BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Transportasi Buka Keterisolasian Selatan Maluku

daerah perbatasan
Transportasi Buka Keterisolasian Selatan Maluku
Ikon konten premium Cetak | 27 Agustus 2015 Ikon jumlah hit 27 dibaca Ikon komentar 0 komentar

AMBON, KOMPAS — Keterisolasian wilayah selatan Provinsi Maluku, yang meliputi Kabupaten Maluku Tenggara Barat, Kabupaten Kepulauan Aru, dan Kabupaten Maluku Barat Daya, perlu dijawab dengan membuka jalur transportasi reguler dan terkoneksi langsung dengan Pulau Jawa. Hal itu bertujuan memperlancar distribusi barang dari dan menuju tiga daerah itu.

Pandangan itu mengemuka dalam lokakarya dengan tema "Mewujudkan Kawasan Perbatasan Maluku sebagai Pintu Gerbang Selatan Ekonomi dan Perdagangan di Saumlaki, ibu kota Maluku Tenggara Barat, Maluku", Rabu (26/8). Kegiatan itu merupakan rangkaian dari peresmian Gerakan Pembangunan Terpadu Kawasan Perbatasan (Gerbangdutas) di Maluku pada Selasa lalu.

Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Maluku Antonius Sihaloho mengatakan, tiga kabupaten itu masih terisolasi. Akibatnya, potensi sektor perikanan, perkebunan, dan peternakan tidak dapat dipasarkan ke daerah industri yang umumnya terdapat di bagian barat Indonesia. Begitu pula distribusi barang dari daerah industri ke kawasan itu tidak lancar sehingga menyebabkan tingkat kemahalan yang tinggi.

Camat Pulau Selaru, Maluku Tenggara Barat, Zeth Lessy, di sela-sela acara, mengungkapkan, harga beras di daerahnya mencapai Rp 16.000 per kilogram (kg), gula pasir Rp 25.000 per kg, dan bensin Rp 25.000 per liter. Pulau yang dihuni 12.256 jiwa tersebut berbatasan langsung dengan Australia.

Penduduk di Maluku Tenggara Barat yang umumnya nelayan pun enggan membudidayakan rumput laut kendati kondisi lautnya memungkinkan untuk usaha tersebut. "Warga bingung mau memasarkan rumput lautnya di mana," ujar Zeth.

Kondisi demikian, menurut Antonius, menjadi penyebab utama tingginya angka kemiskinan di kawasan itu. Tingkat kemiskinan di Maluku Barat Daya 29,25 persen, Maluku Tenggara Barat 29 persen, dan Kepulauan Aru 27 persen. Angka itu jauh di atas kemiskinan Maluku yang berkisar 18,4 persen.

Tol laut

Kepala Seksi Penyusunan Jaringan Trayek dan Penempatan Kapal Liner Angkutan Laut Dalam Negeri Direktorat Lalu Lintas dan Angkutan Laut Sri Wahyu Irianti mengatakan, Kementerian Perhubungan sedang menyiapkan rancangan jalur tol laut di bagian selatan dengan jalur Surabaya-Saumlaki-Merauke.

"Jika sudah diresmikan, kami akan uji coba satu kapal. Jika kebutuhan tinggi, kami akan tambahkan lagi," kata Sri.

Pemerintah menganggarkan dana sebesar Rp 326 miliar untuk menyubsidi kapal kargo yang melayani jalur itu.

Namun, sejumlah peserta lokakarya yang diberi kesempatan berbicara dalam sesi dialog menginginkan agar jalur tol laut juga menyinggahi Ilwaki, Maluku Barat Daya; dan Dobo, Kepulauan Aru. Menanggapi itu, Irianti pun berjanji akan menyampaikan usulan itu kepada pengambil kebijakan di Kementerian Perhubungan.

Selain transportasi laut, peserta juga menginginkan jalur penerbangan di selatan Maluku, yang menghubungkan dengan provinsi lain, seperti ke Kupang, Nusa Tenggara Timur. Mereka pun mendukung rencana pemerintah membuka jalur penerbangan Saumlaki ke Darwin, Australia. Pembukaan akses itu untuk menarik wisatawan ke Saumlaki dan sekitarnya yang kaya akan potensi wisata.

Kapal perintis

Peserta juga mempersoalkan minimnya kapal perintis di Maluku yang saat ini hanya 15 unit. Padahal, menurut perkiraan Dinas Perhubungan Maluku, dibutuhkan sekitar 30 unit kapal. Kondisi Kapal juga tidak memadai karena sebagian besar berukuran di bawah atau sama dengan 1.200 gros ton (GT).

Jika cuaca buruk, dengan ketinggian gelombang melampaui 2,5 meter, kapal tidak diizinkan berlayar. Hal itu menyebabkan penumpukan penumpang dan terhambatnya distribusi barang ke daerah-daerah terpencil.

Kepala Dinas Perhubungan Maluku Benny Gaspersz menuturkan, ketika mengunjungi Ambon pada 26 Desember 2014, Menteri Perhubungan Ignasius Jonan berjanji mendatangkan tiga kapal perintis 2.000 GT ke Maluku. Namun, hingga sekarang, janji itu belum terealisasi.

Penambahan kapal itu diharapkan memperlancar angkutan perintis yang menyinggahi setidaknya 61 pelabuhan. Dengan 15 kapal, rata-rata setiap kapal membutuhkan waktu 17 hari, untuk kembali menyinggahi pelabuhan yang sama. Hintungan waktu tersebut di luar kendala cuaca buruk. (APA/FRN)

Sumber; http://print.kompas.com/baca/2015/08/27/Transportasi-Buka-Keterisolasian-Selatan-Maluku

Related-Area: