BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Laporan Jurnalistik Peraih Adinegoro: Menjaga Indonesia hingga Pelosok Negeri

Laporan Jurnalistik Peraih Adinegoro
Menjaga Indonesia hingga Pelosok Negeri
INDIRA PERMANASARI, LUKI AULIA, dan ESTER LINCE NAPITUPULU
Siang | 22 Januari 2016 15:09 WIB 1805 dibaca 0 komentar

Pengantar:

Laporan tim wartawan Kompas tentang kehidupan guru di daerah, yang dimuat secara berseri dalam 9 tulisan, meraih penghargaan Adinegoro untuk kategori liputan mendalam. Berikut tulisan ketujuh yang dimuat di halaman 1 harian Kompas Rabu, 25 November 2015.

Di Kampung Caringin yang terpencil dan sepi, kehadiran negara dirasakan anak bangsa lewat para guru yang mengajar di SD Negeri Caringin, Desa Nangela, Kecamatan Tegalbuleud, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Di dusun yang tak dialiri listrik, tanpa aspal mulus, dan tiada irigasi itu, guru berbakti menjaga negeri. Salah satu sudut dusun, tempat sekolah berdiri, seketika meriah saat anak-anak menyambut kehadiran guru mereka, Sarino (32) dan Riki Sonjaya (30), Jumat (20/11) pagi.

Para murid kemudian melepaskan sandal jepit penuh lumpur, masuk ke kelas, dan duduk manis di ruang kelas sederhana. Riki mengajar anak kelas I dan II membaca dengan beralas matras, sedangkan Sarino mengajar Matematika kelas III, IV, V, dan VI sekaligus. Buku-buku yang sudah tidak bersampul, dengan tepian keriting, dan kumal terbuka di meja.

Di tengah segala keterbatasan, kehadiran Riki dan Sarino merupakan pusat dari sekolah itu. Tak penting lagi bahwa di ruangan tempat Riki mengajar masih tergantung foto Presiden dan Wakil Presiden RI berisi wajah Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla. Di kelas sebelah, tempat Sarino mengajar, sudah tergantung foto wajah Presiden Joko Widodo.

Sejak 2003, Sarino yang berstatus calon pegawai negeri sipil (CPNS) mengajar di sekolah itu dan bertahun-tahun seorang diri. Dua tahun terakhir, dia dibantu Riki, tenaga honorer operator sekolah merangkap guru. "Melihat anak-anak semangat belajar saat berada di sekolah membuat saya bahagia. Sekolah ini harus tetap ada meskipun hanya saya guru yang bersedia mengajar di sini. Saya yakin kemajuan kampung ini bisa terjadi lewat generasi muda terdidik," ujar Sarino. Dia akhirnya memutuskan tinggal di kampung yang dihuni penyadap nira, pembuat gula merah, dan penanam padi ladang yang mengandalkan air hujan itu.

Tak mudah mencari tenaga untuk mengajar di tempat seperti itu. Medan yang dilalui sangat berat. Kamis sore pekan lalu, di tengah guyuran hujan, Riki menitipkan sepeda motor tuanya yang telah dimodifikasi di rumah warga Desa Nangela. Hujan menjadi masalah sekaligus berkah. Tanah lempung membuat jalan licin, berlumpur, dan sulit dilewati kendaraan. Jarak pun hanya bisa ditempuh dengan berjalan kaki 2-4 jam. Selain jalan terjal, licin, dan berkelok, sungai yang mesti diseberangi pun terkadang meluap. Untungnya, sore itu sungai tidak meluap sehingga dia tidak harus jalan memutar.

Berbekal golok

Menempuh perjalanan menantang juga dialami Herman, guru kelas di SD Negeri Curug II, Kecamatan Cibaliung, Pandeglang, Banten. Sebelum berangkat ke sekolah, dia selalu memastikan mengenakan sepatu bot karet dan membawa golok di ranselnya. Apalagi musim hujan seperti sekarang membuat akses jalan ke sekolah kian sulit. Dengan sepeda motor bebek yang dimodifikasi menyerupai motor trail pun dia kerap terpeleset.

"Karena jalan jelek, saya ganti knalpot empat kali selama dua tahun. Kalau ganti ban motor sering karena batu-batu runcing," kata Herman. Dia butuh waktu dua jam untuk sampai ke sekolah karena jarak dari rumahnya di Cikeusik lumayan jauh, sekitar 25 kilometer.

"Berat dorong motor di tanah liat. Ini saya tidak perlu ke (tempat) fitness sudah begini," ujar Herman sambil menunjuk lengan kirinya yang berotot sambil tertawa. Saat musim hujan dan "air naik", istilah para guru, baik guru maupun murid terpaksa naik perahu di bendungan menuju ke sekolah. Motor pun dititipkan di warung.

Herman kerap menginap di sekolah saat musim hujan. Jika nekat pulang ke rumah saat hujan, dia kerap harus berlindung di saung di tengah hutan, kebun, atau bukit. "Kemarin saya baru saja ketemu babi hutan di hutan. Saya diam saja, tidak bergerak, menunggu babi hutan itu lewat dan pergi. Golok tidak bisa jauh-jauh," kata Herman yang berstatus PNS itu. Kondisi itu membuat guru lain minta dipindahkan. Dia bertahan agar anak didiknya mendapat pendidikan.

Wajah negara
Tim wartawan Kompas mengikuti perjalanan pak guru Riki Sonjaya menyeberang sungai saat di Tegalbuleud, Sukabumi, Jawa Barat, Jumat (20/11).
KOMPAS/LASTI KURNIA
Riki Sonjaya, guru SDN Caringin, Tegalbuleud, Sukabumi, Jawa Barat, menemui salah satu murid yang tidak masuk sekolah, Jumat (20/11/2015).
KOMPAS/LASTI KURNIA

Di Indonesia yang merupakan negara belum sepenuhnya maju, kepulauan, dan berada di sabuk gunung api, lokasi yang sulit diakses, seperti Caringin dan Cibaliung, barulah segelintir. Itu pun masih di Pulau Jawa. Banyak tempat di Nusantara dengan kondisi geografis sulit.

Di tempat-tempat itulah pentingnya kehadiran guru, terutama guru SD negeri yang ada hingga di pelosok dusun, untuk mendampingi dan mendidik masyarakat. Di bagian timur Indonesia, misalnya, kerja guru di SD Inpres Bomomani, Kabupaten Dogiyai, Papua, tidak hanya mendidik kompetensi pendidikan dasar, tetapi juga perilaku. Contohnya, pentingnya mandi, buang air di tempatnya, cuci tangan, dan menyikat gigi. Di kelas IB, pekan lalu, Yuliana ditemui tengah mengajar seorang siswa cara membuang ingus. Dengan sabar, ia memberi instruksi sambil mencontohkan.

"Harus berkali-kali diberi tahu. Hasilnya tidak terlihat dalam 1-2 bulan, tetapi nanti ketika mereka duduk di kelas IV. Baju mulai rapi, wajah bersih, dan rajin mencuci tangan," tuturnya. Di ruang kelas tempatnya mengajar, 22 siswa asyik bercanda. Mayoritas tidak berseragam dan tanpa alas kaki. Beberapa siswa mengenakan celana pendek merah dengan atasan kaus. Ada juga yang memakai seragam lusuh karena berhari-hari tidak dicuci.

Di pelosok negeri, situasi tidak mudah. Kerelaan para guru pun tak berbatas. "Pernah saya ingin pergi, tetapi saya pikir lagi, nanti siapa yang mengajar anak-anak," kata Sarino.

Di Sukabumi, saat matahari hampir sejajar dengan ubun-ubun, Sarino dan Riki mengakhiri pembelajaran. Murid kelas I hingga VI dikumpulkan dalam satu ruangan. Riki memberi aba-aba dan para murid mulai menyanyikan lagu wajib, kali ini "Garuda Pancasila", dengan suara nyaris berteriak.

"...Pancasila dasar negara/ Rakyat adil makmur sentosa/Pribadi bangsaku/...Ayo maju-maju...!". Terima kasih untuk guru di dusun, kota, gunung, pantai, dan pulau yang telah mendidik dan menjaga Indonesia. Selamat Hari Guru!

(DNE)

Sumber: http://print.kompas.com/baca/2016/01/22/Menjaga-Indonesia-hingga-Pelosok-Negeri

Related-Area: