SUMBER DAYA ALAM
Jangan Buang Air Sembarangan
Ikon konten premium Cetak | 18 Agustus 2015 Ikon jumlah hit 446 dibaca Ikon komentar 0 komentar
Air senantiasa mengiringi aktivitas manusia, baik untuk keperluan pribadi maupun produksi. Seiring bertambahnya jumlah manusia di bumi, kebutuhan air juga sejalan dengannya. Pada musim kering seperti ini, manusia seperti diingatkan bahwa tak selamanya air akan tersedia.
Sejumlah bocah bermain di sekitar lahan Waduk Sempor, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah, yang mengering, Jumat (31/7). Memasuki puncak musim kemarau, volume Waduk Sempor menyusut hingga 80 persen dari kapasitas maksimal 39,9 juta meter kubik menjadi 8,5 juta meter kubik. Aliran air dari waduk ini dihentikan mulai 1 Agustus.
Kompas/Gregorius Magnus FinessoSejumlah bocah bermain di sekitar lahan Waduk Sempor, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah, yang mengering, Jumat (31/7). Memasuki puncak musim kemarau, volume Waduk Sempor menyusut hingga 80 persen dari kapasitas maksimal 39,9 juta meter kubik menjadi 8,5 juta meter kubik. Aliran air dari waduk ini dihentikan mulai 1 Agustus.
Dua puluh tahun lalu, aktor Hollywood, Kevin Costner, pernah membintangi sekaligus memproduseri film berjudul Waterworld (1995). Pada film fiksi sains itu digambarkan, bumi tergenang air laut karena es di kutub mencair.
Sejumlah suku bangsa di cerita rekaan itu rebutan tanah kering. Mereka berperang untuk merebut dan mempertahankan lahan. Bayangkan jika keadaannya dibalik. Bukan tidak mungkin, suatu saat, manusia berperang untuk rebutan air, seperti yang sedang terjadi saat ini demi minyak bumi.
Lembaga meteorologi Amerika, National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA), menyatakan, kekeringan tengah melanda dunia. Kekeringan itu sebagai dampak dari anomali El Nino yang terjadi di seluruh perairan timur Pasifik, termasuk Indonesia.
Akhir Juli lalu, Kompas menurunkan laporan bahwa hujan tidak lagi turun di 18 provinsi sejak lebih dari dua bulan terakhir. Ketiadaan hujan itu mengakibatkan defisit air permukaan, terutama di wilayah pantai timur Sumatera, Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara, serta Sulawesi Selatan dan Kalimantan Selatan.
Defisit air permukaan, kata Kepala Pusat Iklim, Agroklimat, dan Iklim Maritim Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofosika (BMKG) Nurhayati, adalah ketiadaan air hingga kedalaman 50 sentimeter dari permukaan air tanah. Akibatnya, lahan pertanian di sejumlah daerah hanya bisa ditanami palawija.
BMKG juga menyatakan, fenomena El Nino ini berdampak pada musim tanam pertanian di akhir tahun nanti. Fenomena El Nino kali ini yang menyebabkan peningkatan suhu muka air laut di perairan Pasifik pernah terjadi pada 1997, juga pada bulan Juli.
Akibat kekeringan ini, Pemerintah Provinsi Jawa Barat telah menetapkan status darurat kekeringan. Status itu berlaku hingga Desember 2015. Penetapan status diperlukan agar dampak kekeringan, seperti kebutuhan air bersih dan pengairan untuk pertanian, bisa segera ditangani.
Provinsi yang menjadi salah satu lumbung padi nasional itu terancam kehilangan produksi padi. Hingga awal Agustus, 60.000 hektar sawah dari total 1 juta hektar rentan kekeringan. Bencana ini juga mengusik pertanian teh di daerah Garut, Tasikmalaya, dan Ciamis.
Pemerintah mengklaim memiliki dana kedaruratan untuk mengurangi dampak kekeringan. Berbagai skema penanggulangan dampak kekeringan disiapkan, seperti mengirimkan bantuan air bersih kepada masyarakat, juga menyediakan mesin pompa untuk mengairi persawahan.
Jaga lingkungan
Hidrolog dari Universitas Padjadjaran, Chay Asdak, menyebutkan, kesulitan air seharusnya dapat dicegah dengan kepedulian pada lingkungan. Namun, defisit air permukaan nyatanya telah terjadi. Penyebabnya, pepohonan yang menjadi pengikat air dan mencegah erosi banyak ditebang untuk perkebunan bahkan perumahan.
Tengoklah di sekitar Situ Cisanti, kaki Gunung Wayang, Kabupaten Bandung. Danau itu merupakan mata air Sungai Citarum, yang bermuara di pantai utara Karawang. Debit air Sungai Citarum dimanfaatkan untuk kepentingan pertanian, menggerakkan turbin penghasil listrik, sampai kebutuhan air minum.
Peran penting itu tidak dilindungi dengan upaya pelestarian lingkungan sekitarnya. Perbukitan sekitar Situ Cisanti yang dulunya rindang pepohonan besar berubah menjadi lahan sayur. Akibatnya, tanah mudah tergerus yang menyebabkan longsor. Material longsoran yang jatuh ke sungai menimbulkan sedimentasi.
Lahan persawahan pun banyak disulap menjadi pabrik. Alih fungsi lahan pertanian berlangsung cepat di sejumlah wilayah di Indonesia. Tanah yang tertutup semen tidak akan bisa menyerap air. Akibatnya, air akan langsung mengalir ke saluran pembuangan.
Menurut Asdak, air bisa ditabung ketika musim hujan datang. Di wilayah perkotaan, warga bisa membuat sumur resapan. Sumur ini juga bisa mencegah banjir.
Alif Febriansyah (20), mahasiswa Institut Teknologi Bandung, mengaku sedang mempelajari pembuatan sumur resapan. Ia merasa gemas karena setiap musim hujan, daerah sekitar kontrakannya terkena banjir Cileuncang, yang mengalir deras. ”Kalau musim hujan sampai banjir, tetapi anehnya pada musim kemarau air sumur kering sekali,” katanya.
Upaya penghematan air bisa dimulai dari rumah sendiri, dari aktivitas sehari-hari. Putri Rachmani (19), mahasiswi Universitas Bina Nusantara, Jakarta, menyarankan, air yang dipakai untuk membilas piring dan gelas jangan langsung dialirkan ke saluran pembuangan. ”Ada baiknya air itu dibuang ke tanah sehingga bisa terserap,” ujar Putri.
Raffli Wicaksono (20), teman sekampus Putri, justru menyarankan agar tidak terlalu sering berganti pakaian dalam satu hari. Menurut dia, berganti baju hingga empat kali dalam sehari itu terlalu banyak. ”Ujung-ujungnya akan banyak air yang dipakai untuk mencuci baju-baju itu,” katanya.
Cara sederhana seperti itu sangat perlu saat kemarau ini. Hal kecil lainnya yang juga bermanfaat adalah memastikan kondisi keran air tertutup rapat saat hendak meninggalkan rumah. Pokoknya, apa pun harus dilakukan supaya air tidak terbuang sia-sia. (HEI)
Sumber: http://print.kompas.com/baca/2015/08/18/SUMBER-DAYA-ALAM-Jangan-Buang-Air-Sembarangan
-
- Log in to post comments
- 105 reads