KESETARAAN JENDER
Tukang Ojek Pun Dilibatkan
Ikon konten premium Cetak | 22 Februari 2016 Ikon jumlah hit 82 dibaca Ikon komentar 0 komentar
Di dalam budaya patriarki, berlangsung ketidakseimbangan relasi kekuasaan antara laki-laki dan perempuan. Budaya patriarki semacam ini terjadi pada mayoritas suku di Indonesia. Namun, dengan berbagai cara, kondisi itu bisa diatasi sehingga keadilan dan kesetaraan jender bisa dicapai.
Pada praktiknya, budaya patriarki memungkinkan terjadinya hal-hal seperti kekerasan dalam rumah tangga, pembatasan hak perempuan untuk bersekolah atau mendapatkan layanan kesehatan, serta kekerasan seksual kepada anak-anak.
"Sebenarnya, perilaku tersebut terjadi karena baik laki-laki maupun perempuan sama-sama tidak menyadari hak-hak dan potensi yang mereka miliki," kata Yeni Perssulesy, Koordinator Divisi Penguatan Kapasitas Sanggar Suara Perempuan (SSP), ketika ditemui di Soe, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur, pada Rabu (17/2).
SSP merupakan lembaga swadaya masyarakat di Kabupaten Timor Tengah Selatan. Organisasi ini memperjuangkan kesetaraan jender di dalam berbagai bidang kehidupan.
Kurangnya pengetahuan, lanjut Yeni, juga terjadi dalam hal yang terkait kesehatan reproduksi, misalnya cara merawat istri yang sedang hamil, cara mencegah perilaku yang bisa mengakibatkan seseorang terkena HIV/AIDS, hingga cara membantu orang mendapatkan pemeriksaan kesehatan. Guna memastikan pengetahuan tersebut dipahami oleh kalangan seluas mungkin, penyebarannya dilakukan dengan menempuh jalur yang tidak biasa, yaitu melalui penyedia jasa transportasi umum.
Berdayakan ojek
Pada tahun 2010, SSP bekerja sama dengan Aliansi Laki-laki Baru untuk mengikutsertakan kaum laki-laki di Timor Tengah Selatan dalam upaya pemberdayaan perempuan. Akan tetapi, hal tersebut tidak cukup.
Oleh karena itu, SSP melakukan pendekatan kepada para tukang ojek dan sopir angkutan kota (angkot). "Tukang ojek dan sopir angkot setiap harinya bertemu dengan banyak orang. Mereka adalah agen penyebar informasi yang efektif dan efisien," terang Yeni.
Data Pemerintah Kabupaten Timor Tengah Selatan tahun 2011 menunjukkan bahwa mayoritas penduduk wilayah tersebut, yakni 39 persen, hanya memiliki ijazah SD. Pada kluster kedua, yang berjumlah 28 persen dari total penduduk Timor Tengah Selatan, mereka bahkan tidak memiliki ijazah.
Hal itu membuat metode penyuluhan dan ceramah tidak efektif. Justru penyebaran informasi melalui pertemuan setiap bulan berupa mengobrol santai membuat informasi lebih cepat dipahami.
SSP kemudian mendekati ketua-ketua pangkalan ojek dan angkot untuk mengumpulkan "anak buah" mereka. Pada awalnya, upaya ini menghadapi kesulitan karena jumlah peserta terus berkurang di setiap pertemuan.
"Akan tetapi, yang bertahan hingga kini adalah mereka yang benar-benar konsisten menjadi agen perubahan," kata Yeni.
SSP mencatat, hingga 2015, ada empat pangkalan ojek yang masing-masing beranggotakan 20 hingga 30 tukang ojek yang konsisten bermitra dengan SSP. Di antara para tukang ojek ini, ada pula yang merangkap sebagai ketua RT, ketua dusun, ketua kelompok doa, serta anggota majelis gereja.
Tugas mereka ialah menyampaikan informasi tentang pentingnya kerukunan dalam berumah tangga, kesetaraan hak, serta kesehatan reproduksi kepada sesama tukang ojek di pangkalan. Tugas ini dilakukan sambil mengobrol saat menunggu penumpang datang. Ketika membonceng penumpang, mereka juga menyampaikan informasi tersebut.
Menurut Yeni, di Timor Tengah Selatan tak ada lokalisasi untuk pekerja seks komersial. Namun, para tukang ojek mengetahui rumah-rumah yang menjalankan praktik terebut.
"Jadi, ketika ada penumpang yang minta diantar ke rumah tersebut, tukang ojek sambil memboncengi penumpang ini memberi tahu mengenai kesehatan reproduksi dan risiko HIV/AIDS beserta penyakit menular seksual lainnya," ujar Yeni.
Bahkan, sejak Juni 2015, menurut dia, para tukang ojek juga mulai mengantarkan teman ataupun kenalan mereka ke kantor SSP untuk mendapatkan layanan tes HIV/AIDS gratis.
Sosialisasi lewat siswa
Siswa SD hingga SMA sederajat juga diberdayakan di dalam penyebaran informasi. Bupati Timor Tengah Selatan Paul Mella mengungkapkan, di wilayahnya rutin diadakan lomba berpidato dan membuat lagu.
"Temanya mengenai kehidupan yang harmonis, kesetaraan jender, termasuk juga imbauan untuk menjaga perilaku yang positif agar tidak terkena risiko kesehatan reproduksi," ucap Paul.
Pada awalnya, ketika anak-anak tersebut berbicara, para orangtua masih ragu, terutama soal membuka kesempatan yang sama untuk anak perempuan. Namun, Paul meminta mereka untuk melihat fakta bahwa di dalam lomba-lomba ilmiah tingkat nasional dan internasional, anak-anak perempuan Indonesia juga berprestasi membanggakan.
"Selain di sekolah, sosialisasi mulai dilakukan dengan memasukkan pesan-pesan kesetaraan jender di dalam lagu-lagu tradisional yang dinyanyikan dalam berbagai perayaan," tutur Paul.
(Laraswati Ariadne Anwar)
Sumber: http://print.kompas.com/baca/2016/02/22/Tukang-Ojek-Pun-Dilibatkan
- Log in to post comments
- 690 reads