Oleh M. GHUFRAN H. KORDI K.
Mereka yang peduli perempuan dan anak tidak hanya berada di kota-kota besar. Pun tidak hanya terbatas pada lembaga/organisasi besar yang mempunyai nama yang populer dan prestisius. Di kota-kota kecil yang berada di daerah terpencil dan pinggiran pun terdapat inidvidu-individu yang bekerja keras untuk kepentingan perempuan dan anak.
Mereka tidak mendapat liputan dari media. Mereka juga tidak selalu mendapat apresiasi dari pihak-pihak yang berkewajiban mengurusi permasalahan perempuan dan anak. Namun mereka terus bekerja mengurus dan membantu perempuan dan anak, karena apa yang dilakukannya tidak mengharapkan liputan atau apresiasi, tetapi mereka mengharapkan kepedulian dari pihak lain.
Kepedulian mereka terhadap perempuan dan anak tidak mendatangkan materi, bahkan tidak jarang membebani mereka, karena mereka harus merogoh kocek jika upaya memberikan perlindungan terhadap perempuan dan anak membutuhkan biaya. Namun, pilihan untuk mengurus perempuan dan anak yang menjadi korban kekerasan, eksploitasi, dan sejenisnya telah mantap dan tanpa pamrih.
Florentia Abuk adalah salah satu dari sedikit perempuan yang peduli pada perempuan dan anak. Perempuan yang akrab dipanggil Mama Follo ini adalah pendiri Forum Peduli Perempuan dan Anak (FPPA). FPPA dikenal sebagai salah satu lembaga yang mengadvokasi dan mendampingi perempuan dan anak.
Karena kepedualiannya itu, Mama Follo dipilih menjadi Ketua Rumah Aman di Kabupaten Belu. Rumah Aman adalah shelter miliki Pemerintah Kabupaten Belu yang didirikan tahun 2010 untuk menampung sementara bagi perempuan dan anak yang membutuhkan perlindungan, penanganan, dan rehabilitasi.
Guru ke Politik
Untuk ukuran aktivis, Mama Follo tidak muda lagi. Perempuan yang lahir di Lahurus pada 23 April 1942 ini adalah seorang pensiunan guru. Tahun 1976 – 1990 Mama Follo bekerja sebagai guru di Sekolah Dasar (SD) Kristen Atambua I. Mama Follo pernah menjabat sebagai kepala sekolah di SD tersebut. Selama menjadi guru, Mama Follo juga aktif sebagai pengurus PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia) Kabupaten Belu.
Setelah pensiun dari pengabdiannya sebagai “pahlawan tanpa tanda jasa”, Mama Follo memutuskan terjun menjadi politisi. Masuk dunia politik di jaman Orde Baru, ibu dari lima anak ini ingin melakukan sesuatu untuk perempuan dan anak melalui parlemen. Masuk Partai Golkar tahun 1991, Mama Follo berhasil duduk sebagai anggota DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) Kabupaten Belu pada Pemilihan umum (Pemilu) tahun 1992.
Ketika masuk di dunia politik, politisi laki-laki melihatnya tidak mempunyai kemampuan dan wawasan. Politisi laki-laki umumnya memandang perempuan sebagai pihak tidak layak masuk dalam dunia politik, apalagi duduk di parlemen. Namun, setelah duduk di DPRD, pandangan miring dan negatif dari politisi laki-laki mulai berkurang. Itu karena Mama Follo mempunyai kemampuan yang cukup diperhitungkan. Pengalamannya sebagai guru, aktif di PGRI, dan di organisasi gereja merupakan modal besar baginya untuk bekiprah di parlemen.
Perempuan yang juga aktif di Wanita Katolik Keuskupan Atambua ini menjadikan ranah politik sebagai pengabdian baru setelah pensiun dari guru. Menurutnya, di mana saja dan kapan saja, setiap orang dapat mengabdi dan berbuat untuk kepentingan banyak orang. Politik merupakan salah satu tempat untuk mengabdi. Jalan pengabdian selalu membutuhkan kerja keras di tengah berbagai tantangan yang datangnya dari berbagai arah. Namun, pengabdian mengharuskan setiap orang untuk melewati berbagai tantangan itu.
Belum Banyak Perubahan
Kursi DPRD tidak membuat Mama Follo silau. Lima tahun (1992 – 1997) menjadi anggota DPRD, dia memutuskan tidak mencalonkan diri lagi pada Pemilu 1997. Dia memilih mengabdi di luar politik. Ia ingin perempuan-perempuan yang lebih muda terjun dalam politik, sehingga dunia politik tidak terus-menerus dikuasai laki-laki.
Menurut Mama Follo, laki-laki selalu menganggap perempuan tidak mempunyai kapasitas untuk menjadi pemimpin. Laki-laki juga tidak memberi kesempatan, bahkan menghambat perempuan untuk duduk di lembaga-lembaga publik. Karena itu, perempuan yang harus berani dan mengambil inisiatif untuk tampil di publik. Bagi Mama Follo, tidak sedikit perempuan yang mempunyai kapasitas untuk duduk di berbagai jabatan publik, namun mereka tidak berani dan menganggap dirinya tidak mampu sehingga tidak berani tampil. Di pihak lain, dukungan dari sesama perempuan juga sangat minimal.
Menurut Mama Follo, pendidikan adalah tempat untuk mendidik dan memperkuat perempuan. Perempuan harus dipertahankan selama mungkin di bangku pendidikan seperti laki-laki. Dengan begitu perempuan juga mempunyai kesempatan dan kapasitas yang sama dengan laki-laki. Jika perempuan telah memperoleh kesempatan yang sama dengan laki-laki dalam memperoleh pendidikan, barulah perempuan dapat berkompetisi dengan laki-laki. Selama tingkat pendidikan perempuan belum setara dengan laki-laki, sulit bagi perempuan bersaing dengan laki-laki.
Saat ini di DPRD Kabupaten Belu terdapat 11 perempuan. Ini suatu kemajuan, namun bagi Mama Follo belum banyak perubahan yang terjadi. Bertambahnya jumlah perempuan yang duduk di DPRD tidak secara langsung mengubah cara berpikir laki-laki dalam melihat perempuan. Laki-laki tetap memandang perempuan tidak mempunyai kemampuan untuk berpartisipasi di publik. Karenanya perempuan yang harus menunjukkan kapasitas itu. Namun, peningkatan jumlah secara kuantitatif tidak selalu linier dengan kualitas, karena itu diperlukan sejumlah upaya untuk membantu perempuan meningkatkan kualitas, tentu tidak harus selalu meminta diberi, tetapi itu harus diperjuangkan dengan bekerja dan berusaha keras.
Tetap Peduli Perempuan dan Anak
Pensiun dari dunia politik, Mama Follo merambah dunia yang dekat dengan aktivitas awalnya sebagai guru. Pada saat menjadi guru, Mama Follo adalah pendidik yang juga menjadi pengayom bagi murid-muridnya. Maka saat ini, Mama Follo juga adalah pengayom bagi perempuan dan anak yang menjadi korban kekerasan, eksploitasi, perdagangan (trafiking), dan sebagainya.
Sebagai Ketua Rumah Aman, Mama Follo mengadvokasi dan mendampingi perempuan dan anak yang mendapat berbagai perlakuan diskriminatif di masyarakat. Rumah Aman telah menangani berbagai kasus perempuan dan anak, di antara yang paling menonjol adalah KDRT (kekerasan dalam rumah tangga), kekerasan seksual terhadap perempuan, kekerasan terhadap anak, buruh migran, dan trafiking.
Kasus-kasus tersebut membutuhkan penanganan yang komprehensif, tidak bisa ditangani satu per satu, tetapi harus mempunyai sistem yang berjenjang dan terintegrasi. Masyarakat juga harus dididik untuk merespon berbagai persoalan perempuan dan anak di tingkat bawah atau di masyarakat sendiri. Karena itu, Mama Follo sangat mengapresiasi pembentukan Kelompok Konstituen (KK) yang difasilitasi oleh PPSE-KA (Panitia Pengembangan Sosial Ekonomi-Keuskupan Atambua) sebagai bagian dari Program MAMPU (Maju Perempuan Indonesia untuk Penanggulangan Kemiskinan). Menurutnya, lembaga seperti ini dibutuhkan agar masyarakat dapat menangani permasalahan di tingkat bawah. Karena itu, penguatan KK menjadi sesuatu yang diperlukan untuk menjadikan mereka sebagai tenaga-tenaga terampil yang peduli dan memperjuangkan kebutuhan dan kepentingan mereka.
Menurut Mama Follo, di tingkat pemerintah harus ada instrumen hukum yang dapat diimplementasikan untuk melindungi dan memberdayakan perempuan dan anak. Tentu dibutuhkan lembaga yang kuat untuk mengkoordinasikan implementasi itu. Mama Follo menilai apa yang didorong oleh PPSE-KA dalam Program MAMPU sudah berada di jalan yang tepat untuk mengisi kekosongan selama ini.(***)
- Log in to post comments
- 498 reads