikan yang terbatas. Hal ini tentu saja akan menimbulkan persoalan baru lainnya, seperti kelayakan hidup para guru dan kualitas pendidikan yang dihasilkan.

Persoalan pelik itu kian diperumit lagi dengan adanya sejumlah kebijakan yang justru menimbulkan polemik, bukan menghasilkan capaian yang akseleratif. Ada beberapa kebijakan kontroversial terkait perubahan sistem pendidikan di tingkat dasar, menengah, hingga perguruan tinggi yang ramai dikeluhkan banyak pihak, terutama siswa ataupun pendidik.

Capaian perkembangan pendidikan Indonesia selama 10 tahun terakhir perlu menjadi bahan evaluasi bagi pemerintah baru saat ini. Turunnya kualitas siswa dalam survei terakhir PISA menjadi catatan penting mengenai degradasi mutu sistem pendidikan di Indonesia. Hadirnya sejumlah sosok yang lekat dengan dunia akademik yang kini memimpin institusi pendidikan harapannya akan terus membenahi dan meningkatkan mutu para siswa sekolah.

Bisa jadi, sistem pendidikan yang berlaku saat ini akan dikoreksi dan diubah dengan paradigma baru yang lebih sesuai dengan kondisi terkini Indonesia.

 

Sumber: https://www.kompas.id/baca/riset/2024/10/26/tantangan-besar-pemerintahan-baru-dalam-meningkatkan-mutu-pendidikan-nasional?open_from=Riset_Page