BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Plastik, "Fosil" Masa Depan

Pengelolaan Limbah
Plastik, "Fosil" Masa Depan
Subur Tjahjono
Siang | 29 Januari 2016 15:43 WIB Ikon jumlah hit 764 dibaca Ikon komentar 0 komentar

Sebuah penelitian dari Universitas Leicester, Inggris, menghasilkan kesimpulan sementara, tanah dan lautan Planet Bumi akan terkubur oleh lapisan plastik hasil kegiatan manusia dalam setengah abad ke depan. Plastik juga diperkirakan akan menjadi "fosil" di masa depan.
Pekerja membersihkan limbah sampah plastik sebelum dijual kembali ke pengepul di Desa Beji, Kecamatan Jekulo, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, Rabu (6/1). Limbah itu diolah menjadi bijih plastik untuk kebutuhan industri sebelum didaur ulang menjadi beragam produk baru sehingga pengolahan limbah plastik banyak dilakukan untuk mengurangi dampak pencemaran lingkungan.
Kompas/P RADITYA MAHENDRA YASAPekerja membersihkan limbah sampah plastik sebelum dijual kembali ke pengepul di Desa Beji, Kecamatan Jekulo, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, Rabu (6/1). Limbah itu diolah menjadi bijih plastik untuk kebutuhan industri sebelum didaur ulang menjadi beragam produk baru sehingga pengolahan limbah plastik banyak dilakukan untuk mengurangi dampak pencemaran lingkungan.

Hasil penelitian itu dipublikasikan dalam jurnal Anthropocene yang juga dikutip Sciencedaily.com edisi Rabu (27/1). Penelitian dilakukan sekelompok ilmuwan dari Departemen Geologi dan Fakultas Arkeologi dan Sejarah Kuno Universitas Leicester.

Guru Besar Paleobiologi Universitas Leicester Jan Zalasiewicz menggarisbawahi, "Plastik tidak terlalu dikenal oleh kakek-nenek kita ketika mereka masih kanak-kanak."

Namun, sekarang, dunia memasuki "abad plastik". Plastik ada di setiap kehidupan manusia, mulai dari pembungkus makanan, tempat air dan susu, pembungkus obat, hingga pakaian. Plastik juga ada di mana-mana, dari puncak gunung hingga dasar laut. Manusia memproduksi hampir 1 miliar ton plastik-yang terbuat dari polietilen, turunan minyak bumi-setiap tiga tahun.

"Plastik dapat terfosilisasi jauh-jauh hari ke depan. Dengan tren produksi itu, dalam setengah abad akan terbentuk lapisan plastik di bumi," ujar Zalasiewicz.

Penelitian itu mengingatkan bahwa produksi plastik berlebihan tersebut memberi dampak geologi yang serius ke depan karena plastik bersifat lembam dan sulit terurai. Hasilnya, plastik itu melapisi bumi dan menjadi bagian dari tanah

Penelitian tentang plastik di burung laut sebelumnya dilakukan oleh peneliti Imperial College London yang diumumkan Agustus 2015. Para peneliti mendapati 60 persen dari burung- burung laut, seperti albatros, penguin, dan jenis burung laut lainnya, mengandung plastik di ususnya. Pada 2050, peneliti memprediksi 99 persen burung laut akan mengandung plastik di saluran pencernaannya.

Salah satu peneliti, yaitu Colin Waters dari British Geological Survey, menjelaskan, manusia telah terbiasa hidup dengan plastik. Namun yang tidak terlihat oleh manusia adalah "manik-manik plastik" dari kosmetik, pasta gigi, atau serat-serat di baju terakumulasi secara cepat di dasar danau dan laut membentuk "rekaman geologis".

Peneliti dari Fakultas Arkeologi dan Sejarah Kuno Universitas Leicester, Matt Edgeworth, menambahkan, mungkin sekarang terlihat ganjil memikirkan plastik sebagai material arkeologis dan geologis karena masih baru, tetapi plastik secara cepat akan membuat lapisan di bumi. "Plastik akan menjadi penanda lapisan bumi," kata Edgeworth.

Penanda itu disebut anthropocene, yaitu penanda yang menunjukkan dominasi manusia di bumi yang mempunyai dampak global melalui plastik.

Pada 2016, para peneliti akan melanjutkan studinya untuk mencari bukti terbentuknya lapisan geologi di bumi karena plastik ini serta memberi rekomendasi-rekomendasi.

Mengurangi plastik

Dengan melihat masa depan dampak plastik yang suram ini, sejumlah penelitian juga telah dilakukan untuk mengganti plastik ini atau setidaknya membuat material serupa plastik yang dapat terurai dengan cepat.

Sekelompok peneliti Universitas Terbuka Inggris, misalnya, meneliti kemungkinan membuat tas bawaan dengan bahan yang dapat terurai. Rencana penelitian itu diumumkan Oktober 2015 dengan didanai Departemen Lingkungan, Pangan, dan Pedesaan Inggris sebesar 250.000 poundsterling atau setara Rp 4,9 miliar.

Tas bawaan yang dapat terurai itu dibuat dari kanji jagung. Tas dari kanji jagung ini dapat terurai menjadi karbon dioksida, air, dan biomassa. Para peneliti berjanji penelitian tas kanji jagung ini selesai tahun 2016 ( http://www.natureworldnews.com).

Selain membuat material pengganti plastik, upaya mengurangi penggunaan plastik dilakukan. Amerika Serikat adalah negara pertama di dunia yang menerapkan pelarangan penggunaan plastik di toko-toko eceran besar sejak 2014. Beberapa toko menarik ongkos 10 sen dollar AS atau setara Rp 1.385 untuk penggunaan tas bawaan yang dapat didaur ulang.
Pekerja membersihkan limbah sampah plastik sebelum dijual kembali ke pengepul di Desa Beji, Kecamatan Jekulo, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, Rabu (6/1). Limbah itu diolah menjadi bijih plastik untuk kebutuhan industri sebelum didaur ulang menjadi beragam produk baru sehingga pengolahan limbah plastik banyak dilakukan untuk mengurangi dampak pencemaran lingkungan.

Inggris menggunakan cara plastik berbayar di toko-toko sejak 2015. Toko-toko menerapkan pembayaran 5 pence atau setara Rp 985 untuk setiap penggunaan tas plastik. Di Wales, Inggris, kebijakan plastik berbayar ini berhasil menurunkan konsumsi plastik hingga 80 persen dalam tiga tahun terakhir.

Kebijakan plastik berbayar ini juga akan diterapkan di Indonesia. Sebanyak 22 kota di Indonesia akan melakukan uji coba kantong plastik berbayar di gerai eceran modern. Ke-22 kota itu adalah Jakarta, Bandung, Bekasi, Bogor, Depok, Tangerang, Semarang, Solo, Surabaya, Denpasar, Palembang, Medan, Balikpapan, Banjarmasin, Makassar, Yogyakarta, Malang, Pekanbaru, Kendari, Ambon, Aceh, dan Jayapura (Kompas, 22/1).

Uji coba dilakukan mulai 21 Februari 2016, yang bertepatan dengan Hari Peduli Sampah Nasional, hingga 5 Juni 2016. Jika selama ini mendapat kantong plastik secara gratis dari toko eceran, sejak itu pelanggan diwajibkan membayar.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengusulkan harga per kantong plastik Rp 500. Sejumlah Rp 200 dikembalikan kepada konsumen yang mengembalikan tas plastik kepada toko eceran. Sejumlah Rp 300 sisanya digunakan toko eceran untuk kegiatan lingkungan bersama pemerintah daerah atau dikelola Gerakan Indonesia Diet Kantong Plastik yang sejak 10 tahun mengadvokasi isu sampah.

Kebijakan ini patut didukung dan bahkan jika perlu diperluas di seluruh Indonesia. Pada gilirannya, gerakan ini dapat didorong menjadi gerakan global. Dengan demikian, ketakutan bahwa plastik akan menjadi fosil pada masa depan dapat dikurangi.

Sumber: http://print.kompas.com/baca/2016/01/29/Plastik-Fosil-Masa-Depan

Related-Area: