oleh Ebed de Rosary [Lembata] di 22 July 2019
- Masyarakat di Desa Lamatokan, yang hidup di pesisir Teluk Hadakewa, Pulau Lembata, Nusa Tenggara Timur melakukan revitalisasi adat untuk melindungi laut yang disebut muro, atau larangan tangkap di sebuah wilayah laut untuk memberi kesempatan ikan untuk beregenerasi.
- Sejak aturan muro diberlakukan, nelayan mengaku hasil tangkapan menngkat. Ikan yang semakin banyak di wilayah larangan tangkap kemudian menyebar di zona yang diperbolehkan untuk ditangkap.
- Muro juga efektif dalam mencegah masuknya nelayan dari luar daerah yang melakukan pemboman, potas dan praktik penangkapan ikan tak ramah lingkungan.
Peresmian muro dilakukan lewat ritual adat, suatu kearifan lokal dengan meminta restu leluhur dan sang maha pencipta.
Puluhan lelaki dan perempuan memakai busana tenun ikat berkumpul di depan Kantor Desa Lamatokan. Pagi itu (12/05) rencananya akan digelar ritual sumpah adat untuk meresmikan wilayah muro yang berada di ujung timur Desa Lamatokan.
Meski muro diberlakukan untuk wilayah pesisir laut, tapi ritual adatnya dilakukan di lokasi di wilayah perbukitan, namang namanya. Letaknya di kaki gunung api Ile Lewolotok.
Tempat ini dipercaya sebagai permukiman kuno leluhur Lamatokan. Dengan mengadakan ritual di lokasi ini, dipercaya restu para leluhur dan Lewotana, sang pencipta, bakal diperoleh.
Tak lama kemudian, kendaraan penjemput rombongan berdatangan. Ada roda dua maupun roda empat. Namun ada juga warga yang memilih berjalan kaki sejarak 3 kilometer di medan yang menanjak itu.
Saya menumpang sebuah mobil pick up milik warga setempat. Di 400 meter terakhir, perjalanan harus ditempuh berjalan kaki karena melewati jalur setapak menuju namang.
Ternyata namang berbentuk tanah lapang seluas 50 meter persegi. Barang bawaan yang dibawa rombongan seperti jantung dan buah pisang, arak, tuah, sirih, pinang, ayam kampung dan seekor babi diletakkan di pelataran tanah yang dikeramatkan itu.
Tetua adat Desa Lamatokan, Kecamatan Ile Ape Timur, Kabupaten Lembata sedang membuat ritual adat puro di Namang untuk mengesahkan muro laut,daerah larangan tangkap ikan di laut kawasan Teluk Hadakewa.Foto: Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia.
Tak lama beberapa doa dilantunkan pada leluhur, setelahnya tetua adat memotong ayam. Darahnya diperciki di batu ceper sekeliling namang. Di dahan pohon, diikat jantung pisang. Sirih pinang diletakkan di batu yang ditanam berdiri di tengah namang.
Pisang lalu dibakar bersama daging babi yang disembelih. Setelah memberi makan leluhur, pisang dan daging babi pun disantap bersama. Sisanya lalu dibagi kepada semua yang hadir.
“Setelah sumpah adat, maka barangsiapa yang melanggar akan terkena tulah atau kutukan,” sebut Philipus Anakoda (73). Dia Ketua Lembaga Pemangku Adat Desa Lamatokan.
Setelah upacara di namang selesai, ritual berlanjut di pesisir pantai sebelah timur Desa Lamatokan. Tepatnya di ujung jalan desa, di batas pesisir hutan bakau. Lokasi muro berjarak 150 meter dari pesisir pantai.
Setelah menyembelih ayam dan membuat ritual, sebatang bambu lengkap dengan ranting dan daunnya ditancap di pasir di kawasan hutan bakau. Perahu pun segera meluncur ke laut memasang pelampung sebagai tanda kawasan muro atau laut yang dilindungi dan tak boleh dimasuki.
Rangkaian seluruh ritual hari itu pun selesai.
Ikan-ikan karang mulai kembali di ekosistem yang mulai terpulihkan di Teluk Hadakewa. Foto: Ridzki R Sigit/Mongabay Indonesia
Meskipun praktik muro telah disepakati beberapa waktu lalu, peresmian secara adat baru dilaksanakan belakangan. Prosesi ini merupakan bagian bahwa muro dilegalkan secara adat.
Dengan muro hasilnya mulai dirasakan. Ikan-ikan mulai berdatangan. Ekosistem terumbu karang pun mulai memulihkan diri, sejak era penggunaan bom di waktu lalu.
“Sejak adanya muro, dan terbentuknya Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas), hasil tangkapan meningkat,” sebut Yosef Magun (64). Dia Ketua Kelompok Nelayan Cinta Bahari Desa Lamatokan.
Ikan-ikan di wilayah muro, punya kesempatan beranakpinak untuk selanjutnya menyebar ke wilayah tangkap di luar muro.
Yosef menyebut dirinya menjadi nelayan sejak tahun 1991. Dia sudah kenyang pengalaman menangkap ikan di Teluk Hadakewa.
Kelompok yang diketuainya memiliki 6 anggota. Dua minggu sekali uang hasil tangkapan dibagi. Satu orang anggota minimal bisa kantongi Rp2 juta. Penghidupan nelayan pun kian membaik. Padahal dulu dia pontang-panting membiayai sekolah anak dan memenuhi kehidupan sehari-hari.
“Ikan semakin bertambah, yang penting cara tangkapnya harus ramah lingkungan. Nelayan juga sudah punya rumpon sebagai tempat kumpulnya ikan,” jelasnya.
Stefanus Ola, sesama nelayan menyebut dia dapat memperolah pemasukan antara Rp4-5 juta sekali melaut. Dia bilang antara bulan Desember sampai April adalah waktu baik menangkap ikan. Stefanus bilang ikan yang umum ia tangkap kembung, tembang dan selar.
Yang menarik di Lamatokan, kata Stefanus ada aturan “orang desa jadi prioritas”. Nelayan yang baru pulang menangkap ikan, harus mendahulukan menjualnya untuk warga desa.
Jika ada lebihan tangkapan baru dijual pada pembeli dari luar desa atau penampung di pasar Lewoleba.
Stefanus Ola, Ketua Kelompok Nelayan Gewayan Tanah di Desa Lamatokan. Nelayan mendapat keuntungan dari lingkungan laut yang lebih terjaga. Foto: Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia.
Indikasi bahwa ikan mulai kembali diyakini oleh Wahyu Mulyono. Dia seorang marine biologist sekaligus praktisi underwater cameraman yang beberapa hari sebelumnya menyelam di beberapa titik yang ada di pesisir Lamatokan.
Sebutnya, perairan di Teluk Hadakewa dulunya bekas hancur, namun perlahan sekarang sudah mulai pulih. Ikan-ikannya juga sudah mulai banyak. Dia memperkirakan jika dapat dijaga maka dalam tahun-tahun kedepan ekosistem laut dapat kembali seperti semula.
“Seperti di kawasan Rubu Kuya, ada gua yang berbentuk karang meja. Masih banyak ikan-ikan besar, itu tempat yang tepat untuk perkembangbiakan ikan. Sangat bagus kalau dijadikan muro atau larangan menangkap ikan selamanya di daerah tersebut,” tuturnya.
Selain wilayah yang memang akan dijadikan wilayah muro permanen, seperti Rubu Kuya dan Ika Berewae, maka beberapa wilayah laut disepakati untuk dibuka tutup.
Saat wilayah muro dibuka, -umumnya 3-5 bulan, nelayan dapat membeli kupon di desa seharga Rp150 ribu. Kupon ini berlaku untuk jangka waktu penangkapan sehari.
“Saat dibuka, ikan lebih banyak dibanding yang hidup di luar muro. Tahun lalu saya beli kupon sampai Rp10 juta lebih. Hasil tangkapannya sampai ratusan juta,” tambah Yosef.
Meski demikian, Yosef bilang wacana perluasan muro untuk beberapa tempat lain belum mendapat kata sepakat. Alasannya nelayan perlu antisipasi musim kencang angin terjadi, saat mereka tak bisa pergi jauh melaut.
“Saat angin kencang daerah sekitar pantai utara sedikit lebih tenang. Nelayan pasti mencari ikan di tempat itu. Wilayahnya dekat pantai,” ungkapnya.
Bekas perusakan karang akibat bom dan alat tangkap tidak ramah lingkungan yang dilakukan beberapa dekade lalu, masih dapat dijumpai sisa-sisanya di perairan Teluk Hadakewa. Foto: Ridzki R Sigit/Mongabay Indonesia
Pemerintah dan Tokoh Adat Dukung
Thomas Ola Langoday, Wakil Bupati Lembata mendukung penuh inisiatif yang dilakukan oleh masyarakat ini. Muro sebutnya, cara ampuh untuk mencegah kerusakan alam. Thomas berkomitmen untuk mendorong munculnya Peraturan Daerah untuk perlindungan laut, mangrove dan biota laut lainnya.
“Alam laut Kabupaten Lembata penuh kekayaan sehingga perlu dipikirkan cara pelestariannya. Mudah-mudahan nanti [dapat dibuat] Perda di lokasi muro lainnya,” sebutnya.
Frans Kota Making (65), tokoh adat dan tuan tanah senang jika pemda dapat mendukung inisiatif yang bergulir dari warga.
“Sebagai ketua adat, tantangan memang selalu ada. Kami selalu berikan pemahaman sehingga masyarakat yang kontra lama kelamaan paham.”
Frans menyebut sejak adanya pemberlakuan muro, tak lagi dijumpai nelayan dari luar wilayah yang melakukan pemboman di perairan Teluk Hadakewa. Dia meminta agar jangan sampai desa lainnya di sekitar Teluk Hadakewa tidak melaksanakan muro.
“Bakau sebagai tempat ikan bertelur [juga penting] dilarang tebang. Lebih bagus kita menanam, menambah. Daripada merusak yang ada,” ucapnya.
Peta Muro atau larangan menangkap ikan menggunakan alat tangkap modern untuk waktu tertentu di desa Lamatokan kecamatan Ile Ape Timur kabupaten Lembata di kawasan Teluk Hadakewa. Foto : Yayasan Pengembangan Masyarakat Lembata (Barakat)/Mongabay Indonesia.
- Log in to post comments