Pers Harus Bangun Optimisme
Presiden: Media Massa Bisa Menjadi Cahaya Moral
Ikon konten premium Cetak | 10 Februari 2016 Ikon jumlah hit 291 dibaca Ikon komentar 4 komentar
MATARAM, KOMPAS — Dunia pers turut bertanggung jawab membangun bangsa dan meningkatkan daya saing di era globalisasi. Salah satunya dengan menyajikan pemberitaan yang beretika, membangun optimisme dan etos kerja, sehingga menghasilkan produktivitas tinggi.
Presiden Joko Widodo didampingi Ibu Negara Iriana Joko Widodo serta (dari kiri ke kanan) Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia Margiono, Ketua Dewan Pers Bagir Manan, dan Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara menghadiri puncak perayaan Hari Pers Nasional 2016, Selasa (9/2), di Pantai Kuta, Kawasan Ekonomi Khusus Mandalika, Lombok, Nusa Tenggara Barat.
"Di era kompetisi antarnegara saat ini, yang dibutuhkan kepercayaan. Investasi akan mengalir apabila ada kepercayaan dan salah satunya dihasilkan oleh media dengan membangun persepsi melalui pemberitaan," ujar Presiden Joko Widodo pada acara puncak peringatan Hari Pers Nasional 2016 di Pantai Kuta, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, Selasa (9/2).
Upaya membangun kepercayaan itu menjadi tantangan pada era kemerdekaan pers karena arus informasi mengalir deras, beragam, bahkan kadang menyesatkan dan mengganggu akal sehat. Informasi yang dimaksud yang tidak berdasarkan fakta, mengandung opini, bahkan kadang terjebak pada upaya mengejar sensasi semata.
Beberapa media massa daring (online), menurut Presiden, menyajikan pemberitaan yang tidak akurat karena mengejar kecepatan tayang. Selain itu, pemberitaan juga tidak berimbang, rancu antara fakta dan opini penulisnya, bahkan terkadang pemberitaan itu bersifat menghakimi.
Presiden berharap media massa, terutama televisi, bisa menjadi cahaya moral pembentuk karakter bangsa. Caranya dengan menyisihkan sebagian kecil waktu siaran untuk menyajikan acara yang tidak semata mengejar rating. Contohnya, menyiarkan lagu-lagu nasional sehingga lagu-lagu itu bisa dikenal dan dihapal oleh generasi muda.
Menekan pemerintah
Presiden mengatakan, saat ini telah terjadi perubahan pada era media massa. "Jika zaman dulu media massa mendapat tekanan dari pemerintah, kini pers justru menekan pemerintah," kata Presiden. Kini yang menekan media tidak lain industri pers itu sendiri yang disebabkan tuntutan persaingan antarmedia.
Gubernur NTB Zainul Majdi berharap pers nasional menjadi pers yang terus-menerus menyuarakan kebenaran dan menyuarakan fakta dengan sebaik-baiknya. Ia mengilustrasikan, pers di Mesir pada era jatuhnya Presiden Hosni Mubarak. Kebebasan pers yang kebablasan dan banyaknya kepentingan, terutama politik yang menunggangi pers, membuat kepercayaan masyarakat hilang.
Penghargaan yang Diterima ”KOMPAS”
Sementara Ketua Dewan Pers Bagir Manan mengatakan, keingintahuan pers sebenarnya didasarkan pada keyakinan untuk menjadikan agenda pemerintahan menjadi agenda yang juga dimiliki rakyat.
Rakyat mengerti dengan baik semua usaha yang dilakukan pemerintah semata-mata demi kepentingan rakyat. "Agar rakyat mengerti diperlukan komunikasi yang terus-menerus. Media merupakan sarana terbaik yang akan mengomunikasikan berbagai agenda pemerintah yang sedang berlangsung," kata Bagir.
Masih dibutuhkan
Pada kesempatan itu, Bagir mengakui, kehidupan media massa, khususnya media cetak, kini memang tertekan. Namun, ia tidak percaya media cetak segera hilang, tergantikan oleh media baru, seperti media sosial. "Media massa, khususnya cetak, masih dibutuhkan. Belajar dari pengalaman selama ini, media massa, khususnya media cetak, masih tetap akan ada," katanya.
Tekanan terhadap media massa bukan semata-mata disebabkan oleh kemunculan media sosial dan media baru lain. Tekanan itu terjadi karena perubahan perilaku masyarakat dalam berinteraksi dengan media massa. Belajar dari berbagai kasus penutupan media massa, ternyata lebih disebabkan oleh kegagalan manajemen atau ketidakmampuan untuk bersaing.
"Saya yakin media massa, khususnya media cetak, tetap akan dicari. Masyarakat pasti mencari berita yang berkualitas, investigatif, mendalam, berimbang, dan bisa menjadi referensi," kata Bagir.
Ditemui secara terpisah, Ketua Bidang Pendidikan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan Ketua Yayasan Sekolah Jurnalisme Indonesia Marah Sakti Siregar mengatakan, untuk membangun profesionalitas wartawan masih banyak hal yang harus dilakukan, terutama meningkatkan kualitas sumber daya manusianya. Masih banyak wartawan yang tidak tahu membedakan antara berita dan opini.
Kode etik
Dalam peringatan Hari Pers Nasional juga diakui masih banyak kekurangan pers, terutama pers di daerah. Sebagai gambaran, Dewan Pers setiap tahun menerima 500-600 pengaduan atau laporan masyarakat yang merasa dirugikan oleh pers. Setelah diteliti lebih jauh, sebanyak 80 persen merupakan kasus pelanggaran kode etik jurnalistik.
Dalam puncak acara peringatan Hari Pers Nasional 2016, Kompas menerima sejumlah penghargaan jurnalistik. Penghargaan Adinegoro diberikan untuk kategori Jurnalistik Berkedalaman berjudul "Kecukupan Guru Masih Semu, Beban Para Guru di Daerah Tertinggal".
Penghargaan Adinegoro 2016 untuk kategori Jurnalistik Karikatur diberikan kepada Didie Sri Widiyanto dengan judul "Inikah Kartini-kartini Kita Sekarang?"
Kompas juga mendapat penghargaan tiga trofi emas kategori Sampul Muka Media Cetak Komersial (Indonesia Print Media Award/IPMA) untuk tiga penerbitan, yakni Jumat 2 Januari 2015, Selasa 10 Februari 2015, dan Senin 26 Oktober 2015. Penghargaan yang diberikan Serikat Perusahaan Pers ini diterima Pemimpin Redaksi Kompas Budiman Tanuredjo.
Kompas juga menyabet satu trofi perak untuk penerbitan rubrik anak muda di surat kabar (Indonesia Young Readers Awards/IYRA) kategori media nasional. Penghargaan tersebut untuk rubrik Kompas Muda berjudul "19 Tahun Perjalanan".
(RUL/NIK/TRA/GRE)
Sumber: http://print.kompas.com/baca/2016/02/10/Pers-Harus-Bangun-Optimisme
-
- Log in to post comments
- 142 reads