Akuntabilitas Rendah
Ada 31 Pemda Tidak Menyerahkan Laporan Kinerja
Ikon konten premium Cetak | 12 Februari 2016 Ikon jumlah hit 119 dibaca Ikon komentar 0 komentar
JAKARTA, KOMPAS — Nilai rata-rata akuntabilitas kinerja pemerintah daerah tahun 2015 masih rendah. Kondisi ini cukup mengkhawatirkan karena mayoritas pemerintah kabupaten/kota belum bisa mengelola anggaran dengan akuntabel di tengah meningkatnya transfer dana dari pusat ke daerah.
Akuntabilitas kinerja pemerintah kabupaten/kota tahun 2015 mencapai nilai rata-rata 46,39, naik tipis dari tahun 2014 yang tercatat 44,92. Nilai rata-rata pemda tersebut masih jauh di bawah akuntabilitas kinerja kementerian/lembaga (65,82) dan pemerintah provinsi (60,47).
Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB) mengevaluasinya bersama Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan inspektorat provinsi terhadap 466 pemda dari total 508 pemerintah kabupaten/kota.
Deputi Reformasi Birokrasi, Akuntabilitas Aparatur, dan Pengawasan Kemenpan RB Muhammad Yusuf Ateh di Jakarta, Kamis (11/2), mengatakan, nilai meningkat menunjukkan ada kesadaran pemda untuk meningkatkan akuntabilitas kinerja. Bagaimanapun, akuntabilitas kinerja terkait erat dengan tata kelola pemerintahan yang baik.
Sebanyak 31 dari 42 pemda tidak dievaluasi karena tak kunjung menyerahkan laporan akuntabilitas kinerja yang diminta Kemenpan RB. Daerah tersebut tersebar dari Aceh, Sumatera Barat, Lampung, Kalimantan Utara, Maluku Utara, Papua, dan Papua Barat. Adapun 11 pemda lagi merupakan daerah otonom baru yang belum bisa dievaluasi.
Pemerintah Kota Bandung, Jawa Barat, meraih nilai tertinggi. Pemkot Bandung pun memperoleh nilai A, yang merupakan pertama kali diraih pemkot sejak evaluasi kinerja diperkenalkan tahun 2004. Lima Pemkab mendapat nilai BB, yakni Sleman dan Bantul di Daerah Istimewa Yogyakarta, Badung (Bali), Tanjung Pinang (Kepulauan Riau), dan Sukabumi (Jabar).
Sementara pemkab yang memperoleh nilai D, di antaranya, Kupang (Nusa Tenggara Timur), Kolaka Timur (Sulawesi Tenggara), dan Seram Bagian Barat (Maluku). Evaluasi mencakup perencanaan dan kinerja, pelaporan, evaluasi, serta capaian kinerja. Dengan demikian, bisa diketahui sejauh mana pemda mengelola anggaran, tidak terjadi pemborosan, dirasakan rakyat, dan mampu mempertanggungjawabkannya.
"Namun, nilainya memang masih rendah karena tidak mudah mengubah pola pikir dan pola kerja pemerintah kabupaten/kota. Ditambah lagi di sejumlah daerah, kualitas sumber daya manusia belum bisa menunjang terciptanya akuntabilitas kinerja," kata Ateh.
Anggota Tim Independen Reformasi Birokrasi Nasional, Djohermansyah Djohan, mengatakan, masih buruknya akuntabilitas kinerja pemda mengkhawatirkan di tengah dana transfer pusat ke daerah yang kian besar.
Oleh karena itu, harus ada percepatan penguatan kapasitas pemda untuk meningkatkan akuntabilitas kinerja. Penguatan ini harus dilakukan oleh Kemenpan RB dan juga Kementerian Dalam Negeri selaku pembina pemerintah daerah. Jika tidak, besarnya dana yang ditransfer ke daerah dikhawatirkan akan percuma saja, tidak akan berdampak banyak untuk rakyat.
Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah juga harus ikut memberi perhatian pada penguatan kapasitas pemda. "Gubernur juga harus mengumumkan daerah yang akuntabilitas kinerjanya buruk sebagai bentuk sanksi," katanya.
KPK kawal APBD
Komisi Pemberantasan Korupsi akan mengawal perencanaan dan penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Sumatera Utara, Riau, dan Banten. Hal ini untuk meminimalisasi potensi korupsi akibat intervensi pemangku kepentingan dalam APBD.
Deputi Bidang Pencegahan KPK Pahala Nainggolan di Gedung KPK, Jakarta, mengatakan, pihaknya memilih tiga provinsi itu sebagai daerah dari KPK karena dinilai memiliki problem struktural korupsi. Hal ini, antara lain, terindikasi dari terjeratnya kepala daerah ketiga provinsi dalam kasus korupsi.
Sekretaris Daerah Banten Ranta Soeharta, Pelaksana Tugas Sekda Riau M Yafiz, dan Sekda Sumut Hasban Ritonga hadir untuk mendiskusikan hal itu di KPK. Pada gelombang kedua, KPK juga akan mengawal Aceh, Papua, dan Papua Barat yang memiliki APBD bernilai besar.
"Kami khawatir intervensi itu terjadi dalam bentuk pemaksaan kegiatan yang sebenarnya bukan yang dibutuhkan. Tetapi karena kenal dengan rekanan produsen produk A, dia paksakan. Kalau tidak, kemudian APBD disandera," kata Pahala. (gal/apa)
Sumber: http://print.kompas.com/baca/2016/02/12/Akuntabilitas-Rendah
-
- Log in to post comments
- 155 reads