BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Menanti Jadi Tuan di Laut Sendiri

RAJA AMPAT
Menanti Jadi Tuan di Laut Sendiri
8 Januari 2017 Ikon komentar 0 komentar

Masyarakat hukum adat Raja Ampat yang mendiami empat pulau utama Batanta, Batan Salawat (Salawati), Batan Wage (Waigeo), dan Batan Mee (Misool) beserta pulau-pulau kecil di sekitarnya mulai menggunakan kewenangannya dalam otonomi khusus.

KOMPAS/ICHWAN SUSANTOKepulauan Wayag di Raja Ampat, Papua Barat, dilihat dari pantainya yang putih bersih, Rabu (7/12). Raja Ampat jadi surga destinasi selam dunia. Kini, masyarakat membuat peraturan untuk melindungi kawasan itu dari perusak dan pencuri biota laut. Hal itu demi masa depan.

Sejak 6 Desember 2016, masyarakat hukum adat melalui lembaga Dewan Adat Suku Maya menghasilkan Peraturan Adat Suku Maya Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perlindungan Ikan dan Biota Laut dan Potensi Sumber Daya Alam Lainnya di Wilayah Pesisir dan Laut Dalam Petuanan Adat Suku Maya Raja Ampat. Itu menjadi hukuman berlapis bagi para perusak laut.

Selain hukuman pidana oleh aparat hukum, para pelaku dihadapkan pada sidang adat yang berhak menentukan denda hingga hukuman sosial. Para pelaku didenda, kapal dan alat tangkapnya disita warga.

Pelaku diserahkan ke aparat untuk diproses hukum. Perahu/kapal beserta alat tangkapnya baru bisa diambil setelah membayar sejumlah denda yang ditetapkan musyawarah adat.

Kristian Thebu, Ketua Dewan Adat Suku Maya-suku penghuni mula-mula wilayah Raja Ampat yang terbagi lebih dari 20 subsuku-mengatakan, peraturan adat itu melalui lebih dari 80 pertemuan dengan masyarakat kampung selama tiga tahun. "Kami gemas, berulang kali pengebom ikan, penangkap hiu dan manta tertangkap, tetapi proses hukumnya tidak jelas. Tak sampai pengadilan," ujarnya.

Penanganan pelanggaran butuh biaya besar dan kompleks. Bahkan, sering kali pelaku hanya ditahan 2-3 hari lalu dilepaskan. "Penjahat tidak jera. Masyarakat makin sulit mencari ikan dan tempat-tempat wisata bagus jadi rusak," papar Thebu.

Syafrudin Sabonama, anggota DPRD Kota Sorong mengungkapkan, orang asli Papua semakin tersisih. Orang-orang Suku Moi terus kehilangan ulayat karena bebas mentransaksikan lahannya. "Orang-orang Moi sekarang adanya di 'ujung-ujung bumi (ke pedalaman)'. Jangan sampai suku asli Raja Ampat bernasib sama," ujarnya.

Biasanya, pemilik ulayat menjual tanahnya sangat murah karena minim informasi dan imingiming uang. Tahun 2000-an, berdasarkan investigasi Yayasan Telapak, 1 hektar tanah hanya dihargai satu pisang goreng.

Kini, Waisai, ibu kota Raja Ampat kian padat dibandingkan dengan ketika Kompas pertama mengunjungi tahun 2007. Pembangunan infrastruktur, permukiman, dan tempat usaha yang dikelola pendatang menjamur.

Pelepasan ulayat terkadang bermasalah dan berujung pengadilan. Orang Papua yang dilindungi UU Otonomi Khusus masih mudah melepas ulayatnya.

Raja Ampat, kabupaten muda pemekaran dari Sorong, mulai menunjukkan perhatian pada nasib orang asli Papua, khususnya kedaulatan adatnya terhadap laut dengan tetap menjalankan hukum negara. Perhatian pemda ditunjukkan dengan kehadiran Wakil Bupati Raja Ampat Manuel Piter Urbinas selama dua hari penuh dalam sidang Suku Maya.

"Kami dukung peraturan adat ini jadi peraturan daerah. Ini titik kecil bagi masyarakat asli Raja Ampat untuk mengelola sumber daya alamnya yang lain seperti hutan," kata Urbinas.

Laut jadi prioritas karena 80 persen wilayah Raja Ampat merupakan laut yang tersohor sebagai surga penyelaman dunia. Sayangnya, masih ada perburuan hiu dan manta serta pengeboman ikan dan karang. Meity Mongdong, Senior Manager Conservation International Indonesia mengatakan, peraturan adat itu akan menambah rasa memiliki masyarakat setempat. Semoga.

(ICHWAN SUSANTO)

Sumber: http://print.kompas.com/baca/iptek/lingkungan/2017/01/08/Menanti-Jadi-Tuan-di-Laut-Sendiri

Related-Area: