BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Kecukupan Guru Masih Semu, Beban Para Guru di Daerah Tertinggal Sangat Berat

Laporan Jurnalistik Peraih Adinegoro
Kecukupan Guru Masih Semu, Beban Para Guru di Daerah Tertinggal Sangat Berat
Siang | 22 Januari 2016 15:55 WIB 615 dibaca 1 komentar

PENGANTAR:

Laporan tim wartawan "Kompas" tentang kehidupan guru di daerah, yang dimuat secara berseri dalam 9 tulisan, meraih penghargaan Adinegoro untuk kategori liputan mendalam. Berikut tulisan pertama yang dimuat di halaman 1 Harian KOMPAS Senin, 23 November 2015.

Di atas kertas, Indonesia kelebihan guru. Namun, nyatanya terdapat sekolah yang kekurangan guru, terutama di daerah terpencil dan tertinggal. Di tempat itu beban guru sangat berat. Tak jarang mereka mengajar dua hingga enam kelas sekaligus. Distribusi guru masih menjadi masalah kronis.

Namun, secara nasional, Indonesia mengalami kelebihan guru. Untuk jenjang pendidikan dasar, misalnya, kebutuhan guru sebanyak 492.765 orang di 34 provinsi. Namun, berdasarkan laporan, mulai dari tingkat sekolah, kabupaten/kota, hingga provinsi di seluruh Indonesia yang masuk dalam data pokok pendidikan, ada kelebihan 143.729 guru. Data itu tanpa membedakan status guru sebagai pegawai negeri sipil (PNS) atau guru tidak tetap (GTT).

Dipilah lagi berdasarkan laporan kabupaten atau kota, tidak termasuk kabupaten dan kota di Sumatera Utara, daerah yang kekurangan guru mencapai 105 kabupaten/kota, sedangkan 371 kabupaten/kota kelebihan guru. Sebagian kelebihan guru disebabkan keberadaan GTT.

Kekurangan guru kronis terutama terjadi di daerah terpencil, tertinggal, dan terdepan. Bahkan, setelah melibatkan GTT sekalipun, tetap masih terjadi kekurangan guru.

Contohnya, SDN Caringin di Kampung Caringin, Desa Nangela, Kecamatan Tegalbuleud, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Dalam keseharian, guru berstatus PNS, Sarino (32), jadi andalan. Sekolah itu sudah ada sejak akhir tahun 2003 dan sejak itu pula selalu kekurangan guru.

Sarino mengajar siswa kelas I hingga VI seorang diri di satu ruangan agar semua siswa yang jumlahnya 22 orang terlayani. Dua tahun terakhir, Sarino berhasil mendapatkan Riki Sanjaya (30), yang awalnya bertugas sebagai operator sekolah. Namun, Riki yang dibayar dengan dana bantuan operasional sekolah pun ikut turun tangan mengajar siswa kelas I dan II jika sedang berada di Kampung Caringin.

Beban Sarino jadi sangat berat. Akhir pekan lalu, misalnya, dia mengajar kelas III, IV, V, dan VI sekaligus. Untuk memudahkan, mata pelajaran sengaja disamakan. Akhir pekan lalu, Sarino mengajar Matematika kelas III, IV, V, dan VI sekaligus. "Ada beberapa guru yang mencoba mengajar di SDN Caringin, tetapi tidak tahan," kata Sarino.

Menjangkau SDN Caringin yang memiliki tiga ruang kelas itu tidak mudah. Begitu hujan turun, Kamis (19/11) sore, sepeda motor yang dimodifikasi sekalipun tidak bisa lagi untuk mengakses daerah itu. Jalanan desa menuju kampung yang cukup untuk dilalui sepeda motor penuh lumpur dan licin. Sore itu, dari Kantor Desa Nangela, Riki Sanjaya harus berjalan kaki sekitar 2 jam dengan medan berbukit dan melintasi sungai. "Saya setidaknya 2-3 kali seminggu bolak-balik ke sekolah," ujar Riki.

Kekurangan guru juga terjadi di SDN Sukasari, Kampung Cilampahan, Desa Sumberjaya, Kecamatan Tegalbuleud. Ada dua ruangan kelas tempat belajar sekitar 80 murid sehari-hari. Ruangan pertama dipakai kelas I dan II yang tidak dipisah serta kelas IV yang dipisah dengan tripleks berlubang. Di ruangan lain siswa kelas III, V, dan VI belajar bersama.

Guru yang berjumlah empat orang ada yang mengajar dua rombongan kelas. Ade Irma, misalnya, ditemui tengah mengajar murid kelas III dan IV sekaligus di ruangan berbeda. Kepala SDN Sukasari Syamsul Hidayat mengatakan, sebenarnya sekolah kekurangan guru. "Untuk mengangkat guru tidak tetap lagi, kami tidak sanggup membayar," kata Syamsul.

Lima sekolah yang dikunjungi di tiga kecamatan di Pandeglang, Banten, yakni Kecamatan Cibaliung, Cimanggu, dan Cibitung, kekurangan guru. Untuk memenuhi kebutuhan tenaga pengajar, sekolah dan pemerintah daerah setempat memilih mengangkat guru honor. Ulung Andriani, guru PNS SDN Kutakarang 03, mengaku terbantu oleh keberadaan guru honor. Jika tak ada sukarelawan, ia harus mengajar di tiga kelas.

Pesawaran, Lampung, pun termasuk kabupaten yang surplus guru, kelebihan 559 guru. Namun, di SDN Kota Dolom, tak jarang guru mengajar rangkap. Irmawati Syah (30), guru SD Negeri 2 Kota Dalom, salah satu sekolah terpencil di Kabupaten Pesawaran, misalnya. Irma yang biasa mengajar Agama Islam harus memberikan materi Bahasa Inggris. Itu karena di sekolahnya belum ada guru khusus Bahasa Inggris. Tak jarang, ia juga harus merangkap sebagai guru kelas.

Tak hanya itu, Irma juga harus menempuh jarak sekitar 10 kilometer dari rumahnya di Desa Mergodadi, Kabupaten Pringsewu. Perjalanan dari rumahnya hanya bisa ditempuh dengan sepeda motor. "Saya diantar suami setiap pagi. Kami harus melewati dua bukit untuk sampai ke sekolah," ujarnya.

Di perbatasan pun situasi serupa terjadi. Wilayah perbatasan Indonesia dengan Malaysia di Kalimantan Barat masih kekurangan guru. Halijah, Kepala SDN 03 Desa Sontas, Entikong, Sabtu (21/11), menuturkan, di SDN Sontas hanya ada tujuh guru tetap. Padahal, di SDN tersebut ada sembilan kelas karena ada satu kelas dibagi menjadi dua ruangan. "Wali kelas ada yang merangkap jadi guru bidang studi dan mengajar beberapa kelas," ujar Halijah. Kondisi kekurangan guru itu terjadi sejak 2006.

Kondisi belajar yang tidak ideal itu membuat banyak siswa tinggal kelas. Tahun lalu siswa kelas empat yang tinggal kelas mencapai sembilan orang. Siswa kelas empat itu bahkan ada yang belum bisa membaca.

Dari pinggiran

Ketua Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Sulistiyo mengatakan, dibutuhkan pengangkatan guru untuk mengatasi kekurangan guru, khususnya di jenjang SD. Namun, sejauh ini pemerintah tidak mengeluarkan kebijakan terkait pengangkatan guru. Banyak guru yang mengajar di dua kelas atau dibantu guru honorer. "Dengan adanya guru honorer itu, seolah jumlah guru cukup atau bahkan dikatakan berlebihan. Pemerintah berkewajiban memenuhi kebutuhan guru," kata Sulistiyo.

Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Sumarna Surapranata mengatakan, soal distribusi memang menjadi masalah yang harus dibenahi. "Saat ini dalam masa transisi nanti untuk berlakunya kewenangan pemerintah pusat dalam memindahkan guru antarprovinsi yang dimulai pada 2017," kata Sumarna.

Untuk daerah tertinggal, terdepan, dan terluar, kata Sumarna, pemerintah memiliki skema ada insentif khusus atau tunjangan khusus bagi guru yang bertugas di daerah itu. "Seharusnya dengan adanya skema ini, pemerintah daerah tidak sulit untuk memindahkan guru dari kota/kabupaten atau sekolah yang berlebih ke sekolah yang membutuhkan, terutama di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar," kata Sumarna. Insentif khusus tersebut adalah pemberian tunjangan khusus sebesar satu kali gaji pokok. Guru di daerah tersebut juga dikecualikan dalam memenuhi ketentuan mengajar 24 jam per minggu.

Koordinator Guru Garis Depan Kemdikbud Akhiruddin yang juga Ketua Yayasan Masyarakat Sarjana Mendidik di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar mengatakan, insentif tidak selalu jadi jaminan. Di daerah ini perlu guru berkualitas dan tangguh.

(ELN/INE/LUK/DNE/VIO/ESA/KOR/ENG/AIN/DRI)

Sumber: http://print.kompas.com/baca/2016/01/22/Kecukupan-Guru-Masih-Semu-Beban-Para-Guru-di-Daer

Related-Area: